I’tikaf Membentuk Jiwa Antikorupsi

Sosial2264 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Korupsi merupakan penyakit masyarakat yang sudah menyebar di setiap individu lemah hampir di semua negara. Termasuk di Indonesia yang padahal memiliki dasar negara Pancasila yang menyoko kepada sila pertama yang religi, Ketuhanan Yang Maha Esa. Saking akutnya penyakit ini, korupsi bukan hanya merupakan pelanggaran hukum serta penyimpangan dari sistem norma akan tetapi mampu mengikis terhadap hukum dan norma itu sendiri.

Berbagai cara untuk mencegah tindak pidana korupsi ini dilakukan, termasuk usaha melalui peran serta masyarakat. Akan tetapi penyakit ganas ini tetap menggerogoti tubuh bangsa yang semakin lama semakin layu. Semua elemen bergerak menghadang perilaku ini, namun disisi lain, di setiap elemen itu pun malah tumbuh benih-benih korupsi yang apabila dibiarkan akan semakin akut. Terdapat beberapa bahaya sebagai akibat korupsi, yaitu bahaya terhadap masyarakat dan individu, generasi muda, politik, ekonomi bangsa dan birokrasi.

Saat ini kita sedang berada dalam suasana puasa. Hikmah puasa begitu banyak di samping kemanfaatan lahir dan batin. Beragam analisis yang mengatakan bahwa dengan puasa segala perbuatan keji dan munkar akan dibabat habis. Namun kenyataannya masih banyak yang puasa ternyata belum mampu mempuasakan dirinya dari maksiat dan kejahatan. Masih banyak yang menjalankan salat namun komunikasinya kepada Allah Swt hanya sebatas ritual saja. Jadi harus bagaimana kita menjalani puasa ini agar menjadikan jiwa kita benar-benar suci dan bersih? Ternyata ada satu amaliyah yang tidak semua para shaimin (yang berpuasa) mampu menjalankannya sesuai ketentuan syar’i yaitu i’tikaf.

Ibadah ini merupakan amaliyah yang disunnahkan dilaksanakan dengan cara kontemplatif (qurbah). Sehingga disebutkan dalam berbagai referensi pengertian i’tikaf secara bahasa adalah tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Sedangkan pengertiannya menurut syara sebagaimana diungkapkan Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily dalam Kitab al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, i`tikaf berarti diam di Masjid yang biasa dipakai untuk berjamaah salat dalam keadaan berpuasa dan diiringi dengan berniat i`tikaf

Jadi, i’tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah guna mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah SWT serta memfokuskan hati untuk memutuskan dari segala hal yang berkaitan dengan dunia dan konsentrasi penuh terhadap amalan ukhrawi. Karena amaliyah ini merupakan amalan qurbah sehingga segala aktivitas di luar keakhiratan harus ditanggalkan dan menghiasinya dengan beragam amaliyah ibadah yang telah ditentukan oleh Al-Qur`an dan as-sunnah. Pada praktiknya Rasulullah SAW beserta segenap para sahabatnya beri’tikaf dengan cara berdiam di Masjid. Termasuk Imam Malik lebih rela meninggalkan segala aktivitas ilmiahnya malahan berkonsentrasi penuh pada ibadah-ibadah mahdhah.

I’tikaf dapat dikatakan sebagai ciri atau barometer ibadah puasa kita berkualitas. Orang yang berpuasa tanpa menjalankan amaliyah ini patut dipertanyakan kualitas puasanya. I’tikaf memang berat dilaksanakan karena ada suasana duniawi yang masih menyelimuti para shaimin. Ada atmosfer kebendaan yang masih menyelubungi suasana ibadah puasa kita, apalagi menjelang akhir pelaksanaan puasa.

Di detik-detik menuju kemenangan justru banyak para petarung yang sudah lelah melakoni pertandingan melawan hawa nafsunya. Padahal, strategi dan segenap energi sudah begitu banyak dikerahkan dengan memeras peluh dan keringat demi kemenangan sejati. I’tikaf sebuah amaliyah diyakini sebagai thariqah untuk men-charge keloyoan dan kelesuan tersebut. Di samping itu ibadah ini berisi perenungan diri (muhasabah) atas apa yang telah kita lakukan selama perjalanan hidup, self controlling, character building, pertobatan serta merancang dan men-design schedule hidup untuk menjalankan kehidupan yang lebih baik dan untuk merancang kepulangan menuju keabadian di akhirat.

Andai semua orang mampu menjalankan puasa disertai i’tikaf sudah barang tentu kenikmatan lailatul qadar akan sangat mudah direguknya. Saat para shaimin sudah dipenuhi kenikmatan ilahiyah dipastikan mereka tidak akan tergoda lagi oleh bujukan duniawi yang tidak halal. Korupsi sebagai cara meraup keuntungan tidak halal, tidak akan pernah dilirik mata sedikit pun. Hanya nikmat-nikmat dari Sang Maha Sejatilah yang akan melenyapkan kehausan duniawi.

Selama ini korupsi dilakukan dengan niat, sengaja, penuh pemikiran dan pertimbangan rasional dalam menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi yang dapat merugikan orang lain ataupun menghancurkan negara. Dalam khazanah fiqih Islam, terdapat beberapa istilah yang biasa dikaitkan dengan persoalan korupsi, misalnya sariqah (pencurian), ghulul (penggelapan), risywah (suap), ghashab (mengambil milik orang lain tanpa ijin pemiliknya), ikhtilas (pencopetan/ pengutilan), qath’uth thariq (perampokan). Istilah-istilah tersebut unsur-unsurnya hampir semua ada dalam tindak pidana korupsi yang bertentangan dengan syariat Islam.

Bagi para ahli i’tikaf hal ini tidak akan pernah dilakukan dalam bermaisyah (bekerja). Tujuan mencari rezeki bagi mereka hanya untuk ibadah kepada-Nya, bagaimana mungkin para mu’takifin  beribadah kemudian dinodai dengan kejahatan korupsi. Jadi jelas i’tikaf di akhir bulan Ramadan akan mampu membentuk jiwa antikorupsi. Tidak perlu menunggu lama dari hasil ibadah puasa, namun cukup memperbanyak i’tikaf yang baik dipastikan akan melindungi dirinya dari kejahatan korupsi. Mari kita bersegera untuk beri’tikaf sebagaimana Nabi Saw mencontohkan dalam sebuah hadits: “Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW beri’tikaf pada setiap Ramadhan 10 hari, dan ketika tahun kewafatannya beliau SAW beri’tikaf selama 20 hari” (HR.Bukhari dan Abu Daud). (Dr Acep Zoni Saeful Mubarok MAg CRA CRP CLA CIAP CGCAE)

Penulis adalah Ketua SPI Universitas Siliwangi (Unsil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *