Kompleksitas Relasi Kuasa dalam Penggunaan Bahasa

Pendidikan244 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Jika diri kita sendiri bisa jadi tidak enak hati, tidak bahagia, atau bahkan terluka mendengar panggilan tertentu, apalagi orang lain yang mendengar dan menerima itu. Pernyataan kondisional ini membawa kita pada dua pokok pembicaraan, bahasa dan relasi kuasa yang berafiliasi dengan peristiwa tutur sehingga menimbulkan kompleksitas makna yang dipahami antara penutur dan mitra tuturnya.

Menurut para ahli, bahasa adalah tanda, fenomena mental, alat identitas, dan sistem simbolik. Ferdinand de Saussure menyatakan, bahasa sebagai tanda yang bersistem dan berhubungan. Tanda- tanda yang dimaksud adalah tanda-tanda bunyi yang berhubungan arbitrari, bermakna, dan berkonvensi. Chomsky berpendapat bahwa bahasa yang dimiliki manusia adalah fenomena mental yang berarti bahwa terjadi kodifikasi pengetahuan dalam otak manusia ketika manusia tersebut menggunakan bahasa. Pada saat menggunakan bahasa inilah, menurut Habermas, bahasa dapat membangun hubungan sosial dengan konteks penggunanya. Seperti yang dikemukakan Searle bahwa bahasa digunakan untuk menyampaikan makna dan yang terkait dengan konteks penggunanya. Sekaitan dengan konteks ini, menurut Grice fungsi bahasa diperkuat dengan adanya tujuan komunikatif pada konteks yang terhubung dengan para penutur yang terlibat dalam suatu peristiwa tutur.

Tujuan komunikatif bahasa yang terjadi pada suatu peristiwa tutur akan tampak kompleks sebagai dampak dari keberadaan unsur budaya yang begitu luasnya melingkari suasana tersebut, diantaranya adalah relasi kuasa. Lalu apa kaitannya sebenarnya antara peristiwa tutur dan relasi kuasa? Peristiwa tutur menjadi suatu konsep untuk menggambarkan situasi dimana interaksi verbal terjadi. Menurut Hymes, peristiwa tutur memiliki sejumlah aspek penting yang harus dicermati bersama. Aspek-aspek tersebut dirancang ke dalam sebuah akronim, SPEAKING. Akronim ini berisi dengan elemen Setting, Participants, Ends, Acts, Key, Instrumentalities, Norms, dan Genre, sehingga berdasarkan akronim ini pengguna bahasa seharusnya menyadari keberadaan konteks komunikasi, para penutur yang terlibat, tujuan komunikasi, tindakan komunikatif, nada dalam komunikasi, sarana, norma-norma sosial, dan jenis wacana yang digunakan. Hal ini memerlukan pemahaman dari para penutur di antaranya tentang situasi sosial, norma, dan tujuan komunikasi. Misalnya, di suatu lingkungan kerja dengan berbudaya tegur sapa, tindakan tersebut akan menjadi hal yang menjadi konvensi untuk dilakukan oleh seluruh warga di lingkungan itu. Namun, akan sangat mengherankan bahkan mungkin menjadi perhatian serius jika ada segelintir orang dari lingkungan tersebut yang tidak melakukannya. Hal ini terjadi mungkin dengan alasan bahwa dia tidak kenal, tidak akrab, atau bahkan yang lebih menghentak lagi karena merasa memiliki status sosial yang dianggap prestisius, sehingga enggan menyapa kolega yang sekadar berpapasan dengannya.

Bertegur sapa bukanlah bagian dari kultur feodal apalagi seremonial. Meskipun dua kultur ini dianggap toksik seperti yang sebelumnya menjadi hasil telisik dari Taufiqurrahman dalam artikelnya berjudul ‘Kultur Toksik Dunia Akademik”, terbit di harian Kompas beberapa waktu lalu, yang mengkritisi budaya di perguruan tinggi. Bertegur sapa, adalah warisan budaya yang bernilai positif karena di dalamnya terdapat nilai spiritualitas dan kesantunan berbudi pekerti sebagai representasi budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. Tetapi esensi merasa lebih tinggi itulah tampaknya yang menjadi biang kerok untuk kondisi ini, sehingga ada relasi kuasa yang termanipulasi.

Relasi kuasa dapat dicermati sebagai hubungan yang ada kaitannya dengan bagaimana distribusi kekuatan, pengaruh dan kontrol yang miliki individu atau kelompok atas individu dan kelompok lain pada konteks tertentu. Padahal menurut seorang filsuf Perancis yang selanjutnya pandangan-pandangannya mempengaruhi alur berpikir analisis wacana kritis, Foucault, menyatakan bahwa kuasa tidaklah dimiliki secara absolut oleh siapapun, tetapi hal ini hanyalah permainan interaksi di masyarakat, meskipun pada prakteknya melibatkan faktor tertentu, diantaranya pengetahuan dan norma yang dapat membentuk persepsi di masyarakat. Dari kuasa ini mungkin saja ada kesan bahwa kuasa berarti penindasan, tetapi sesungguhnya kuasa itu adalah untuk memproduksi pengetahuan, kebenaran, dan mengatur perilaku individu.

Kembali pada pembahasan bahasa dan relasi kuasa, bahasa merupakan alat yang kuat untuk mempengaruhi pemikiran, persepsi, dan tindakan individu serta kelompok. Relasi kuasa tersebut, sebenarnya harus lah ada namun keberadaannya lah yang harus tetap terjaga. Misalnya relasi kuasa yang antara guru dan siswa idealnya menempatkan posisi guru untuk berperan mengelola kelas. Kuasa ini akan tampak dalam instruksi-instruksi yang diberikan pada saat proses pengajaran. Guru tersebut menggunakan bahasa-bahasa kelas dengan tujuan untuk merealisasikan beragam macam tujuan pembelajaran dan siswa pun terlibat dalam mencapai hal tersebut. Apa jadinya kelas jika tidak ada kuasa guru. Guru tidak memiliki aturan main melaksanakan aktivitas kolektif tersebut, sehingga bukan prestasi yang dicapai, justru kekacauan yang terjadi.

Namun, sebagai manusia yang merasa selalu mampu beradaptasi dan bergerak dinamis, tentunya harus selalu menyadari pentingnya membumi. Penggunaan bahasa sebagai alat dominasi, bukanlah untuk hal yang sekehendak hati tanpa aturan. Mungkin masih ingat di pikiran pembaca pemberitaan viral tempo hari tentang seorang guru yang berinteraksi dengan gubernurnya di media sosial. Guru tersebut menggunakan kata maneh pada tuturannya kepada gubernur tersebut. Efek sosial yang terjadi sangatlah pelik sehingga tidak sedikit pihak yang ikut berkomentar untuk menanggapi kasus ini. Kata ini dalam tuturan bahasa Sunda, sebenarnya memiliki makna beragam. Mungkin itulah kiranya yang menjadi alasan si penutur menggunakan hal tersebut ditambah lagi dengan jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang menempatkan seluruh warga negara bebas berpendapat. Tetapi hal yang harus diingat adalah seperti yang disampaikan guru besar Universitas Padjajaran, Prof Cece Sobarna, bahwa kata manéh merupakan persoalan klasik dan pelik, sehingga memerlukan keluhuran budi untuk memahami dan menggunakannya.

Penulis selanjutnya mencermati, jika pun kata ini ingin digunakan, maka pedulilah bahwa kata tersebut akan terasa biasa saja jika kesepakatan untuk relasi itu setara dan terbiasa. Maneh akan terasa janggal jika relasi setara namun tidak biasa. Maneh akan terasa biasa jika kesepakatan relasi tidak setara namun disepakati. Maneh akan terasa tidak biasa jika relasi diindikasi tidak setara dan tidak disepakati. Maneh akan terasa memiliki kesan positif jika relasi bervariasi namun tujuan tuturan adalah untuk hiburan semata.

Kesan ini sangatlah kultural, yang begitu luas cakupannya, sama halnya dengan hasil penjelajahan Eric Weiner, penulis buku The Geography of Bliss, yang melakukan perjalanan  ke berbagai negara untuk mencari kebahagiaan. Dalam pandangannya, orang-orang Swiss bahagia karena tidak berlebihan juga tidak kekurangan, sangat menyukai aturan dan taat pada aturan, dan tidak menyombongkan apa yang mereka miliki. Sejalan dengan hal itu, maka fungsikan bahasa untuk interaksi terbaik dengan penuh kesadaran dan kepekaan terhadap kondisi dan lingkungan sekitar. Sekalipun ada kuasa itu adalah bentuk norma yang berdampak pada dinamika sosial yang tercipta untuk kemajuan bersama. (Dr. Agis Andriani, S.Pd., M.Hum.)

Dr. Agis Andriani, S.Pd., M.Hum. adalah doktor pada bidang Linguistik, Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP UNSIL.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *