Mengawal Pemilu, Menjaga Demokrasi, Menyelamatkan Indonesia

Politik1170 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada 5 Februari 2024 menyatakan bahwa ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) melanggar etik terkait tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

DKPP menyatakan tindakan ketua dan anggota KPU menindaklanjuti putusan MK sudah sesuai konstitusi. Namun, ada tindakan para teradu yang tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu.

Kondisi tersebut seolah mempersuram situasi beberapa hari menjelang 14 Februari 2024 yang merupakan hari pelaksanaan Pemilu. Presiden yang secara terang-terangan menyatakan keberpihakannya dalam kontestasi demokrasi ini kemudian direspons keras oleh berbagai perguruan tinggi, civitas akademik, dan dewan guru besar yang mengeluarkan petisi agar Presiden kembali pada kedudukannya sebagai kepala negara yang terikat oleh sumpah jabatan dan konstitusi. Secara hukum tertulis memang tidak ada larangan untuk berkampanye, secara politik memang boleh siapa pun untuk menunjukkan keberpihakan, tetapi jiwa negarawan harus dimiliki oleh Presiden.

Jokowi seolah lupa jalan pulang, terjebak oleh ambisi, haus akan kuasa, kemudian perlahan membangun dinasti dalam bungkus demokrasi. Bisa dibayangkan kalau skenario tersebut berjalan mulus bisa jadi 20 tahun setelah 2029 kedua anak laki-laki Jokowi secara akan berkelanjutan memimpin negeri ini, yang mungkin juga 2044 jatuh juga ke cucu pertama Presiden Jokowi.

Gejala ketidaksehatan Pemilu ini sudah nampak pada saat pendaftaran calon presiden dan wakil presiden, pelaksanaan kampanye yang kurang fair karena beberapa calon masih terikat oleh jabatan, debat capres-cawapres yang penuh gimmick dibandingkan dengan substansi dan pendalaman visi-misi. Sayangnya, tanggapan dari rezim penguasa hanya dibalas dengan pernyataan normatif sebagai bagian dari hak demokrasi, bahkan tak ragu petisi dari kaum akademisi dianggap sebagai sikap politik praktis.

Para pihak yang tergabung dalam status qou harus kembali diingatkan bahwa dari 6 (enam) Presiden sebelum Jokowi, hanya Ibu Megawati dan Pak SBY yang mengakhiri kekuasaannya secara khusnul khotimah, sedangkan 4 (empat) Presiden sebelumnya dari mulai Seokarno, Pak Harto, B.J. Habiebie dan Gus Dur harus berakhir sebelum waktunya, su’ul khotimah, dan mayoritas dimakzulkan oleh mekanisme sidang istimewa MPR, kecuali Soeharto yang mengundurkan diri pada saat terjadi gelombang aksi Reformasi pada tahun 1998.

Penulis bukan berarti berharap adanya impeachment pada Presiden Jokowi walau sudah terdapat beberapa alasan yang kuat untuk diadakannya pemakzulan. Selain karena faktor DPR dan MPR sekarang yang seolah membisu, saling menyandra antara Parpol pendukung Capres-Cawapres karena masih bagian dari pemerintah yang berkuasa, juga karena akan mengganggu stabilitas di tahun Pemilu ini.

Berbagai pelanggaran etik yang terjadi karena pencalonan putra presiden sebagai bagian dari upaya pembangunan politik dinasti, termasuk sampai putusan DKPP, tidak berdampak langsung secara hukum atau pada proses tahapan Pemilu. Namun, kembali pada kesadaran moral warga negara khususnya yang memiliki hak pilih untuk menentukan pilihan yang terbaik sesuai hati nurani.

Ketika Jokowi berdalih bahwa hak beliau untuk menentukan pilihan, membesarkan anak dan menantunya pada jalur politik, maka biarkan juga rakyat menentukan pilihan secara bebas, masih ada prinsip equality before the law, semua manusia setara di mata hukum, yang ini pun dijamin dalam konsitusi negara republik Indonesia, yakni UUD 1945 Pasal 27, ayat (1), segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya, wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu. Pada ayat (2), tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Kalau berpegang pada prinsip konstitusi di atas, maka putusan MK yang begitu kilat mengubah batas usia Capres-Cawapres serta KPU yang tidak ragu untuk menerima pendaftaran calon yang diuntungkan, maka itu yang sangat mengganggu kandungan makna dari UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di Indonesia karena tidak berprinsip pada persamaan dan kedudukan warga negara.

Suara rakyat adalah suara Tuhan, vox populi, vox dei. Namun, jika rakyatnya jauh dari Tuhan rasanya pepatah Yunani kuno ini akan berubah arti menjadi suara rakyat adalah suara setan. Semoga para pemilih kita tidak banyak yang berharap pada saat fajar tiba apalagi karena bansos yang dipercaya pemberian pemerintah.

Bangsa kita hanya bisa diselamatkan oleh kita sendiri, walau masih banyak elit yang tidak menyadari akan pentingnya menahan diri dari syahwat kekuasaan, tapi dalam prinsip demokrasi segala hal pernah terjadi termasuk di negeri ini. Jika nilai konstitusi mati suri, maka pilihan politik pada hari Pemilu bisa jadi akan memberikan konsekuensi pada pemerintah yang sangat ambisi, jangan sampai menunggu gelombang aksi yang pernah terjadi di reformasi, selamatkan Indonesia. (K Adi Saputra SPd MPd)

Penulis merupakan Dosen MKWK Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Unsil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *