Menilik Sastra Terjemahan sebagai Gerbang Sastra Dunia

Pendidikan, Sosial61 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Sastra terjemahan merupakan pintu masuk bagi sastra dunia. Keberadaan sastra terjemahan menjadi sangat penting bagi pembaca yang hanya menguasai bahasa negaranya. Menurut Jassin (1985: 153), ada dua jalan yang terbuka untuk memperkenalkan kesusastraan dunia pada masyarakat Indonesia, yaitu menyadur dan menerjemahkan. Saduran menghilangkan sama sekali suasana asli dari masyarakat bersangkutan, sebaliknya bagi masyarakat Indonesia mungkin lebih dapat diserap karena disesuaikan dengan iklim alam pikiran masyarakat sendiri.

Dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia, penerjemahan dilakukan dengan giat di masa revolusi dan sesudahnya tidak kurang buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka. Usaha memperkenalkan sastra dunia dapat dilihat dengan terbitnya beberapa bunga rampai, yaitu: Setanggi Timur, kumpulan sajak-sajak Iran, India, Tiongkok, Jepang, diterjemahkan oleh Amir Hamzah; Puisi Dunia dalam dua jilid, disusun oleh M. Taslim Ali, Kisah-kisah dari Eropa dan Tiga Cerita dari Negeri Dollar susunan Mochtar Lubis, Perkenalan yaitu empat cerita pengarang Eropa dan Rusia oleh Idrus, Delapan Kisah dari Rusia dikumpulkan dan diterjemahkan Barus Siregar, Cerita-cerita dari Tiongkok dikumpulkan Beb Vuyk dan diterjemahkan Moctar Lubis, Himpunan sajak Tionghoa dikumpulkan oleh Mundingsari, dan lain-lain.

Dalam esainya tentang Kesusastraan Dunia dalam Terjemahan Indonesia, Jassin menyebutkan berbagai daerah yang menarik perhatian pengarang Indonesia, antara lain dari Inggris, seperti drama Shakespeare, di antaranya berjudul Hamlet serta Romeo dan Julia yang diterjemahkan Trisno Sumardjo,  sedang Muhammad Yamin menerjemahkan satu drama, yaitu Julius Caesar. Beberapa kesusastraan Amerika yang diterjemahkan antara lain, Tom Sawyer dan Anak Raja dan Anak Miskin, dan seri kisah-kisah Amerika yang diterbitkan Balai Pustaka. Pengarang Perancis yang sangat terkenal adalah Alexandre Dumas yang karyanya diterjemahkan Nur Sutan Iskandar antara lain, Tiga Panglima Perang, Dua Puluh Tahun Kemudian, dan Graaf de Monte Cristo. 

Karya pengarang Rusia yang diterjemahkan antara lain, Ibunda karangan Gorki yang diterjemahkan Pramoedya Ananta Toer. Dari pengarang Spanyol yang mendapat perhatian, yaitu Cervantes dengan karangannya yang terkenal Don Kisot terjemahan Abdul Muis. Kemudian dari Arab juga ada Laila Majnun yang diterjemahkan Hamka.

Jassin (1985) juga menjelaskan bahwa penerjemahan bisa diperluas artinya di sini, yaitu pengambilan langsung pada jiwa dan pikiran yang memantul kembali pada gaya hidup manusia. Penerjemahan yang menjelma dalam jiwa dan kehidupan manusia ini salah satu tujuan penerjemahan dari kesusastraan dunia, penerjemahan yang telah menjadi milik dunia. Lalu apakah kualitas karya sastra terjemahan sama dengan karya sastra aslinya? Damono (2009: 94) menjelaskan bahwa menurut beberapa pengamat, dalam terjemahan selalu saja ada yang hilang dari aslinya, menyusut, meleset, keliru, derivatif, mekanis, sekunder, dan segala adjektiva yang pada dasarnya menunjukkan bahwa karya terjemahan itu tidak akan mengungguli aslinya dan bahwa penerjemah sastra paling-paling hanya bisa menghasilkan karya yang hanya merupakan bayang-bayang yang pucat dari karya aslinya.

Seperti halnya novelet The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway yang telah diterjemahkan banyak orang dari berbagai negara. Termasuk di Indonesia, dua terjemahan versi bahasa Indonesia diterjemahkan Sapardi Djoko Damono dan Dian Vita Ellyati. Sebuah karya yang diterjemahkan oleh dua orang dengan latar belakang berbeda menimbulkan pengungkapan berbeda. Perbedaan yang menonjol adalah cara pengungkapan dalam penerjemahan karya Hemingway ini menimbulkan redaksi kalimat berbeda. Karena latar belakang Damono sebagai sastrawan, maka nilai sastranya lebih terasa dibandingkan membaca terjemahan Ellyati. Damono memindahkan teks Lelaki Tua dan Laut disesuaikan dengan konteksnya, sedangkan Ellyati menerjemahkannya secara leksikal, seperti kutipan berikut.

Lelaki Tua dan Laut versi asli:

He was an old man who fish alone in a skiff in the Gulf

Stream and he had gone eighty-for days now without taking a fish.

Terjemahan Damono:

Ia seorang lelaki tua yang sendiri saja dalam sebuah perahu menangkap ikan di Arus Teluk Meksiko dan kini sudah genap empat puluh hari lamanya tidak berhasil menangkap seekor ikan pun.

Terjemahan Ellyati:

Adalah seorang lelaki tua yang pergi ke laut seorang diri dalam sebuah perahu di Arus Teluk Meksiko yang telah berlayar 84 hari tanpa membawa hasil ikan seekor pun.

Melihat perbedaan dalam redaksi penerjemahan tersebut, Damono (2009: 97) menjelaskan bahwa ada dua jenis keterpengaruhan dalam penerjemahan. Umumnya kita berpendapat bahwa penerjemah terpengaruh oleh yang diterjemahkannya; dan kita juga boleh berpendapat bahwa penerjemah justru mempengaruhi karya yang diterjemahkannya. Jadi, penerjemahan sebenarnya merupakan usaha untuk mengubah cara pengungkapan dalam suatu kebudayaan menjadi cara pengungkapan yang ada dalam suatu kebudayaan menjadi cara pengungkapan yang ada dalam kebudayaan lain. Dalam hal ini sebenarnya terjemahan itu oleh orang Perancis dianggap sebagai trahison creatrice, ‘pengkhianatan kreatif’, sementara orang Italia menyebut traditore sebagai traditore ‘penerjemahan adalah pengkhianatan’.

Terjemahan Damono dapat dianggap mempengaruhi karya terjemahannya, sedangkan Ellyati cenderung terpengaruh oleh yang diterjemahkannya. Dengan demikian, karya sastra terjemahan dapat menimbulkan banyak penafsiran. Tetapi, Damono juga menyebutkan bahwa Derrida menantang gagasan mengenai keutamaan karya asli. Katanya, yang disebut asli itu pun tidak ada teks yang tidak memanfaatkan teks lain yang ada sebelumnya. Ia mengusulkan dihapuskannya dominasi atas terjemahan oleh yang asli; keduanya sama saja derajatnya. Penerjemahan merupakan kegiatan yang sangat penting sebab memungkinkan suatu teks meneruskan kehidupannya di konteks lain — hidupnya menjadi baru kembali di dalam konteks yang baru.

Terjemahan dengan demikian menyebabkan karya sastra bertahan hidup. Meminjam istilah Giffort, karena diterjemahkan, karya sastra mengalami second existence, keberadaan atau kehidupan kedua. Dalam kekayaan sastra kita, epos Mahabharata–seluruhnya atau bagian-bagiannya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk oleh para pengarang kita selama beberapa zaman; epos yang berasal dari India itu telah mengalami kehidupan yang ke sekian kali di Indonesia. Beberapa karya lain seperti The Iliad of Homer, The Odyssey of Homer, Kisah Perjalanan ke Barat dan Ramayana juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Terjemahan sebenarnya merupakan tafsir bangsa tertentu di suatu zaman tertentu terhadap karya sastra milik orang lain di zaman tertentu pula. Krawang Bekasi boleh dianggap sebagai tafsir bangsa Indonesia zaman perjuangan fisik terhadap sajak MacLeish tentang Perang Dunia II. Jadi, dengan “mengubah dirinya” karya sastra bisa menembus ruang dan waktu. Hal yang sering terjadi, pembaca tidak memiliki kesempatan dan kemampuan untuk berhubungan langsung dengan karya sastra yang berasal dari zaman atau negeri lain. Dengan adanya terjemahan, karya sastra dari negara lain bisa masuk, dibaca, dan ditafsirkan pembaca yang hanya mengerti bahasa Indonesia. Terjemahan membuka batas negara dan kebudayaan sehingga hal itu menjembatani masuknya sastra dunia. Beragam terjemahan dapat memperkaya khasanah kesustaraan Indonesia.  (Nita Nurhayati)

Penulis merupakan dosen Unsil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *