RADAR TASIKMALAYA – ”Sampah kok berbuah sumpah serapah, jadi rupiah dong,” komentar seorang pegiat bank sampah terhadap kondisi pengelolaan dan pemberitaannya di Kota Tasikmalaya.
Sampah sering menjadi masalah di beberapa tempat. Tidak mengherankan karena menurut hasil riset Sustainable Waste Indonesia (SWI), pada 2018 sebanyak 24 persen sampah di Indonesia masih tidak terkelola. Ini artinya, dari sekitar 65 juta ton sampah yang diproduksi di Indonesia tiap hari, sekitar 15 juta ton mengotori ekosistem dan lingkungan karena tidak ditangani. Sedangkan, 7 persen sampah didaur ulang dan 69 persen sampah berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Lebih lanjut laporan mengelaborasi jenis sampah yang paling banyak dihasilkan, sampah organik 60 persen, sampah plastik 14 persen, sampah kertas (9 persen), metal (4,3 persen), kaca, kayu dan bahan lainnya (12,7 persen).
Pola pikir mayoritas kita mengenai sampah tidak terlalu jauh berbeda dengan definisi sampah menurut Wikipedia, sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sampah seringkali mengacu kepada material sisa yang tidak diinginkan atau tidak bermanfaat bagi manusia setelah berakhirnya suatu kegiatan atau proses domestik. Untuk buangan industri, material yang tidak diinginkan biasanya disebut dengan limbah industri.
Kita telah memiliki aturan mengenai sampah dan pengelolaannya. Undang-Undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mendefinisikan sampah sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia atau proses alam yang berbentuk padat atau semi padat berupa zat organik atau anorganik bersifat dapat terurai atau tidak dapat terurai yang dianggap sudah tidak berguna lagi dan dibuang ke lingkungan.
Disadari atau tidak, setiap individu ”memproduksi” sampah. Ketika membeli makanan, bungkus makanannya tidak digunakan dan dianggap sebagai sampah. Bahkan ketika membeli pupuk kompos, plastik pembungkusnya tidak bisa dikomposkan. Dalam hal industri, mereka juga menghasilkan sampah dalam proses produksinya. Tempat-tempat pelayanan umum, seperti pasar, terminal, rumah sakit, juga memproduksi sampah. Sampah yang berbeda jenis harus ditangani dengan cara yang berbeda, tergantung pada potensi manfaat dan risikonya bagi lingkungan.
Sebagai residu dari aktivitas manusia dan alam, baik yang alami maupun tidak, sampah tentu harus diolah. Pengolahan sampah ini hanyalah salah satu bagian dari penanganan sampah. Sebagaimana dinyatakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 sebagai proses perubahan bentuk sampah dengan mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah.
Penanganan sampah sebaiknya dilakukan sejak awal, titik produksi sampah itu. Misalnya untuk sampah rumah tangga, rumah-rumah memilah sampah organik dan anorganik untuk memudahkan penanganan lebih lanjut. Sebelum sampai di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), sampah rumah tangga biasanya dikumpulkan di Tempat Penampungan Sementara (TPS). TPS memiliki kriteria luasan TPS maksimum 200 m2; Tersedia sarana untuk mengelompokkan sampah menjadi paling sedikit 5 (lima) jenis sampah (sampah organik, non-organik, kertas, B3, dan residu); Jenis pembangunan penampung sampah sementara bukan merupakan wadah permanen; Lokasinya mudah diakses; Tidak mencemari lingkungan; Penempatan tidak mengganggu estetika dan lalu lintas; dan, Memiliki jadwal pengumpulan dan pengangkutan.