RADAR TASIKMALAYA – “Tidak ada ber-perspektif gender tanpa kehadiran Perempuan di politik. Tiada kesetaraan gender tanpa kesungguhan semua pihak mendukung Perempuan Indonesia untuk maju, Demokrasi pincang tanpa kehadiran Perempuan sebagai penentu”. – GKR Hemas
Salah satu konsekuensi logis dari hak demokrasi perempuan sebagai warga negara di negara demokratis adalah keterlibatan mereka dalam politik sehingga perempuan memiliki hak dan potensi yang sama seperti laki-laki (Ramdhani, 2021). Hal ini menunjukkan pentingnya kesadaran masyarakat agar meniadakan budaya patriarki sebagai penghambat perempuan dalam menunjukkan keterlibatannya di dalam politik.
Setiap orang pada zaman ini masih menerapkan budaya patriarki secara tidak langsung dan tidak tertulis (Adriani & Maulia, 2024). Perempuan juga mempunyai hak untuk menentukan kemajuan negara Indonesia menuju era generasi emas yang telah digadang-gadang akan membawa perubahan signifikan bagi negara pada tahun 2045. (Fakta Unik Wanita politik Indonesia)
Menurut Nastitie (2024), jumlah wakil perempuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari tahun 2024–2029 adalah yang tertinggi dalam sejarah hasil pemilu. 127 perempuan terpilih dari 580 anggota dewan. Dibandingkan periode sebelumnya, keterwakilan perempuan DPR 2024–2029 meningkat 22,1%. Akan tetapi, jumlah kandidat perempuan turun dari 40% pada 2019 menjadi 37% pada 2024. Meskipun kuota partisipan perempuan dalam politik adalah 30 persen yang menyebabkan kenaikan anggota perempuan di parlemen meningkat.
Namun, faktanya posisi yang ditempati perempuan dalam anggota dewan maupun anggota partai masih sangat terbatas dan cenderung belum memenuhi kuota untuk mengisi posisi penting sehingga keterlibatan perempuan di posisi penting sangat kekurangan. Dibandingkan dengan negara seperti Meksiko, Finlandia, dan Spanyol yang memiliki persentase peran perempuan di parlemen yang tinggi, mencapai 48,2%, 47%, dan 47,43% (Berdirikarionline, 2020).
Perbandingan antara data partisipasi politik perempuan Indonesia dengan data partisipasi perempuan dari negara lain membuat Indonesia tertinggal jauh. Oleh karena itu, pola pikir penghambat kesetaraan gender di dunia politik harus dibenahi supaya ke depannya cita-cita Indonesia menuju generasi emas dapat tercapai di tahun 2045 nanti.
Menurut, Kiftiyah (2019) secara umum ada dua hambatan yaitu, 1. Agama, khususnya agama Islam, orang-orang berpendapat bahwa perempuan, hanya bisa menjadi makmum, tidak dapat menjadi imam, dan posisi di legislatif dianggap sebagai imam, 2. Budaya, ketika orang Indonesia mendengar kata- kata politik, mereka menganggapnya sebagai praktik yang tidak baik. Mereka percaya bahwa perempuan tidak akan bisa bertahan lama dalam politik karena mereka dianggap lemah dan akan kalah dengan kaum laki-laki jika mereka berada di dunia politik.
Lebih lanjut lagi, masalah yang sedang terjadi pada partai dan parlemen di Indonesia masih diperjuangkan untuk menaikkan jumlah kuota partisipan perempuan di politik tersebut. Keterampilan kewarganegaraan (civic skill) adalah inti dari upaya untuk meningkatkan partisipasi politik kader perempuan melalui pendidikan politik (Hariyanti et al., 2018).
Pendidikan politik bagi kader menjadi solusi yang saat ini dilakukan oleh setiap partai Indonesia, hal ini menjadi anggapan ketika seorang kader sudah dapat memahami ilmu politik dan mampu mengimplementasikan, kesempatan perempuan dalam dunia politik semakin terbuka. Namun, budaya patriarki sangat sulit untuk dihilangkan di kebanyakan orang karena sistem tersebut sudah lama diterapkan turun-temurun sejak zaman dahulu, meski perempuan mempunyai banyak pengalaman dan ilmu yang tinggi, kebanyakan anggota cenderung lebih memilih menyuarakan posisi penting bagi pria ketimbang perempuan.
Oleh karena itu, dibutuhkan sistem penilaian yang adil dan bersih dalam perekrutan setiap anggota dengan tahapan-tahap yang harus mereka selesaikan secara jujur sebagai modal awal yang dapat memperlihatkan pantas atau tidaknya calon kader sesuai dengan visi dan misi politik Indonesia ke depannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah penerapan Exam Practice Problem Solving Efficiency (EPPSE).
Sistem Exam Practice Problem Solving Efficiency (EPPSE) adalah suatu inovasi sistem ujian dalam perekrutan kader dan mempertahankan kader yang bertujuan memberi peluang pada perempuan untuk membuktikan sejauh mana pemahaman dan penyelesaian masalah politik dapat mereka selesaikan.
Alasan memilih menggunakan sistem ini adalah untuk memilih kader perempuan dan pria dalam partai yang berpotensi baik pemimpin untuk dicalonkan. Ujian ini dilakukan setiap perekrutan dan setahun sekali bagi kader yang sudah diterima, baik Perempuan atau pria. Hal ini bertujuan untuk menyeleksi kader yang pantas menjadi pemimpin dan memberikan pengalaman untuk merasakan keadaan masyarakat di setiap lapisan kelas sosial.
Ujian ini terdiri dari ujian tulis (Perekrutan & Kader) dan ujian praktik di lapangan untuk (kader partai), ujian tulis berisikan: psikotes, wawasan kebangsaan, tes numerik, Bahasa Indonesia dan Inggris, untuk ujian praktik berisikan: a. setiap kader turun kelapangan untuk melihat, mendengarkan, membuat laporan, dan membuat solusi efektif mengatasi masalah yang sedang terjadi, b. Membuat rancangan anggaran suatu daerah yang akan di uji oleh panitia, c. ujian praktik spiritual sesuai agama masing-masing kader.
Berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2023. Ditemukan 791 kasus korupsi, 1.695 orang ditetapkan sebagai tersangka dan polisi menangkap 1.695 orang, potensi kerugian negara sebesar Rp 28,4 triliun, suap-menyuap dan gratifikasi sebesar Rp 422 miliar, pungutan liar atau pemerasan sebesar 10 miliar, dan aset yang disamarkan melalui pencucian uang sebesar Rp256 miliar (Anandya & Ramadhana, 2024).
Berdasarkan Badan Pusat Statistika (BPS) pada tahun 2024, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 sebesar 3,85 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih rendah dibandingkan IPAK pada tahun 2023 sebesar 3,92. Nilai indeks yang semakin mendekati angka 5 mengartikan masyarakat bertindak antikorupsi, begitu juga sebaliknya dan wilayah yang ditempati masyarakat berpendidikan tinggi memiliki nilai indeks yang tinggi (BPS, 2024).
Dari data di atas dapat kita simpulkan bahwa kemampuan pemahaman dalam dunia politik sangat diperlukan untuk mewujudkan kepemimpinan yang bersih dan adil. Upaya pelaksanaan Exam Practice Problem Solving Efficiency (EPPSE) mempunyai tujuan membentuk kader setiap partai lebih berkualitas dan jujur.
Terlebih lagi ujian ini memberikan peluang besar pada perempuan karena sistem penilaiannya dilakukan secara adil berdasarkan skor yang sesuai dengan peraturan kelulusan ujian EPPSE. Secara umum sistem ini sudah teruji seperti ujian kelulusan sekolah atau ujian masuk kuliah jika tidak lulus harus mengulang tahun depan. EPPSE juga diharapkan menjadi sistem baru untuk menghasilkan kader perempuan yang hebat, pintar, jujur dan tangguh agar memotivasi perempuan Indonesia untuk turut berpartisipasi di dunia politik.
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945 berbunyi, “Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang kekuasaan membentuk undang- undang”. DPR bertanggung jawab membentuk undang-undang, termasuk mengatur pemilu dan perekrutan anggota parlemen dapat membuat kebijakan baru terkait perekrutan dan penerapan ujian EPPSE dalam memperbaiki kualitas anggota partai politik. Sistem ini dapat berjalan ketika pemerintah mulai bertindak dan prihatin memberikan kebijakan yang wajib dilaksanakan oleh setiap kader partai dengan tujuan meningkatkan keadilan bagi setiap anggota yang memenuhi syarat kelulusan ujian tersebut.
Selain itu, penerapan sistem ujian EPPSE di era ini memiliki beberapa manfaat. Sistem ujian yang dirancang berdasarkan fakta lapangan dan disertai bagaimana individu dapat melakukan inovasi penyelesaian masalah, membuat setiap individu semakin berpikir kritis tanpa bergantung pada gender. Keunggulan kedua adalah menilai kejujuran dan tanggung jawab dalam mengerjakan semua tahapan ujian dengan tepat. Keunggulan ketiga, setiap peserta ujian EPPSE akan mendapatkan penilaian berupa catatan mengenai kekurangan dan kelebihan diri seorang individu dari hasil ujian tersebut.
Kerja sama dari beberapa pihak sangat penting dilakukan dalam implementasi ujian EPPSE. Pihak pertama yang memiliki peran vital adalah pemerintah, terutama DPR. Pihak kedua adalah Civitas Akademika. DPR melalui kebijakannya akan bekerja sama dengan Civitas Akademika untuk pembuatan dan pemantauan ujian EPPSE yang akan diberikan kepada petugas partai sebagai panitia penguji dalam pelaksanaan ujian tersebut nantinya. Upaya ini dilakukan guna memberikan posisi perempuan lebih adil dan kejujuran individu di dunia politik ke depannya.
Upaya dalam pembentukan kader melalui ujian EPPSE ini dapat memberikan data keadaan dirinya saat ini dan sejauh mana peserta ujian dapat menyelesaikan masalah di lapangan, sehingga partai dapat menentukan kader yang memenuhi syarat kelulusan EPPSE. Upaya ini dibentuk, sebagai cara menumbuhkan kesetaraan gender dan pemimpin politik yang memiliki kesadaran bertanggung jawab serta jujur dalam menjalankan demokrasi negara yang adil dan beradab. Hal ini sangat penting dilakukan agar perempuan mempunyai peluang yang sama dan tidak dipandang sebelah mata oleh pria di dunia politik.
Tidak bisa dipungkiri kebanyakan dari pemimpin politik Indonesia saat ini dianggap masyarakat kurang dalam segala hal untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kebanyakan dari pemimpin politik adalah pria.
Hal ini tentunya masih dirasakannya budaya patriarki di mana budaya ini menganggap posisi pria harus menjadi pemimpin perempuan dalam segala hal. Kehadiran EPPSE menjadikan bentuk awal upaya memberikan peluang perempuan untuk membuktikan potensinya dalam dunia politik yang lebih bermanfaat bagi masyarakat ke depannya.
Agar penerapan ujian ini dapat berjalan dengan baik, maka kejujuran dalam pemberian nilai harus ditegakkan. Oleh karena itu, melibatkan pemerintah, civitas akademika, polisi, dan Jurnalis media liputan, menjadi pilihan terbaik agar kejujuran dan keamanan proses ujian dapat ditegakkan. Dengan demikian, posisi perempuan hebat di dunia politik Indonesia dapat direalisasikan untuk membangun demokrasi yang lebih inklusif dan representatif. (Zaky Baridwan)
Penulis merupakan Mahasiswa S1 Jurusan Psikologi Universitas Muria Kudus; Pemenang 10 besar lomba esai antar mahasiswa tingkat nasional tahun 2025 yang diselenggarakan UPA Perpustakaan Universitas Siliwangi