Harmonisasi Literasi dan Berpikir Kritis dalam Pendidikan

Pendidikan207 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Literasi dalam pandangan awal, mungkin selalu dikaitkan hanya dengan aktivitas membaca dan menulis. Ya, itu sama sekali tidak keliru. Literasi ini memang biasanya didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Namun, dalam pengertian yang lebih luas, literasi juga mencakup pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan yang berkaitan dengan suatu bidang atau konteks tertentu.

Dalam pandangan-pandangan ini, jika analoginya adalah lapisan, maka tampaknya ada dua lapisan proses di dalamnya. Lapisan pertama adalah dasarnya, dan lapisan berikutnya adalah lanjutannya yang memungkinkan seseorang untuk menggunakan apa yang mereka ketahui dan pengalaman apakah yang mereka lalui sehingga berguna di masa yang akan datang. Jika memaknai dari titik ini, apakah literasi kita sudah membumi?

Mari kita cermati pertanyaan itu untuk mencari jawaban berarti. Kita mulai dari literasi itu sendiri. Literasi secara otonomi adalah kondisi seseorang untuk menggunakan kemampuan dan keterampilan mereka dalam mengolah dan memahami informasi melalui aktivitas membaca dan menulis. Proses pengolahan dan pemahaman mengenai suatu informasi ini akan membawanya pada fase berpikir yang bernama berpikir kritis.

Ketika ia  dipandang kritis, maka ia sedang mengalami proses kognitif untuk membuat keputusan yang baik dan menggunakan semua kemampuannya dengan benar. Benar, dalam konteks ini adalah bahwa ia menggunakan kekritisannya di situasi yang tepat. Hal ini sangat penting di kondisi saat ini yang serba baper, judgemental, dan sentimental.

Fenomena yang seolah mengombang-ambing kebenaran menjadi bias dan keliru untuk dibahas dan dimunculkan. Terlebih jika memang situasi dan kondisi budaya yang ada tidak terbiasa dengan dinamika dan kebebasan berpendapat. Ya sudahlah, lengkap sudah gonjang-ganjing dunia persilatan ke dalam atmosfer feodalisme yang mendalam.

Dengan suasana tersebut, ia, orang kritis itu, akan dipandang sebagai pengganggu zona nyaman dan mengancam kuasa dari pihak-pihak yang tidak mau beradaptasi dengan kemajuan dan perkembangan, serta berpegang pada keyakinan pada apa yang diinginkan dan mengamankan.

Sehingga,  ketika ada yang menurutnya tidak sesuai prinsip tersebut, maka yang terjadi adalah perundungan dan negative vibes ke lingkungan kerja sebagai aksi reaktif pada Si Pemikir Kritis itu. Lalu Si Pemikir itu yang menggunakan pendekatan rasional, reflektif, independen, dan jernih, akan dengan segala upaya dihalau dan disterilkan dari areanya. Ironi, mengingat kemampuan berpikir kritis adalah untuk menjadi rasional dan inilah kelogisan yang diharapkan jika yang dituju adalah perbaikan peradaban.

Berpikir kritis adalah kegiatan mendalam untuk mengevaluasi dan menganalisis, namun bukan mencari kesalahan. Keandalannya adalah bahwa proses ini akan menjadikan seseorang mampu menyelesaikan masalah dari berbagai sudut pandang. Ia terbentuk menjadi pribadi yang percaya diri, bijaksana, kreatif, teliti, dan memiliki keyakinan yang teguh untuk membangun karakter dan mencerdaskan. Jika semuanya seideal seperti ini,  tentunya bangsa ini akan memiliki  generasi yang cerdas, tangguh, bermartabat, dan memiliki jati diri (Pujiono, 2012).

Memadukan berpikir kritis dan literasi pun akan membawa kita pada konsep keadilan Paul Freire, seorang ahli pendidikan dari Brazil yang mendobrak konvervatisme model pendidikan kala itu. Prinsipnya adalah pendidikan yang membebaskan. Freire percaya bahwa pendidikan yang benar adalah pendidikan yang merupakan “praktik kebebasan”. Ia juga berpendapat bahwa pengetahuan yang benar hanya dapat diperoleh melalui kekritisan dan optimisme. Untuk mencapainya, seseorang perlu melakukan praktik kebebasan berpikir dan menentukan solusi untuk memperluas jangkauan sinyal keterbukaan terhadap beragam macam literasi.

Terdapat literasi bahasa, literasi matematika, literasi informasi, litearsi digital, literasi keuangan, bahkan literasi ilmiah yang diantaranya menjadi padu padan keperluan ranah kognitif untuk siap berpikir kritis dalam suatu konteks permasalahan. Namun, ada hal yang menggelitik terkait literasi ilmiah dalam konteks publikasi ilmiah ini.

Beberapa waktu lalu pada salah satu surat kabar nasional (Kompas) di muat topik mengenai “ Pedagogi Hitam Pendidikan Tinggi”. Sang penulis, Bahrul Amsal mengungkap bahwa “Publikasi boleh melimpah, tetapi mesti diiringi peningkatan kualitas kematangan intelektual dan iklim akademik rasional”.

Kata-kata ini sungguh menjadi bahan perenungan mendalam karena kenyataan yang dihadapi seperti yang ia ungkap dalam tulisannya tersebut adalah “Jangan sampai selama ini telah terjadi surplus publikasi ilmiah yang tidak membumi, instan, dan administratif sehingga tujuan ideal Tri Dharma Perguruan Tinggi tak berimplikasi kepada proses ideal pendidikan” (Amsal, 2023).

Kebijakan yang dibuat oleh Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, memang sejalan dengan gagasan Freire tersebut tentang pendidikan yang membebaskan. Kritisi yang dilakukan Freire pada saat itu adalah fenomena dalam pendidikan yang teranalogi dengan gambaran bahwa guru sebagai pihak penyedia yang tahu segalanya dan secara aktif memberi pengetahuan, sementara siswa dibentuk untuk menjadi penerima saja dan pasif berkarya, dan image bodohnya.

Menurutnya, pembelajaran hanya dapat dicapai melalui pengalaman hidup, refleksi kritis, dan praktik, dan peserta didik harus diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dan berbagi untuk hal yang mereka pelajari dari lingkungan dan pengalaman mereka sendiri serta dapat diperoleh dari pembelajaran mandiri.  Hal-hal ini jika dijalankan secara konsisten semoga di masa depan tidak ada lagi candu kelalaian akademik yang membuat hancurnya peradaban pendidikan di Indonesia.

Semoga di masa depan bangsa ini benar-benar menjadi bangsa besar dan maju. Upaya pemerintah saat ini melalui pendidikan adalah dengan menggemakan Merdeka belajar, yang irisannya erat dengan pemikiran Freire yang tadi dinyatakan. Melalui Kurikulum Merdeka, guru diberikan kesempatan luas untuk menciptakan pembelajaran berkualitas tinggi yang sesuai dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik. Kurikulum ini memiliki pembelajaran intrakurikuler yang beragam dan memberi peserta didik cukup waktu untuk mempelajari konsep dan menguatkan keterampilan.

Secara keseluruhan, literasi bukan hanya tentang menulis dan membaca, tetapi itu juga tentang membangun kemampuan kritis dan pemahaman yang mendalam tentang dunia yang berdampak  signifikan terhadap kehidupan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Harmonisasi keduanya dalam bentuk  simbiosis mutualisme istilah, dapat memberi kesempatan yang sempurna bagi  setiap individu untuk  berkembang,  berkarakter, berubah dan menyadari dirinya siapa, serta  memberikan manfaat apakah hidupnya itu di jagat raya? (Dr Agis Andriani SPd MHum)

Penulis adalah Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP UNSIL

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *