RADAR TASIKMALAYA – Desa merupakan unit terkecil dalam sistem pemerintahan di Indonesia, namun di sisi lain unit ini memiliki potensi ekonomi yang besar. Sayangnya, potensi ini sering kali belum dioptimalkan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mendorong pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang dapat difungsikan untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa.
BUMDes adalah badan usaha yang dikelola oleh pemerintah dan masyarakat desa. Badan usaha tersebut bertujuan untuk mendorong perekonomian desa melalui berbagai kegiatan usaha. Keberadaan BUMDes diharapkan menjadi pilar kemandirian ekonomi desa, pemberi manfaat kepada desa seperti penciptaan lapangan kerja, pemberi peluang untuk peningkatan pendapatan asli desa, serta pendorong ekonomi kerakyatan yang berdaya saing.
BUMDes mencerminkan semangat Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur perekonomian berdasarkan asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” BUMDes merupakan wujud dari usaha bersama masyarakat desa untuk mengelola potensi ekonomi desa secara kolektif dan berbasis kekeluargaan. Pasal 33 ayat (2) menyebutkan “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
BUMDes adalah bentuk penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi penting bagi masyarakat desa, yang didelegasikan kepada desa untuk kesejahteraan bersama. Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” BUMDes bertujuan memanfaatkan potensi ekonomi dan kekayaan alam desa untuk kemakmuran masyarakat desa. Pasal 33 ayat (4) menyatakan “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
BUMDes merupakan implementasi demokrasi ekonomi di tingkat desa, dengan keterlibatan aktif masyarakat dalam pengelolaan dan kegiatan ekonomi desa.
Berdasarkan yang tertulis dalam pasal-pasal tersebut, implikasi yang dapat dicermati adalah bahwa BUMDes sebagai bentuk penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi penting bagi masyarakat desa yang didelegasikan kepada desa untuk kesejahteraan bersama. BUMDes juga bertujuan untuk memanfaatkan potensi ekonomi dan kekayaan alam desa untuk kemakmuran masyarakat desa, dan merupakan implementasi demokrasi ekonomi di tingkat desa, dengan keterlibatan aktif masyarakat dalam pengelolaan dan kegiatan ekonomi desa.
BUMDes pun menjadi perwujudan semangat Pasal 33 UUD 1945 dalam konteks desa menjadi sarana demokrasi ekonomi, penguasaan produksi penting, dan pemanfaatan kekayaan alam demi kemakmuran rakyat.
Selain itu, terdapat juga dasar-dasar hukum lain terkait dengan BUMDes antara lain: (1.) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa: Pasal 87 ayat (1) menyebutkan bahwa desa dapat mendirikan BUMDes sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. (2.) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa: Bagian Kelima mengatur pendirian, pengurusan, dan pengawasan BUMDes.(3.) Permendesa PDTT Nomor 4 Tahun 2015: Mengatur tata cara pendirian, pengurusan, dan pembubaran BUMDes. (4.) Permendesa PDTT Nomor 17 Tahun 2019: Mengatur pengembangan usaha ekonomi desa, termasuk BUMDes. (5.) Permendesa PDTT Nomor 3 Tahun 2021: Menyebutkan prioritas penggunaan Dana Desa tahun 2022 untuk pengembangan BUMDes. (6.) PP No. 11 Tahun 2021: Khusus mengatur tentang BUMDes, menggantikan PP No. 43 Tahun 2014. Selain peraturan tersebut, terdapat juga peraturan daerah dan desa yang mengatur lebih lanjut mengenai pendirian dan pengelolaan BUMDes.
Meskipun sejak tahun 2015 BUMDes mulai dibentuk di Indonesia, sampai saat ini banyak yang masih stagnan dan menghadapi berbagai kendala. Masalah utama yang menghambat perkembangan BUMDes antara lain: (1.) Kurangnya pemahaman bersama: banyak pemerintah desa, pengelola, dan masyarakat tidak sepenuhnya memahami konsep, tujuan, dan operasionalisasi BUMDes. Pemahaman yang kurang ini bisa mencakup pengertian mengenai tujuan pendirian BUMDes, cara kerjanya, hingga manfaat yang diharapkan. Kurangnya pemahaman ini juga dapat menyebabkan kesalahpahaman dan miskomunikasi antara pihak-pihak yang terlibat. Akibatnya, BUMDes mungkin tidak dikelola dengan optimal, karena tidak ada visi dan misi yang jelas yang dipahami bersama.
(2.) Perilaku Koruptif: perilaku koruptif di antara pengelola BUMDes termasuk penyalahgunaan dana, nepotisme, dan praktik korupsi lainnya. Perilaku ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap BUMDes, di antaranya adalah karena dana yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan usaha dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa malah disalahgunakan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
(3.) Tata Kelola dan Manajerial Lemah: banyak BUMDes yang menghadapi masalah dalam tata kelola dan manajemen, termasuk perencanaan bisnis yang tidak matang, kurangnya profesionalisme, dan rendahnya kapasitas sumber daya manusia. Lemahnya tata kelola dan manajerial mengakibatkan BUMDes tidak berjalan efisien dan efektif. Ini bisa menghambat pertumbuhan usaha dan mengurangi daya saing BUMDes.
(4.) Tidak Melibatkan Generasi Muda: kurangnya keterlibatan generasi muda dalam pengelolaan BUMDes menjadi kendala karena generasi muda sering kali memiliki ide-ide segar dan semangat inovasi yang tinggi. Tanpa keterlibatan generasi muda, BUMDes mungkin akan kekurangan inovasi dan ide-ide baru yang bisa membawa kemajuan. Ini juga bisa menyebabkan kurangnya kesinambungan dalam pengelolaan BUMDes di masa depan. BUMDes yang dikelola hanya oleh kalangan yang lebih tua tampak akan memperbesar peluang kurang maksimalnya pemanfaatan teknologi digital atau tidak mengikuti tren pasar terbaru, sehingga tidak menarik bagi generasi muda.
(5.) Rendahnya Partisipasi Masyarakat: Partisipasi masyarakat yang rendah dalam pengembangan BUMDes dapat menjadi penghambat besar. Masyarakat seharusnya terlibat aktif dalam perencanaan, pengambilan keputusan, dan pengawasan BUMDes.Tanpa partisipasi aktif dari masyarakat, BUMDes mungkin tidak mendapatkan dukungan penuh dari komunitas. Ini bisa menghambat operasional BUMDes dan membuatnya sulit untuk mencapai tujuan. Masyarakat yang tidak terlibat mungkin tidak mendukung produk atau layanan BUMDes, atau bahkan tidak menyadari keberadaan dan tujuan BUMDes, sehingga BUMDes tidak dapat berkembang sesuai harapan.
Dengan mengatasi kendala-kendala ini, BUMDes memiliki peluang besar untuk berkembang dan memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Dukungan dari pemerintah, peningkatan kapasitas pengelola, serta partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat menjadi kunci untuk mengoptimalkan potensi BUMDes.
Hal penting yang perlu diingat adalah bahwa BUMDes sebagai Lokomotif Transformasi Ekonomi Desa karena badan usaha ini memiliki peran penting dalam transformasi perekonomian desa antara lain: (1.) Inklusivitas: BUMDes memberikan peluang melibatkan masyarakat melalui berbagai skema kerjasama. (2). Multifungsi: BUMDes dapat meningkatkan nilai tambah barang dan jasa, mendistribusikan barang, konsolidasi produk desa, dan menstimulasi usaha/industri perdesaan. (3.) Otoritas Pengelolaan: BUMDes memiliki otoritas mengelola potensi menjadi kegiatan usaha. (4.) Pusat Literasi: BUMDes dapat berfungsi sebagai pusat literasi kegiatan usaha ekonomi desa. (Dr Edy Suroso SE MSI CSBA)
Koordinator Program Studi Magister Manajemen Pascasarjana Universitas Siliwangi (Unsil)