Menggapai Kecerdasan Spiritual di Bulan Ramadan

Sosial136 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh keberkahan, penuh Rahmat, pengampunan, dan pembebasan dari api neraka. Tidak ada yang lebih kita cintai dalam hidup ini selain pengampunan Allah SWT. Pengampunan Allah SWT adalah segala-galanya karena menjadikan kita mulia di dunia dan di akhirat. Pada bulan Ramadhan, sebenarnya kita sedang dididik oleh Allah SWT melalui syariat saum selama sebulan penuh dengan pendidikan ruhiyah. Dengan pendidikan ruhiyah ini diharapkan melahirkan manusia-manusia yang memiliki karakter orang-orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual.

Pada bulan Ramadan kita dididik Allah SWT bukan hanya secara fisik, berupa menahan lapar dan dahaga saja tetapi dididik secara ruhani dengan menghindari hal-hal yang dapat membatalkan pahala puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: “Puasa itu bukan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum saja, sesungguhnya puasa adalah menahan diri dari perbuatan sia-sia dan perkataan keji”. (HR. Muslim)

Pada Bulan Ramadhan kita dimotivasi melalui dilipatgandakannya pahala aktivitas/ perbuatan baik untuk giat dan gemar beribadah mendekatkan diri kepada Allah SWT, baik secara langsung bertaqarrub kepada Allah SWT maupun dalam bentuk muamalah, interaksi sosial. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Muslim: “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman, “Kecuali amalan puasa. Maka sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia (orang yang berpuasa) telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku”. Dengan giat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan gemar melakukan perbuatan baik, diharapkan dapat menumbuhkan kecerdasan spiritual pada diri orang-orang muslim.

Apa itu kecerdasan spiritual? Ari Ginanjar menyebutkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan individu untuk memberikan makna ibadah pada setiap perilaku dan aktivitas, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik), serta berprinsip “hanya semata-mata karena Allah”. Kecerdasan spiritual atau ada yang menyebutnya dengan istilah kecerdasan ruhaniah merupakan inti kecerdasan kita. Sebuah kecerdasan tertinggi yang harus dimiliki oleh seorang muslim dalam konteks menjalani kehidupan keseharian. Di mana kecerdasan spiritual ini berpengaruh besar pada perwujudan personaliti (kepribadian) seseorang. Kecerdasan spiritual ini berkaitan dengan kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient) dan kecerdasan emosi (Emotional Quotient) seseorang.

Dalam Islam, kecerdasan spiritual sangat berkaitan erat dengan kepercayaan atau kekuatan akidah dalam hati seorang individu muslim. Keyakinan dan kepercayaan yang tinggi kepada Allah SWT akan membentuk individu muslim menjadi sosok yang memiliki kecerdasan spiritual yang terimplementasikan dalam perilaku akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kecerdasan spiritual akan mampu membuat kita menyadari siapa kita sesungguhnya dan bagaimana kita memberi makna terhadap hidup dan seluruh dunia kita. Kecerdasan spiritual mengarahkan hidup kita agar menjadi lebih bermakna, memandang hidup ini dengan pandangan yang lebih luas.

Kunci untuk mendapatkan kecerdasan spiritual adalah dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT dan selalu mengingatnya sehingga hati (qalbu) kita menjadi hidup. Karena kecerdasan spiritual itu bermula dari hati, dan hati (qalbu) ini yang memiliki hubungan kuat dengan Allah SWT. Menurut al-Nawawi, hati (qalbu) memiliki fungsi sebagai pembentuk kehidupan seseorang. Ia berperan sebagai penggerak, dan memperelok perbuatan. Hati (qalbu) yang baik, yang hidup, adalah hati (qalbu) yang senantiasa ingat akan kebesaran Allah SWT, mematuhi perintahnya, menjauhi larangannya serta menjauhi perkara syubhat karena takut terjatuh kepada yang haram. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Ketahuilah bahwa di dalam jasad ada segumpal darah. Kalau ia baik maka seluruh jasad menjadi baik, dan kalau ia rusak maka seluruh jasad menjadi rusak. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati.” (HR. Bukhari).

Ibadah Ramadhan mentarbiyah kita untuk rajin beribadah, salat lima waktu berjamaah, shalat tarawih berjamaah tiap malam, tadarus Al-Qur’an, i’tikaf sepuluh malam terakhir dst. Pendek kata, kita semua lebih rajin beribadah dan beramal di bulan Ramadhan bila dibanding bulan-bulan yang lain. Itulah yang dicontohkan Baginda Rasulullah SAW. Dari Aisyah Radhiallahu ‘anha, katanya: “Rasulullah Saw itu apabila telah masuk sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadan, maka beliau menghidup-hidupkan malamnya – yakni melakukan ibadat pada malam harinya itu, juga membangunkan isterinya, bersungguh-sungguh – dalam ibadat – dan mengeraskan ikat pinggangnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Ibadah puasa memberikan suatu pelajaran tauhid, bahwa di mana pun kita berada harus selalu ingat kepada Allah SWT. Ketika kita sedang sendirian, tidak ada seorang pun yang melihat, padahal kita punya kesempatan untuk menghilangkan haus dan lapar. Tetapi kita tidak melakukannya, Mengapa? Karena yakin dan sadar bahwa Allah SWT maha melihat dan memperhatikan kita.

Kualitas puasa kita tidak dilihat dari berata atau tidaknya penderitaan, kepayahan maupun keharusan menyiksa diri, tetapi sampai di manakah kita memiliki niat sungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan karena alasan diet, atau tidak adanya selera makan. Semuanya dilakukan semata-mata dalam rangka mengharap rido Allah SWT. Oleh karena itu puasa kita sebenarnya sebagai bukti rasa cinta kita kepada Allah SWT dengan menunaikan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Di mana hal ini merupakan syarat dalam meraih rido dan ampunan Allah SWT. Itulah spirit tauhid yang menjadikan hati kita menjadi bersih, dan jiwa akan menjadi tenang dan kuat.  Apabila seseorang memiliki jiwa yang tenang maka ia akan memandang sesuatu dengan penilaian positif. Sebaliknya spirit kezaliman akan dibangun di atas keyakinan syirik, sehingga melahirkan jiwa atau ruhani yang lemah. Orang yang jiwa atau ruhaninya lemah, akan memiliki kekosongan ruhani, dan orang yang memiliki kekosongan ruhani akan melakukan segala sesuatu dengan tidak atas dasar kebaikan. Krena syirik tidak lain hanyalah kebohongan belaka yakni mengadakan kedustaan terhadap Allah SWT, sehingga Syirik dilarang. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat an Nisa ayat 36 menyebutkan “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun”. Tidak ada kezaliman yang besar selain perbuatan syirik, oleh karenanya larangan syirik ini termasuk dalam aspek kecerdasan spiritual, karena dengan menghindari syirik maka seseorang tidak dibayangi oleh bayang-bayang semu yang menjadikan jiwanya lemah dan bimbang.

Ibadah salat tarawih yang dilakukan secara intens dilaksanakan setiap malam di bulan Suci Ramadhan, disertai dengan ibadah sunat lainnya mendidik kita untuk senantiasa bersikap tenang dan sabar.

Shalat dapat dijadikan latihan untuk bersikap tenang, menjauhkan diri dari perbuatan keji dan munkar. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual akan selalu bersikap tenang dengan tujuan hidup yang jelas. Sehingga orang akan terbebaskan dari kegelisahan, kegalauan perasaan atas situasi yang dihadapinya. Sehingga perilaku orang yang salat dalam kehidupan kesehariannya dapat menghindarkan diri dari perbuatan dan perkataan buruk. Dalam Al-Qur’an Surat Al Ankabut ayat 45 menyebutkan bahwa “sesungguhnya salat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”. Ibadah salat dapat memupuk kecerdasan spiritual, sehingga akan melahirkan jiwa yang bersih. Salat adalah  cahaya spiritual yang membawa energi baru dengan membentuk kepribadian manusia. Salat memiliki dampak yang besar dalam memperkuat jiwa dan menimbulkan ketenangan jiwa, membiasakan diri untuk senantiasa melakukan hal-hal yang positif dan membiasakan untuk berpikir positif.

Orang-orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, ia akan memaknai hidup dari berbagai segi, dan akan memandang hidup dengan pandangan yang lebih luas, dan akan menghadapi segala sesuatu dengan lapang dada. Karena ia sebenarnya memiliki sifat-sifat keutamaan yang lahir dari pendekatan diri kepada Allah SWT. Ini yang membuat kecerdasan spiritual seseorang meningkat. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi akan senantiasa melakukan hal-hal terpuji yang tidak bertentangan dengan hati nuraninya, selalu waspada dan berhati-hati terhadap apa yang diperbuatnya. Karena ia tahu bahwa Allah SWT menegakkan timbangan amal hambanya dengan adil.

Seyogyanya kerajinan kita mendekatkan diri kepada Allah SWT pada bulan Suci Ramadhan harus dipertahankan sepanjang hidup, meskipun di luar bulan Ramadhan. Karena Islam telah memerintahkan untuk berperilaku rajin dalam kebaikan dan takwa serta melarang pemeluknya untuk menjadi pemalas. Pada akhirnya kita diharapkan dapat mencapai kecerdasan spiritual. Wallahu a’lam. (Dr Asep Suryanto SAg MAg)

Penulis adalah Dekan FAI Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *