RADAR TASIKMALAYA – Generasi roti lapis, dalam istilah lain sandwich generation mungkin menjadi istilah yang mengemuka beberapa waktu terakhir, yaitu dengan pemberitaan di sosial media tentang kisah keluh kesah seorang pesohor yang merasa dieksploitasi keluarganya. Sebenarnya apa istilah ini sehingga keluhan pesohor tersebut mengundang komentar warganet yang mencurahkan pengalaman serupa atas fenomena tersebut? Apakah ini sebuah kekeliruan ataukah hanya sekedar istilah gagayaan untuk menyemarakkan dunia permediasosialan?
Dorothy A Miller, seorang profesor dari Universitas Kentucky, Amerika Serikat, dalam tulisannya dengan judul “The ‘sandwich’ generation: adult children of the aging” yang terbit pada tahun 1981, telah memperkenalkan istilah ini. Menurutnya generasi tersebut adalah generasi yang memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan orang tua dan anak-anak mereka. Dengan kata lain, istilah generasi sandwich mengacu pada generasi yang merasa tertekan secara finansial karena harus memenuhi kebutuhan generasi di atasnya (orang tua/anggota keluarga) dan generasi di bawahnya (anak), sambil juga memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Berdasarkan hasil sensus tahun 2020, penduduk Indonesia didominasi oleh generasi Z yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012, kemudian generasi milenial yang penduduknya lahir pada tahun 1981 hingga 1996 (Aria & Susilowati, 2021). Sementara itu penelitian terkini tentang “Mental and physical health among ‘sandwich’ generation working-age adults in the United States: Not all sandwiches are made equal (2024)” Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa tidak semua orang dewasa generasi sandwich mengalami dampak kesehatan yang serupa.
Ada perbedaan dalam kesehatan mental dan fisik di antara mereka, yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti tingkat stres, dukungan sosial, dan sumber daya yang tersedia. Temuan ini menunjukkan perlunya pendekatan yang individualistik dalam mendukung kesejahteraan orang dewasa generasi sandwich. Generasi ini sering mengalami tekanan psikologis karena peran mereka sebagai penyokong kehidupan keluarga. Mereka berada di posisi tengah, di antara orang tua yang tidak lagi memiliki penghasilan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari dan anak-anak yang perlu dibesarkan dengan baik.
Budaya yang mengukur kesuksesan dengan nilai lahiriah, misalnya dengan megahnya rumah, mewahnya kendaraan, kerennya tentengan, dan gemerlapnya kehidupan mungkin mengubah kognisi orang secara mental untuk kesan yang muncul atas nilai tinggi pencapaian.
Hal ini membentuk pola pikir kebanyakan orang untuk menempatkan diri di posisi tersebut karena dengan berada pada level itu maka nilai rasa hormat lingkungan akan menjadi ekskalasi dari citra diri dan sebesar apakah penghargaan yang akan diperoleh. Lagi-lagi orang sekitar dianggap akan memberikan penghargaan kepada seorang individu cenderung dari apa yang tampak secara kasat mata.
Kenapa harus direnungi? Karena nantinya mungkin hal inilah yang pada umumnya menjadi cikal bakal kenapa orang tua sangat berambisi untuk menjadikan anaknya serba wah dan favorit. Ukuran wah untuk sekolah anak dilihat dari mahalnya biaya yang dikeluarkan, dan ukuran favorit dilihat dari seberapa kerennya prestise yang diperoleh orang tua di momen-momen interaksi pada saat berbicara konteks ini dengan sesama orang tua. Mari amati kembali bagaimana penyalahgunaan sistem zonasi sekolah negeri yang mungkin menjadi kendala untuk ketidakterpenuhinya kebutuhan prestise ini? Entahlah, namun mari renungi bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (Pasal 31 ayat 1 UUD 1945).
Pernahkah orang tua menyempatkan diri untuk berpikir bagaimana kebutuhan anak dengan versi suara hati dan aspirasi anaknya? Sehingga anak tidak seperti dipaksa untuk masuk di suatu komunitas baru hanya untuk memenuhi ambisi prestise orang tuanya yang mungkin anak-anak tidak membutuhkan. Yang menjadi bahan renungan lagi adalah ada apa dengan ujaran orang tua dengan alasan punya anak adalah supaya di masa tuanya ada yang mengurus dan balas budi secara finansial serta menggantungkan hidupnya kepada anak-anaknya. Sehingga ketika ada seorang influencer bersuara untuk child free, maka bermunculan lah hujatan-hujatan terhadapnya, tanpa mencari tahu dan mencermati apa yang sebenarnya terjadi.
Dipihak lain, muncul juga pandangan bagaimana jika ini adalah karena dampak pola peran dalam sandwich generation sudah mengkhawatirkan karena sudah mempengaruhi kondisi kesehatan mental dan psikologis? Bagaimana kelangsungan umat manusia di masa yang akan datang?
Menikah dan berkeluarga adalah fitrah manusia sebagai makhluk sosial, dan pada konteks di Indonesia hal ini didukung pula oleh prinsip kehidupan berbangsa, yaitu bahwa negara ini adalah negara dengan masyarakat yang berketuhanan yang maha esa. Mari kita bersama menyadari peran kita masing-masing dan merenungi sebenarnya apa yang menjadi tujuan hidup kita ini. Apa pun tujuannya, semoga itu adalah tujuan yang baik, lebih baik, berbuat baik, memberi manfaat baik, berjejak baik, berlanjut baik, dan diingat baik.
Semua mandiri dan tidak saling memberi beban lagi. Seorang anak haruslah memiliki cita-cita mandiri sejak dini. Orang tua pun sama. Anak mandiri lahir dari orang tua dan keluarga yang punya kemapanan emosi dan materi. Kemapanan sangatlah subjektif dan relatif tetapi hendaknya ditujukan bahwa semuanya menuju titik keseimbangan. Kesalingan antara anak dan orang tua. Anak tidak melupakan kebaikan dan jasa orang tuanya dan orang tua menghargai usaha positif anak-anaknya untuk berkehidupan lebih baik. Anak yang tidak menyadari hak dan kewajibannya adalah anak yang berdosa, namun orang tua yang lalai hak dan kewajibannya adalah zalim.
Eddy Erwan Nopianoor, Statistisi Madya BPS Kabupaten Banjar, mengatakan ..”sebagai upaya memutus mata rantai sandwich generation, perlu dibangun literasi keuangan, kesadaran berinvestasi, dan pengetahuan investasi yang memadai akan membuat sandwich generation di masa tuanya mempunyai hidup layak dan mandiri, serta tidak menjadikan anak-anaknya sebagai sandwich generation baru”. (Dr Agis Andriani SPd MHum)
Penulis merupakan Doktor pada bidang Linguistik, Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Unsil