Persoalan Perempuan dan Relasi Kuasa dalam Adaptasi Lakon yang Ditulis Kemudian Karya Bode Riswandi

Seni dan Budaya61 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Lakon yang Ditulis Kemudian merupakan adaptasi dari novela yang ditulis oleh Bode Riswandi dengan judul Hari Terakhir di Rumah Bordil. Novela ini diterbitkan oleh Penerbit Basabasi pada tahun 2020.

Novela (KBBI V) adalah kisahan prosa rekaan yang lebih panjang dan kompleks daripada cerita pendek, tetapi tidak sepanjang novel, jangkauannya biasanya terbatas pada satu peristiwa, satu keadaan, dan satu titik tikaian; novelet. Dari definisi tersebut, kita sebagai pembaca dapat berselancar dari berbagai untaian peristiwa yang disajikan penulis dalam novela. Dalam versi singkat, Hari Terakhir di Rumah Bordil juga pernah diterbitkan dalam bentuk cerita pendek. Untuk Naskah Lakon yang Ditulis Kemudian terhimpun dalam Kumpulan Naskah Drama On Rust yang diterbitkan oleh Langgam Pustaka pada tahun 2023. Dari berbagai transformasi karya tersebut, yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Novela Hari Terakhir di Rumah Bordil dan Lakon yang Ditulis Kemudian.

Pada kedua karya, yaitu Novela Hari Terakhir di Rumah Bordil dan Lakon yang Ditulis Kemudian mengusung tema tentang ketimpangan yang terjadi pada perempuan. Dalam novela dan drama jelas digambarkan kisah hidup perempuan yang dipilih atau memilih jalan hidupnya sebagai pelacur. Dalam pengantar novela Hari Terakhir di Rumah Bordil, Riswandi (2020: 10) menjelaskan banyak nama lain pelacur yang tercantum dalam Tesaurus. Riswandi mengantarkan pembaca pada wacana tentang perempuan. Baik perempuan yang dilahirkan sebagai perempuan (dengan kodrat hamil, menyusui, dan melahirkan), perempuan yang dipandang dari mata lelaki, dan perempuan dalam perspektif patriarki. Bagaimana perempuan didudukkan sebagai seseorang yang menanggung beban sejak dilahirkan.

Sebagai lelaki, kita wajib berbagi pusing dengan perempuan. Bagaimana tidak? Perempuan sudah digariskan untuk pusing sejak ia diciptakan! (Riswandi, 2020: 8)

Wacana tentang perempuan serta posisi perempuan dan laki-laki dalam novela Hari Terakhir di Rumah Bordil berkaitan dengan konsep liyan. Beauvoir (2016) dalam pemikirannya tentang teori feminisme eksistensialis menjelaskan bahwa marginalisasi perempuan sebagai liyan dalam kultur yang diciptakan laki-laki serta asumsi laki-laki sebagai subjek, sedangkan perempuan adalah objeknya. Hal ini digambarkan oleh narator yang menjadi pembuka cerita, baik dalam lakon maupun dalam novela Hari Terakhir di Rumah Bordil.

        Satu hal yang tidak boleh luput dalam perbincangan lelaki masa lalu dan masa kini, “Perempuan!” (2020: 7)

Dari narasi tersebut digambarkan bahwa definisi perempuan ditafsirkan dari sudut pandang laki-laki. Dari sisi laki-laki memandang perempuan, pembicaraan lelaki tentang perempuan. Perspektif laki-laki yang dilontarkan dalam obrolan menjadi kuasa tersendiri terhadap deskripsi tentang perempuan. Laki-laki dianggap lebih berkuasa dari pada perempuan serta laki-laki dipandang superior dibandingkan perempuan. Di satu sisi perempuan dianggap sebagai objek yang lemah, namun di sisi lain narator berusaha untuk memosisikan diri dan mencari jalan tengah dari ketimpangan yang terjadi pada perempuan.

Tidak perlu diukur secara statistik, hipotesa saya mengatakan, kita beruntung! Yang merasa laki-laki di sini, tidak akan kuat menanggung beban yang dipikul perempuan. (2020: 8)

Keberuntungan dalam menjalani hidup yang dimiliki laki-laki pada narasi tersebut menunjukkan bahwa dunia yang dihidupi laki-laki dan perempuan ini lebih menguntungkan para lelaki. Namun, di sisi lain terdapat kekaguman bahwa hanya perempuan yang mampu menanggung beban hidup dibandingkan laki-laki. Perempuan menanggung berbagai persoalan. Persoalan perempuan yang menjadi tema utama dalam Lakon yang Ditulis Kemudian senada dengan yang diusung dalam film Jamila dan Sang Presiden. Film Jamila dan Sang Presiden mengangkat tema perdagangan anak dan perempuan. Film ini mengungkap secara kritis persoalan perdagangan perempuan, pelecehan seksual dan prostitusi. Kekerasan terhadap perempuan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk seperti kekerasan fisik, seksual, ekonomi, dan perampasan kemerdekan secara sewenang-wenang dan psikologis.

Apabila kita menyaksikan pementasan Lakon yang Ditulis Kemudian dan pernah menonton film Jamila dan Sang Presiden, maka akan terlihat benang merah dari kedua karya tersebut, yakni persoalan perempuan yang dilihat dari sisi dunia prostitusi. Kita dapat melihat bagaimana isu human trafficing menjadi isu penting yang diangkat dalam Film Jamila dan Sang Presiden. Demikian halnya dengan Lakon yang Ditulis Kemudian.

Dalam Adegan 3 Bagian dialog Pelacur 2:

Kalian tahu mengapa kami seperti ini? Lantaran desakan ekonomi, lalu dengan sadar dijual oleh suaminya sendiri. Ada juga yang terusir karena zaman yang makin gila ini tak memberikan peluang bagi perempuan yang tamatan SD sepertiku, kemudian mereka memilih jalan ini juga. Tidak sedikit pula yang masuk perangkap bualan lelaki, yang bermanis-manis dalam ucapan rayuan, ujung-ujungnya dijual juga. (2023: 197)

Dari narasi yang diutarakan oleh Pelacur 2 tersebut, kita disodorkan bagaimana tubuh perempuan dijadikan sebagai komoditas perdagangan. Seseorang masuk dunia pelacuran dengan berbagai sebab seperti yang dijelaskan oleh narator. Ada yang karena dijual oleh suaminya, dijual oleh ayahnya, dijual oleh pacarnya, bahkan menjual dirinya untuk mendapatkan uang. Memenuhi kebutuhan hidup dan menyadari bahwa tamatan SD akan tergerus zaman, maka jalan pintasnya adalah menjual tubuh perempuan.

Menjadi perempuan, pada akhirnya adalah Proses Menjadi seperti yang dijelaskan oleh Beauvoir bahwa perempuan terlahir dengan situasi, maka akan bertumbuh dan merespons situasi yang menjadikan tubuh dan pikirannya terbentuk. Dalam Proses Menjadi, kaitannya dengan tokoh Dahlia. Tentu dendam yang membuat Dahlia bertahan hidup dan memilih untuk menanti Sukat karena dalam hatinya menyiratkan bahwa: Perempuan yang dipegang kesetiaannya, dan lelaki ucapannya.

Dalam proses hidup yang panjang di dunia pelacuran yang diawali oleh kebohongan. Dahlia menyimpan dendam yang teramat dalam pada Sukat. Meski secara terang-terangan Dahlia masih menaruh harapan kepada Sukat. Namun, dunia hitam yang dijalani Dahlia membawa pikirannya menjadi gelap. Sampai akhirnya penonton Lakon dibawa pada kenyataan bahwa Sukat mati di tangan Dahlia.

Lakon ini pun berakhir. Dahlia menuntaskan cerita dendamnya dengan kedua tangannya. Dahlia melawan kuasa mucikari (Yurike) dengan kedua tangannya. Pun dengan akhir hayat Sukat yang mati di tangan Dahlia. Meski awalnya dalam relasi kuasa, Dahlia merupakan objek yang dikuasai, namun Dahlia menjungkirbalikkan fakta itu. Dahlia menjadi subjek kuasa yang mendominasi Yurike dan Sukat. Dahlia meresistensi kuasa dua orang yang sudah membuat hidupnya menderita. Relasi Kuasa yang awalnya didominasi oleh Sukat sebagai penentu jalan hidup Dahlia, pada akhirnya Sukat mati di tangan Dahlia. Kuasa Dahlialah yang mengakhiri hidup Sukat. Dengan demikian, dendam yang dirawat Dahlia dibayar dengan tuntas. Sekian. (Nita Nurhayati, S.Pd., M.Hum.)

Nita Nurhayati, S.Pd., M.Hum. adalah Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Siliwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *