RADAR TASIKMALAYA – Walaupun Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia telah berlalu yang dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024, baik itu pemilihan Calon Presiden RI dan Wakil Presiden RI serta Pemilihan Calon Legislatif DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, namun sampai saat ini masih hangat dibicarakan terlebih Pemilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Peraturan Pemilu tahun 2024 diatur dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Menurut Pada Pasal (1) Pemilihan Umum, selanjutnya disingkat Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Negara yang pemerintahannya menggunakan sistem demokrasi, maka penyelenggaraan pemilu menunjukkan peradaban suatu bangsa. Bangsa yang bermartabat dapat tercermin dari penyelenggaraan pemilu yang sangat baik, yaitu yang mengedepankan nilai-nilai moral, etika, dan kejujuran yang dilakukan oleh masyarakatnya. Sehingga outcome penyelenggaraan pemilu adalah terbentuknya pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, adil, makmur, rakyat sejahtera, aman, damai, dan tentram dalam suasana kekeluargaan. Tetapi “apa yang terjadi pada pemilu yang baru lalu?”. Jawabannya sungguh jauh panggang dari api.
Sebagai pembelajaran, Penulis dalam kesempatan ini akan mengulas tentang fenomena pemilu di Indonesia yang terjadi menjelang pemungutan suara calon legislatif Tahun 2024.
Dalam pemilu legislatif, pemilih dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
- Pemilih rasional. Pemilih ini akan memilih calon legislatif yang melihat rekam jejak, visi, dan misi yang paling bagus. Pemilih rasional akan memerlukan waktu lama untuk menentukan pilihannya, karena ia harus membandingkan semua kandidat yang dikenalinya. Dengan terpilihnya wakilan rakyat yang berintegritas, responsif, kredibel, dan akuntabilitas akan membawa perubahan ke arah perbaikan di bidang idiologi, politik, ekonomi, sosial, hukum, dan keamanan. Dengan penuh harap hasil kerja wakil rakyat akan membawa keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
- Pemilih emosional atau tradisional. Pemilih emosional adalah pemilih karena adanya rasa suka atau rasa tidak suka. Pemilih emosional akan memilih calon karena kedekatan hatinya, seperti: identitas, agama, etnis, keluarga, idiologi politik, tetangga, dan teman.
- Pemilih transaksional atau pragmatis. Pemilih ini adalah akan memilih bila si calon memberikan sesuatu baik uang, barang, ataupun jasa.
- Pemilih golongan putih (golput). Pemilih ini adalah mereka yang tidak menggunakan hak suaranya dalam pemilihan umum, alasannya calon tidak akan membawa perubahan yang berdampak positif terhadap dirinya maupun pada masyarakat, tidak ada pilihan yang cocok, kecewa terhadap kinerja pejabat publik.
Yang menjadi pembicaraan publik, baik di tempat kerja, di warung kopi, bahkan di kendaraan umum pun tak luput dari pembicaraan transaksional, yaitu politik uang (money politics) dalam pemilihan calon legislatif. Menurut Juliansyah (2007), politik uang adalah suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters).
Mengapa terjadi perilaku transaksional? Caleg ingin terpilih menjadi anggota dewan/legislatif, pendidikan masyarakat masih rendah, ekonomi lemah, kurangnya fungsi pengawasan, tidak punya budaya malu, sistem Proporsional Terbuka
Salah satu musuh utama Pemilu adalah praktik politik uang, karena praktik politik uang dalam penyelenggaraan pemilu dapat merusak tatanan demokrasi, pendidikan politik, sistem politik, dan menodai fair flay proses politik. Padahal jauh-jauh hari, Komisi Pemberantasan Korupsi mengingatkan “serangan fajar”—politik uang—adalah bentuk suap-menyuap. Inilah akar dari kasus korupsi.
Selain dari pada itu politik uang dapat terjadi pada proses: penempatan seseorang pada nominasi, verifikasi caleg, proses penghitungan hasil pemilu dan proses rekapitulasi data hasil pemilu.
Pada awalnya pemilih dengan sukarela memilih calon tanpa ada perjanjian antara calon dan pemilih, baik berupa perjanjian pemberian uang, barang, ataupun jasa. Setelah terpilih dan dilantik menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota seiring dengan kinerja, ia dapat menikmati kekuasaannya selama lima tahun serta terjadi perubahan kekayaan yang meningkat, maka pemilih pun berpikir, “masa sih kita sebagai pemilihnya tidak ikut mencicipi?”
Di tahun politik calon legislatif menyusun strategi untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya, yaitu dengan cara membentuk tim sukses, bersosialisasi, membagikan sembako, piknik dan memberikan bantuan lainnya. Incumbent ingin terpilih kembali sebagai calon legislatif pada periode selanjutnya tentu akan lebih ringan dalam mengelola mendulang suara dibandingkan dengan caleg pendatang baru. Incumbent sudah start lebih awal mulai tahun pertama mejadi anggota dewan, yaitu pada saat kunjungan ke dapil dapat menyerap banyak aspirasi. Aspirasi masyarakat itu kemudian dibawa ke rapat fraksi masing-masing kemudian dibawa ke rapat paripurna. Selanjutnya aspirasi Masyarakat direalisasikan pada anggaran di anggaran daerah atau dinas-dinas terkait. Dana aspirasi dapat diperuntukan sarana prasarana maupun untuk pemberdayaan masyarakat berupa pelatihan keterampilan.
Dana aspirasi harus dijaga ketat supaya tidak bocor dengan tidak memberikan fee proyek kepada siapapun, karena tujuan program ini untuk pemerataan pembangunan di daerah. Kalaulah anggota dewan ada yang menerima fee proyek, ini akan sulit melaksanakan tugas dewan sebagai pengawas keuangan negara (APBN/APBD). Konotasi dana aspirasi dalam pembicaraan Masyarakat ada yang positif, tetapi tidak sedikit yang membicarakan yang negatif.
Sungguh miris sekali praktik politik uang, apa lagi bila caleg memberikan uang kepada pemilih pemula untuk mencoblosnya. Remaja belia sudah dididik dengan sangat tidak baik, para remaja dicekoki untuk menerima suap. Dampaknya sangat buruk sekali terhadap akhlak dan moral para remaja. Seharusnya kita membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa salah. Waduh praktik politik uang kalau sudah dikatakan hal ini sudah lumrah, yang konon anggota dewan itu wakil rakyat dan pemilih juga mau menerima suap, kiranya roda pemerintahan akan pincang.
Sistem proporsional terbuka sudah dilaksanakan lima kali sejak era reformasi. Tetapi dari periode ke periode politik uang bukannya menurun, tetapi malah lebih terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Di sinilah tugas dan fungsi Badan Pengawas Pemilu yang berperan aktif, baik secara preventif dan langsung menindak tegas yang melakukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan caleg. Pada sistem proporsional terbuka, justru pesaing beratnya adalah caleg dalam satu partai bukan partai lainnya. Karena tujuan utama caleg adalah meraih suara sebanyak mungkin, maka berbagai cara dilakukan, baik secara normatif maupun melakukan praktik politik uang dengan gila-gilaan yang dititipkan biasanya melalui tim suksesnya. Serangan fajar caleg lain menyiapkan per amplop untuk pemilih berisi @Rp 50.000 ditimpa oleh caleg lainnya dengan Rp. 100.000 bahkan sampai Rp. 150.000. Uang yang dibagikan kepada pemilih, yaitu dari modal caleg sendiri atau gabungan (paket) antara caleg kabupaten/kota dengan caleg provinsi atau caleg pusat. Untuk caleg Kabupaten/kota saja, caleg lain menyiapkan amplop untuk 7.000 pemilih ditimpa caleg lainnya 8.000 sampai 10.000 pemilih, bahkan sampai 12.000 pemilih, apalagi caleg provinsi dan pusat. “Berapa ratus juta rupiah atau berapa miliar rupiah yang harus dikeluarkan seorang caleg untuk ingin jadi anggota dewan. “Apa sih yang mereka inginkan setelah duduk jadi anggota dewan”?.
Memang kenyataannya yang lebih efektif senjata ampuh sebagian besar yang terpilih menjadi anggota dewan, yaitu dengan politik uang. Apa lagi dengan sistem terbuka pemilih tidak mengenal caleg di dapilnya apalagi visi, misi, dan program krja calegnya. Jangankan caleg pusat, caleg DPD, caleg provinsi, caleg kabupaten/kota-pun tidak mengenalnya. Kalaupun mengenalnya hanya beberapa caleg dari sekian banyaknya caleg di dapilnya. Bagi yang berpendidikan rendah, ekonominya rendah, dan yang lainnya juga sebagian tidak berpikiran panjang, “Siapa yang memberi uang, itu lah yang dicoblos (dipilih)”.
Dengan sistem proporsional terbuka untuk pileg, nyaris tidak terdengar (sepi, rehe, jempling jiga gaang katincak) kampanye partai politik dengan orasi-orasinya dari para jubirnya. Dan tidak terbayangkan juga bila kampanye semua partai politik peserta pemilu yang berjumlah 24 (dua puluh empat) berkampanye di kabupaten/kota, karena sulitnya mengatur jadwal kampanye. Kampanye kelihatannya sendiri-sendiri bersosialisasi dengan membagikan stiker berupa gambar caleg, kalender, kaos, sembako, dan bantuan lainnya. Kemudian baliho-baliho ukuran kecil dan besar serta ada juga yang dipasangnya sebelum jadwal kampanye (offside).
Untuk berebut kursi panas menjadi anggota DPR yang utama sebetulnya bukan uang, barang, dan jasa yang dipertaruhkan, tapi sejatinya adu ide, gagasan, kapasitas, integritas, pendidikan politik, dan bagaimana menciptakan inovasi untuk menyejahterakan rakyat.
Praktik politik uang dalam penyelenggaraan pemilu dapat mencederai tatanan demokrasi, Pendidikan politik, merusak sistem politik, menodai fair flay proses politik. Dengan mengeluarkan biaya kampanye yang sangat tinggi, maka permasalahan selanjutnya rentan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Atas kelemahan pemilu dengan menggunakan sistem proporsional terbuka , sehingga banyak masyarakat menginginkan pemilu dengan menggunakan sistem proporsional tertutup (memilih partai politik). Walaupun menggunakan sistem proporsional tertutup kemungkinan masih terdapat KKN di tingkat partai politik, yaitu membeli nomor urut terkecil untuk menjadi nominasi caleg. Untuk mencegah KKN, maka masing-masing partai politik harus menyeleksi caleg yang mempunyai integritas tinggi, berani mengatakan tidak untuk menerima suap, berani menunjukkan, serta berani bersaksi yang melakukan KKN.
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilahan Umum No. 18 Tahun 2023 Tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum. Dana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota bersumber dari partai politik, calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, serta sumbangan dari pihak lain yang sah menurut hukum. Selain didanai oleh sumber dana kampanye tersebut di atas, anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dapat didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang dialokasikan pada bagian anggaran KPU. Adapun dana kampanye pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang berasal dari perseorangan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) selama masa kampanye. Dana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang berasal dari kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah paling banyak Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) selama masa Kampanye. Dana Kampanye dapat berbentuk uang, barang; dan/atau jasa.
Terakhir obrolan warung kopi, urang bandungan (kita dengarkan) dan lihat Pemilihan Kepala Daerah Serentak yang akan dilaksanakan tanggal 27 November tahun 2024, yaitu:
- “Apakah akan terjadi, bahwa kandidat kepala daerah harus membeli perahu dengan harga 1 kursi anggota dewan sekian ratus juta?”
- “Apakah hak pilih akan disuap juga seperti pemilu legislatif?”
- “Apakah setelah menjabat sebagai kepala daerah akan terjadi jual beli jabatan dan KKN lainnya?”
Semoga Pilkada Serentak dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang dan dirido’i oleh Allah Swt. Aamiin YRA. Semoga bermanfaat. (Gadriaman SE MPd)
Penulis merupakan Dosen Prodi Pendidikan Jasmani Unsil