Drama Pilkada Serentak, Mungkinkan Kembali Dipilih DPRD?

Politik257 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Pesta demokrasi, rangkaian panjang Pemilu serentak diakhiri oleh Pilkada yang dilaksanakan pada 27 November lalu, sekaligus menutup cerita akhir tahun politik 2024.

Namun, setalah semua kepala daerah resmi diumumkan sebagai pemenang, ada hal menggelitik dari ucapan Presiden Prabowo. Beliau mengusulkan bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD, alasan utamanya karena biaya politik yang tinggi, banyak menghamburkan anggaran negara.

Spekulasi karena alasan politis, kekalahan Ridwan Kamil-Suswono pada Pilkada Jakarta. Kekalahan di Jakarta memberikan pukulan telak bagi koalisi gemuk pemerintah yakni KIM Plus. Sebagai daerah pusat sekaligus episentrum politik nasional, Jakarta harus dipimpin oleh kelompok oposisi.

Jagoan pemerintah harus dipecundangi oleh pasangan Pramono-Rano yang hanya diusung oleh PDIP serta menjelang hari pemilihan mendapatkan tambahan dukungan dari Anak Abah, karena Anies Baswedan secara terbuka mendukung pasangan Pram-Doel tersebut.

Wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD sebenarnya boleh saja, bahkan sebelum reformasi, kepala daerah memang dipilih oleh DPRD. Tetapi, untuk menjadi keputusan, pasti akan menimbulkan pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat. Hal tersebut juga membutuhkan proses politik hukum yang panjang, harus menempuh proses legislasi, undang-undang yang mengatur pemilihan kepala daerah harus diubah.

Pemilu kepala daerah maupun pemilu presiden memang banyak menimbulkan persoalan di luar anggaran negara yang banyak terkuras. Secara filosofis, hal tersebut tidak sejalan dengan prinsip demokrasi Pancasila, yakni sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.

Itulah kenapa dari awal berdirinya negara ini tidak melaksanakan pemilu langsung baik Presiden maupun Kepala Daerah. Namun, pasca reformasi terdapat konsensus tentang kehidupan yang demokratis, amandeman UUD 1945 dan untuk Pilkada didasari oleh konsep otonomi daerah sebagai salah satu amanat reformasi.

Selain itu, secara praktis, Pilkada pun membutuhkan ongkos politik yang mahal, para calon kepala daerah membutuhkan modal finansial yang tidak sedikit, apalagi untuk memenangkan kontestasi. Besarnya biaya politik inilah yang memicu banyak terjadinya kasus korupsi di daerah. Bagaimana tidak, pasangan calon selain menyiapkan dana kampanye, tak jarang yang melakukan praktik politik uang kepada pemilih. Kondisi ini semakin memburuk karena masih banyak masyarakat yang secara sadar dan sukarela menanti pemberian uang dari calon yang akan dipilihnya.

Jika ditelaah dari masa lalu Prabowo, secara nasab politik, Prabowo merupakan mantan menantu penguasa orde baru yang di mana kepala daerah ditentukan oleh pusat walaupun memang ada mekanisme di DPRD. Bisa jadi Prabowo terbawa arus romantisme masa lalu, saat mendiang Pak Harto berkuasa. Pemerintah pusat tidak begitu dipusingkan dengan kepala daerah yang berbeda haluan politik dengan Presiden. Semua keputusan dan kebijakan pusat secara komando diikuti oleh daerah.

Kelemahan sekarang memang terdapat money politic di masyarakat, namun jika oleh DPRD maka akan rawan juga politik uang pada kalangan elit parpol di DPRD. Tidak ada sistem yang lebih baik dalam demokrasi, semuanya tergantung dari komitmen etik dari para pelaku politik. Pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat pemilih bahwa politik uang itu haram, atau bentuk apa pun yang melanggar hukum, norma dan moral.

Pilkada langsung seperti sekarang maupun dikembalikan lagi kepada DPRD, tetap saja buruk jika hanya dijadikan ajang perebutan kekuasaan semata. Segal acara dilakukan untuk memenangkan calon tertentu. Presiden dengan aparatur negara yang lain, jangan lagi membiarkan praktik politik busuk. Membodohi masyarakat dengan serangan fajar dan pembagian bansos. Kalau nanti aturannya berubah, jangan membiarkan anggota DPRD untuk saling menjebak, melakukan transaksi politik untuk menentukan calon kepala daerah tertentu.

Presiden Prabowo harus menjaga integritas, sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan harus menjaga komitmen politik, sumpah jabatan, serta segala sesuatu yang melekat beliau. Cara dan gaya kepemimpinan Jokowi jangan sampai diulangi oleh presiden sekarang. Melegalkan sesuatu yang tidak etis, pada saat pandemi Covid-19 misalnya, Pilkada dihentikan karena alasan Covid-19, tetapi pada saat anak dan menantunya mencalonkan, di daerah tertentu dibolehkan.

Bukan rahasia umum juga pada saat Pilpres, ratusan kepala daerah dijabat oleh Plt yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Ketika memberikan kesempatan pada rakyat di daerah untuk memilih pemimpinnya secara langsung dapat dicontrol oleh pusat, apa jadinya nanti jika hanya DPRD yang terlibat. Publik juga paham banyak anggota DPRD yang tidak memiliki integritas.

Kebiasaan melegalkan sesuatu yang hanya untuk kepentingan politik penguasa harus segara hentikan. Biarkan demokrasi berjalan sehat, ketika ada seorang tokoh yang diharapkan menjadi pemimpin bangsa maupun daerah, berikan kesempatan, jangan halangi kehendak masyarakat. Salah satu faktor yang memicu rendahnya partisipasi masyarakat pada Pilkada bisa jadi karena gagalnya calon yang kompeten untuk ikut bertarung. Jangan sampai ketika nanti akan ditentukan oleh DPRD, kembali ke zaman “Beli Kucing Dalam Karung”. (Adi Saputra)

Penulis merupakan Dosen MKWK Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Unsil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *