Ben Anderson dan Konsepsi Raja Jawa

Politik248 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Ini bukan soal seorang menteri, ketua partai terpilih yang berbicara soal Raja Jawa, ini soal masa depan kebhinekaan dan demokrasi bangsa ini ke depan. Lagi pula ungkapan itu telah menjadi konteks yang bersifat personal. Sangat mudah bagi publik siapa yang dimaksud Raja Jawa yang dikatakan oleh sang menteri itu. Dalam konteks politik kontemporer Indonesia istilah Raja Jawa memiliki makna sempit bahkan sebisa mungkin harus dihindari.

Narasi Raja Jawa terkesan tendensius, tidak merefleksikan hakikiat kebhinekaan dan demokrasi. Kepekaan politik harus diperhatikan mengingat kesempatan menjadi presiden di republik ini tidak hanya dimiliki oleh Orang Jawa saja. Realitas politik di mana kebetulan Presiden republik ini sejak proklamasi kemerdekaannya berasal dari Jawa, kecuali BJ Habibie yang menjadi Presiden dalam proses transisi jatuhnya kekuasaan Soeharto pasca gerakan reformasi.

Realitas ini kalau tidak dilihat dalam porsinya an sich hanya dalam kacamata demokrasi maka jangan kemudian mengembangkan narasi primordialisme politik yang merujuk pada identitas kelompok suku dan kebudayaan tertentu, ini akan mengancam hakikat kebhinekaan dan proses demokratisasi yang tengah kita bangun.

Primordialisme politik juga akan mengancam dan membuat kecewa suku dan kelompok kebudayaan lain karena eksistensinya sebagai bagian sebuah bangsa dianggap telah di hegemoni secara politik oleh suku dan entitas kebudayaan lain. Maka ucapan seorang menteri sekaligus ketua partai itu sangat destruktif, merusak bagi ikatan kebhinekaan karena membangun hegemoni primordialisme politik, apalagi ungkapan itu menjadi bagian pidato politik penutupan Munas sebuah partai.

Ben Anderson seorang peneliti Indonesianis menulis sebuah esai yang berjudul “The idea of Power in Javanese Culture”. Dalam Tulisan itu Anderson memotret dan menyimpulkan bagaimana masyarakat Jawa memahami power atau kekuasaan. Dalam pandangannya imajinasi politik Jawa bersebrangan dengan konsepsi imajinasi politik yang dibangun di barat. Pertama dalam imajinasi politik Jawa kekuasaan dipandang sebagai kekuatan yang bersifat ilahiah, tak kasat mata, misterius dan memiliki dimensi supranatural, kekuatan tak berwujud inilah yang kemudian menggerakkan alam semesta.

Konsep wahyu di mana pemimpin atau raja yang muncul adalah representasi dari kehendak Tuhan yang menghendaki seseorang menjadi raja beserta wahyu atau petunjuk yang nanti akan diterimanya. Sedangkan dalam konsepsi barat kekuasaan adalah hasil dinamika dan interaksi sosial yang logic sehingga kepatuhan kepada kekuasaan terbangun karena adanya relasi dan interaksi antar manusia, ada ukuran ketika seseorang didaulat untuk berkuasa.

Kedua, dalam imajinasi Jawa sumber kekuasaan seseorang bersumber dari sesuatu yang bersifat spiritual sedangkan dalam konsepsi barat kekuasaan bersumber dari status sosial, kekayaan, kepemilikan dan kapasitas. Ketiga, kekuasaan dalam konsepsi Jawa bersifat absolut, walau silih berganti. Bila ada penguasa yang perlahan meredup berarti akan ada penguasa lain yang energi kekuasaannya meningkat.

Dalam konsepsi barat kekuasaan bersifat tak terbatas, peralihan kekuasaan menjadi medan pertarungan ide dan gagasan. Keempat, dalam imajinasi kekuasaan jawa, kekuasaan tidak ada hubungannya dengan legitimasi moral, kekuasaan bukan soal baik dan buruk tetapi kekuasaan bersifat spiritual sepanjang manusia percaya maka sepanjang itu pula kekuasaannya  bertahan.

Ben Anderson memahami bahwa penguasa Jawa atau Raja Jawa berfokus pada pengumpulan kekuasaan, membangun hegemoni tak terbatas untuk menyokong kekuasaannya, dan ciri yang menonjol adalah dengan melakukan ritus simbolik seperti bertapa, tirakat, puasa, koleksi benda benda keramat. Dalam hal ini Raja Jawa tidak akan melihat apakah rakyatnya suka atau tidak pada kekuasaan dirinya, yang terpenting adalah bagaimana semua kekuatan berkumpul pada dirinya sehingga dengan itu dia melakukan hegemoni di mana rakyatnya akan tetap patuh. Kedua kekuasaan dipandang sebagai hal tidak hanya diraih, dipertahankan tetapi juga bagaimana kekuasaan berpusat pada dirinya, semua ingin diatur oleh dirinya.

Ketiga Raja Jawa gemar memamerkan simbol simbol yang menjadi kuatnya kekuasaan pada dirinya. Salah satunya adalah menggelar pertunjukan simbolik wayang di mana dalam pentas wayang tersebut plot yang dipentaskan adalah plot yang menggambarkan betapa digdaya-nya kekuasaan politik pada dirinya.

Secara sosiologi-politik pandangan Ben Anderson ada dalam dimensi kebudayaan yang tentu saja tidak sempurna dinalar dalam situasi sosio-politik kontemporer hari ini, di mana dalam sistem demokrasi pertarungan untuk mencapai puncak kekuasaan tidak bersifat ilahiah atau memiliki nilai supranatural. Kekuasaan diperoleh dengan kompetisi elektoral dan siapa pun berhak mengikuti kompetisi itu.

Adapun tentang bagaimana kekuasaan Jawa berorientasi pada penumpukan kekuasaan dan kekuatan politik, dalam konteks hari ini dimaknai tidak hanya dari sisi kebudayaan tertentu saja melainkan bagian dari dinamika dan kontestasi demokrasi saja.  Kalau kita merujuk pada teori politik klasik kita akan menemukan bahwa dalam tradisi pemikiran politik barat pada abad pencerahan-renaissance, bahwa filsuf dan tokoh masa pencerahan, Nicollo Machiavelli misal, memahami bahwa politik adalah seni meraih dan mempertahankan kekuasaan. Artinya konsepsi kebudayaan Jawa tentang kekuasaan yang harus terpusat dan terus dipertahankan juga inheren dengan pandangan tokoh tokoh barat dalam tradisi pemikiran politik barat klasik. (Rino Sundawa Putra SIP MSi)

Penulis merupakan dosen FISIP Universitas Siliwangi (Unsil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *