RADAR TASIKMALAYA – Peran ayah dalam hidup seorang anak sangat berarti. Ayah sebagai kepala keluarga dituntut untuk menjadi panutan dan memberikan contoh yang baik dalam menjalani kehidupan pada sang anak. Anak tumbuh dengan melihat lalu meniru lingkungan sekitarnya. Sehingga perilaku anak dari dini hingga dewasa akan selalu dipengaruhi oleh lingkungannya.
Saat ini di Indonesia sendiri banyak anak yang kehilangan peran ayah karena beberapa alasan seperti kematian, LDM (Long Distance Marriage), kesibukan pekerjaan, masalah ekonomi, hingga perceraian. Misalnya pada beberapa waktu lalu, terdapat berita seorang anak berusia 13 tahun mengalami depresi berat karena handphone miliknya yang dibeli dari hasil tabungannya selama delapan bulan dijual oleh ibu kandungnya. Hal tersebut terjadi karena sang ayah tidak ada kabar dan belum mengirimkan uang selama delapan bulan terakhir. Kasus ini menyoroti pentingnya peran ayah dalam stabilitas emosional dan finansial keluarga.
Keterlibatan seorang ayah pada keluarga tidak hanya berpusat pada pencarian nafkah saja. Seorang ayah seharusnya melibatkan diri ke dalam aktivitas sehari-hari sang anak, seperti dengan bermain ketika sore hari atau dengan membacakan sebuah dongeng sebelum tidur. Aktivitas tersebut membuat anak akan memiliki peningkatan dalam kemampuan sosial dan emosional.
Tidak hanya itu saja, anak juga akan memiliki keterampilan kognitif dan self-esteem yang tinggi. Pada umumnya, seorang ayah memiliki peran yang sama pentingnya seperti ibu. Peran ayah sebagai pemimpin keluarga bertanggung jawab untuk menentukan arah dan keputusan yang akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga. Selain itu, ayah juga harus menjadi pelindung dan penyedia kebutuhan keluarga. Maksudnya, ayah harus melindungi keluarga dari berbagai bahaya baik itu dari luar atau dari dalam keluarga, ayah juga bertanggung jawab memenuhi kebutuhan baik itu materi serta emosional seperti mengajarkan anak untuk bertanggung jawab dan kemandirian.
Kehilangan peran ayah, atau sering disebut dengan istilah fatherless yang merupakan sebuah fenomena di mana anak-anak kurang atau bahkan tidak mendapatkan peran ayah dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang sudah disebutkan di atas, penyebab dari fatherless ini biasanya oleh beberapa hal seperti kematian, LDM (Long Distance Marriage), kesibukan pekerjaan, hingga perceraian. Selain itu, fenomena fatherless juga diperparah oleh budaya patriarki yang masih ada dan kuat dalam lingkungan sekitar, yang mana bahwa tugas mengurus anak hanya dibeban kepada ibu.
Dalam budaya partriarki, ayah sebagai orang tua hanya berperan sebagai pencari nafkah dan kepala keluarga saja, tidak terlibat dalam pengasuhan dan aktivitas sehari-hari anak. Padahal sebenarnya, mengurus anak adalah tugas bersama, yaitu ayah dan ibu. Peran ayah dan ibu memiliki ciri khasnya yang saling melengkapi. Karakter pengasuhan ayah, bisa memberikan output pada anak seperti keberanian, ketegasan, kemandirian, kemampuan problem solving, dan sifat penyayang.
Akibat dari fatherless ini, merusak beberapa aspek kehidupan sang anak. Anak yang hari-harinya didampingi oleh ayah dan ibunya dengan seimbang akan berbeda dengan anak yang hanya di dampingi oleh ibu saja atau ayah saja. Peran perilaku pengasuhan anak akan mempengaruhi perkembangan dan kesejahteraan anak-anak dan transisi dari anak ke remaja. Hal ini seharusnya tidak dipandang sebelah mata karena peran ayah sangat penting dan berdampak pada perkembangan psikologis sang anak.
Anak yang tidak mendapatkan peran ayah dalam hidupnya cenderung mengalami tidak kepercayaan diri ketika ia menjadi dewasa, emosi tidak terkontrol seperti marah dan malu karena berbeda dari anak-anak yang lain karena tidak mendapatkan pengalaman bersama dengan sang ayah. Tidak hanya itu, hilangnya peran ayah dapat menyebabkan anak merasa kesepian dan kurang inisiatif dalam pengambilan keputusan. Perilaku membuat kekacauan atau keonaran di sekolah, ketertinggalan pembelajaran di kelas merupakan salah satu bentuk hilangnya peran ayah dalam kehidupan sang anak. Dengan bukti tersebut, peran ayah bukan hanya perlu tetapi harus ada di dalam kehidupan sang anak.
Budaya patriarki di Indonesia saat ini memegang kunci keberadaan fatherless. Budaya patriarki yang masih dominan di masyarakat memposisikan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan penuh terhadap berbagai tatanan kehidupan sosial, budaya dan politik. Dalam keluarga, budaya patriarki menganggap laki-laki hanya perlu bertugas dalam memberikan nafkah, sementara mengurus anak merupakan kewajiban perempuan. Asumsi pada budaya partriarki ini telah membentuk pandangan bahwa mengasuh anak lebih banyak dibebankan kepada ibu.
Lingkungan sekitar yang sama-sama menganut budaya patriarki menekankan peran gender laki-laki hanya sebagai pencari nafkah dan perlu dilayani oleh istrinya. Akibatnya, banyak ayah merasa bahwa partisipasi mereka dalam pengasuhan anak sehari-hari tidak diperlukan. Budaya patriarki juga berdampak pada interaksi di dalam keluarga yang mana keterlibatan emosional dan fisik ayah dalam pengasuhan kadang diabaikan sehingga menyebabkan anak-anak kehilangan figur ayah yang seharusnya memberikan dukungan emosional, keteladanan, dan bimbingan. Anak yang hidup tanpa figur ayah mengalami kesulitan dalam membentuk identitas diri, menghadapi tantangan emosional dan mengembangkan kemampuan sosial. Hal ini perlu diatasi bersama dengan cara mengubah persepsi tentang peran ayah dan ibu dalam pengasuhan anak, memberikan edukasi tentang pentingnya peran ayah di dalam keluarga selain mencari nafkah.
Tingkat fatherless di Indonesia bisa dikurangi dengan berbagi cara. Pertama, dengan kesadaran ayah untuk ikut serta dalam mengasuh anak, tidak lagi mengandalkan sosok ibu saja. Kedua, kedua orang tua mulai bekerja sama untuk menciptakan suasana hangat dalam keluarga, peran ayah yang melindungi bukan hanya melindungi anak saja tetapi juga bersama dengan melindungi ibu. Hal itu memberikan salah satu contoh kepada anak. Ketiga, meskipun kedua orang tua telah berpisah, peran ayah dalam kehidupan sang anak tidak boleh terhalangi.
Ayah harus berkomitmen dan aktif terlibat dalam pengasuhan dan dukungan emosional serta finansial bagi sang anak. Keempat, jika ekonomi menjadi pemicu hilangnya peran ayah, perlu adanya dukungan dari pemerintah dan lingkungan sekitar untuk membantu keluarga yang kesulitan. Program-program dari pemerintah melalui bantuan ekonomi dan kebijakan cuti parental menjadi salah satu bentuk dukungan dari pemerintah bagi ayah agar terus terlibat dalam pengasuhan anak. Terakhir, edukasi tentang pentingnya peran ayah dalam keluarga harus terus digalakkan, agar masyarakat mengetahui, memahami, dan menghargai kontribusi ayah dalam pengasuhan anak. (Salma Khoerunnisa)
Mahasiswa FKIP Prodi Pendidikan Geografi Unsil Angkatan 2020