RADAR TASIKMALAYA – Merujuk pada UU nomor 10 tahun 2016 pasal 107, pasangan calon terpilih ditentukan oleh perolehan suara terbanyak serta pemerataan sebaran suara di masing-masing kecamatan. Maka pemerataan sebaran dan selisih satu suara saja akan sangat berdampak besar bagi para pasangan calon wali kota dalam Pilkada Kota Tasikmalaya yang akan dilaksanakan satu putaran saja. Namun bukan hal sepele untuk mendapatkan selisih tersebut, berhubung banyaknya paslon sama-sama fokus mengejar capaian target yang sama atau melebihi standar.
Sepanjang pilkada berlangsung di Kota Tasikmalaya, tahun 2024 dapat dikatakan sejarah baru bagi warga Kota Tasikmalaya dihadapkan dengan banyak pilihan. Situasi ini tentu sangat sehat bagi alam demokrasi kita. Partisipasi aktif warga pada situasi politik, cenderung lebih terlihat hingar bingarnya dibanding dengan hajat demokrasi tahun-tahun sebelumnya yang hanya diikuti oleh dua sampai tiga pasangan.
Situasi seperti ini mendorong para paslon, mesin-mesin partai koalisi, tim sukses, dan para relawan, untuk bekerja lebih keras lagi dalam meyakinkan pilihan rakyat. Sejam lalu, salah satu paslon atau para suksesinya melakukan sosialisasi di satu daerah, sejam kemudian bukan hal mustahil daerah yang sama didatangi juga oleh paslon atau suksesor lainnya. Pemandangan semacam ini menjadi sesuatu yang lumrah dengan banyaknya paslon peserta pilkada. Oleh sebab itu, masing-masing kontestan cum tim akan saling memeras tenaga, pikiran, dan biaya, menciptakan hal-hal yang dianggap baru dan relevan untuk merebut hati rakyat.
Asumsi saya, banyaknya tawaran pilihan bagi rakyat akan berdampak pada semakin berkurangnya pemilih pragmatis. Mengapa demikian? Makin banyak paslon bertemu sapa langsung dengan rakyat, setidaknya mampu memberikan pembelajaran politik. Minimal bersepakat selain mengenalkan dirinya, juga ikut andil menyosialisasikan UU nomor 10 tahun 2016 yang salah satu pasalnya 187 (A) gamblang menyebutkan sanksi denda dan penjara bagi pemberi dan penerima uang/materi lainnya yang (di/meng) kondisikan untuk memilih pasangan tertentu. Dalam istilah familiarnya modus operandi serangan fajar atau lainnya.
Kita mesti percaya bahwa sebagian besar rakyat sudah kritis, oleh sebab itu penting semua partai politik dan aktivis demokrasi bersama-sama membuka mata bagi setiap gejala kecurangan yang memungkinkan terjadi. Tetapi tidak cukup hanya di situ, KPU dan Bawaslu juga harus benar-benar menjaga marwah kelembagaannya agar pilkada berjalan penuh kejujuran dan sarat adab, sehingga menghasilkan pemimpin yang benar-benar lahir dari proses yang adil.
Sejatinya demokrasi merupakan pertukaran ide dan gagasan dalam melahirkan pemimpin masa depan, oleh sebab itu berhenti untuk andil menjadi bagian dari pelanggaran dan kecurangan. Pilkada harus benar-benar menjadi hajat miliknya rakyat dalam mengolah suasana kebatinannya memproyeksikan calon pemimpin mereka yang akan datang. Para paslon, parpol, suksesor dan relawan, cukup menawarkan ide dan gagasannya saja, cara realistis penyelenggaraan program-programnya saja, agar tercitrakan calon pemimpin yang berkualitas di samping mesin-mesin survei yang sibuk bekerja secara kuantitas.
Terkait menampilkan calon pemimpin berkualitas, debat publik yang dilaksanakan KPU Kota Tasikmalaya di Hotel Grand Metro pada 2 November 2024 merupakan peristiwa yang semestinya disambut dengan gembira. Namun saya menilai belum dimanfaatkan dengan baik oleh para paslon. Kesan paling dominan yang terjadi di atas mimbar debat masih bergelut dengan visi-misi dan program. Di samping itu, kalau dicermati saksama, ada banyak hal ketakterhubungan pertanyaan dengan jawaban, juga jawaban dengan tanggapan. Apakah semua mencari aman? Kalau ini benar, maka istilah ‘debat’ belum terasa relevan menjadi judul besar.
Saya banyak mendengar ketidakpuasan pasca debat kemarin, baik dari mereka yang hadir luring maupun yang menyaksikan daring. Debat memang tidak seefektif serangan fajar (baca: kriminal), namun debat berpeluang besar mengalihkan pilihan seseorang atau menginspirasi mereka yang belum menentukan pilihan. Saya harap, di debat kedua nanti terjadi ledakan-ledakan dahsyat yang konstruktif. Menafsir data bukan lagi sekadar membaca data, keluwesan gestur dan otentisitas wacana para paslon yang merdeka, tidak lagi kaku ‘mungkin’ takut keluar dari coach plotting-nya. Kecakapan mengolah narasi dan argumennya ketimbang sibuk membuka paririmbon. Sibuk membaca paririmbon di mimbar debat, selain membatasi kecemerlangan pengetahuan organik yang dimiliki para paslon, secara estetik menjadi gangguan visual bagi mereka yang menyaksikannya di layar kaca. Paririmbon tak masalah jika bersifat ekstemporanus, namun agak lain jika semi makalah.
Menuju ke TPS tinggal menghitung hari, debat publik yang diselenggarakan KPU tinggal sekali lagi. Jangan anggap debat tidak siginifikan menghasilkan pemilih, harap diingat ketentuan selisih suara sesuai UU nomor 10 tahun 2016 pasal 107. Manfaatkan debat sebaik mungkin dengan membungkus kata-kata dengan retorika yang terbaik. Kuasai panggung debat seperti seorang hacker melawan mesin data dan mesin survei. Karena mereka yang menyaksikan debat bukan hanya para pendukung yang ikut barisan di aula, juga bukan mereka yang hanya menyaksikan live streaming di layar kaca. Tetapi ada banyak yang tak terhitung yang mendapat informasi entah menguntungkan atau merugikan bagi para paslon, dari sebaran potongan-potongan video debat yang di berbagai platform sosial media. Atau mereka yang cukup percaya berdasarkan informasi lisan dari seseorang yang ikut menyaksikan debat.
Maka ilmu matematika kita harus bekerja, apa jadinya jika satu suara yang dihasilkan dari pesona debat sesi kedua nanti, adalah penyempurna kemenangan Saudara? Debat bukan karena dikejar waktu yang ditentukan host acara, namun upaya memanfaatkan peluang yang ada untuk meyakinkan para rasionalis dan mencerahkan yang pragmatis. (Bode Riswandi)
Penulis adalah Seniman, Dosen sastra di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP-Universitas Siliwangi