Pilkada dan Lahirnya Yulius Kaesang

RADAR TASIKMALAYA – Ada seorang ayah yang ketika ditanya wartawan, bagaimana anak bapak dinominasikan sebagai bakal calon wakil presiden? ayah itu dengan tegas menjawab tidak, salah satu alasannya karena belum cukup umur. Tak lama kemudian, anak tersebut dinobatkan sebagai wakil presiden terpilih. Cerita selanjutnya pun sama, putra bungsunya banyak dibicarakan dalam menghadapi pemilu kepala daerah, ayah pun menjawab tidak, cerita bersambung.
Mochtar Lubis menyebutkan ciri-ciri manusia Indonesia, yakni (1) hipokrit atau munafik; (2) enggan bertanggung jawab atas perbuatannya; (3) berjiwa feodal; (4) percaya takhayul; (5) artistik; dan (6) watak yang lemah. Pernyataan tersebut beliau sampaikan pada pidato kebudayaan tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Tahun 1990 pidato tersebut dibukukan dengan judul yang sama dengan judul pidatonya: Manusia Indonesia.
Pandangan di atas masih sangat relevan jika dicermati dalam kehidupan sosial politik masyarakat kita saat ini. Bagaimana tidak, dalam rentetan Pemilu 2024 dari Pilrpes, Pileg sampai sekarang menjelang berakhirnya rezim Jokowi lanjut nanti Pemilu Kepala Daerah, para elit politik saja mempertontonkan karaker munafik/hiprokrit, lain perkataan lain perbuatan, membantah ucapan dan janji politiknya sendiri, tidak bertanggungjawab jika terjadi kegagalan, bahkan mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dijanjikan dalam kampanye politik seperti Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
Jiwa feodalisme yang dapat dimaknai sikap menjilat atasan, asal bapak senang juga terjadi, sekalipun menghamburkan keuangan negara, unfaedah bagi kesejahteraan rakyat, tetap saja didukung penuh oleh para penjilat. Sangat miris melihat politisi senior yang lebih matang berpengalaman, namun membiarkan bahkan memberi jalan untuk memperokok dinasti Politik Jokowi.
Dari Gibran ke Kaesang, Bobby pun demikian, dari Mahkamah Keluarga kini Mahkamah Anak. Putusan Mahkamah Agung (MA) No.23 P/HUM/2024 atas uji materil Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.9 Tahun 2020 tentang Perubahan keempat atas PKPU No.3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Putusan itu intinya mengubah syarat usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati, calon wali kota dan calon wakil wali kota sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU 9/2020 yang sebelumnya terhitung sejak penetapan pasangan calon dan sekarang sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU (UU Pilkada).  Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 mengatur syarat usia minimal 30 tahun untuk calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, dan 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati, calon wali kota dan calon wakil wali kota. Untuk kebutuhan operasional, Peraturan KPU 9/2020 mengatur syarat usia itu dihitung sejak penetapan sebagai pasangan calon.
Pemilukada yang akan dilaksanakan akhir tahun atau setelah Presiden baru dilantik, dinamika sampai saat ini masih sangat berbeda dengan peta politik di Pemilu awal tahun kemarin. Namun, memunculkan kembali nama-nama keluarga Jokowi, begitu pun para pejabat daerah di berbagai tempat. Ini menandakan bahwa demokrasi Indonesia sedang dalam antiklimaks. Betul bahwa ada hak siapa pun untuk memilih maupun dipilih, namun dengan cara mengacak-acak aturan yang hanya untuk memuluskan putra mahkota, lagi-lagi watak lemah bangsa kita terbukti.
Ciri-ciri manusia Indonesia yang digambarkan oleh mendiang Mochtar Lubis, hanya satu yang positif yakni artistic. Maka tidak heran mereka yang berwatak hipokrit, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, percaya takhayul, dan watak yang lemah, menutupi dirinya dengan gimmick-gimmik kelucuan, joged-jogedan dan mendadak menjadi dan dekat dengan kalangan artis.
Seorang anak muda yang secara aturan belum cukup umur, namun seolah sangat diperiutungkan dalam Pemilukada ini, disejajarkan bahkan dianggap lebih penting dari figur lain. Jika itu dialami juga oleh anak muda lain satu generasi dengan dirinya mungkin masih dianggap wajar. Namun, itu semua tidak akan pernah terjadi kalau dia bukan putra Jokowi.
Apakah mungkin gelombang reformasi 26 tahun silam sudah berakhir? Harapan untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme sirna sudah. Semua telah dilegalkan formalkan. Norma dan hukum baru telah memperkokoh satu keluarga dinasti. Semoga saja, itu tidak terjadi dan hanya asumsi. Sekalipun memang sudah sebagian terjadi, patut dinanti apakah masih ada yang taat konstitusi.
Yulius Kaisar saja yang dicatat sejarah Romawi Kuno sebagai kaisar terhebat dan diktator seumur hidup mengakhiri kekuasaan dalam kondisi pemerintahan yang semakin lemah. Jangan sampai, dinasti politik Indonesia sekarang melahirkan Yulius lain, yakni Kaesang. (K Adi Saputra)

penulis merupakan Dosen MKWK PPKn Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *