PROPORSI pemilih dari generasi milenial dan Gen Z di Indonesia terindikasi signifikan dalam pemilu, termasuk Pilkada. Generasi Milenial yang lahir antara 1981-1996, diperkirakan menyumbang sekitar 33-35% dari total pemilih. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), milenial saat ini berusia antara 28-43 tahun, sudah masuk dalam kategori pemilih aktif. Sementara itu, generasi Z yang lahir antara 1997-2012, diperkirakan menyumbang sekitar 25-27% dari total pemilih. Secara keseluruhan, gabungan milenial dan Gen Z mencakup sekitar 58-62% dari total pemilih di Indonesia, sehingga menjadikannya kelompok yang sangat penting dalam strategi kampanye politik. Untuk meraih suara mereka, diperlukan strategi pemasaran yang disesuaikan dengan karakteristik dan perilaku khas mereka. untuk membantu para calon kepala daerah dalam mendekati pemilih dari dua kelompok usia ini.
Pemasaran dalam konteks politik adalah proses di mana kandidat dan partai politik berupaya membentuk citra yang positif di mata pemilih dengan cara menerapkan prinsip-prinsip pemasaran komersial. Salah satu konsep kunci dalam pemasaran dalam PILKADA adalah branding kandidat. Menurut teori ini, kandidat harus dilihat bukan hanya sebagai pemimpin politik, tetapi sebagai sebuah “merek” yang memiliki nilai, kepribadian, dan janji tertentu yang relevan dengan kehidupan sehari-hari pemilih.
Untuk memahami bagaimana meraih suara milenial dan Gen Z, penting untuk melihat perilaku unik kedua kelompok ini. Milenial, tumbuh di era transisi digital, di mana internet dan teknologi mulai menjadi bagian penting dari kehidupan. Sementara itu, Gen Z, adalah generasi yang sepenuhnya digital-native, artinya mereka tidak pernah mengalami dunia tanpa internet dan media sosial.
Studi perilaku menunjukkan bahwa kedua generasi ini memiliki karakteristik berbeda dari generasi sebelumnya, terutama dalam hal nilai-nilai dan cara berkomunikasi. Sebuah studi oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa milenial cenderung lebih proaktif dalam mencari informasi politik, sedangkan Gen Z lebih mengandalkan konten yang disampaikan melalui media sosial. Dengan demikian, pendekatan komunikasi politik harus adaptif dan berbasis pada preferensi konsumsi media masing-masing kelompok.
Milenial cenderung pragmatis dalam hal pilihan politik mereka, sering kali mendukung kandidat yang menawarkan solusi konkrit terhadap masalah sehari-hari seperti lapangan pekerjaan dan akses terhadap perumahan. Di sisi lain, Gen Z lebih peduli pada isu-isu besar yang mempengaruhi masa depan, seperti perubahan iklim dan keadilan rasial, Berdasarkan teori perilaku generasi, kandidat yang ingin menarik suara dari kedua kelompok ini harus mampu menawarkan visi politik yang tidak hanya relevan untuk masa kini, tetapi juga untuk masa depan.
Generasi milenial dan Gen Z juga dikenal dengan kecenderungan mereka untuk mencari informasi secara independen. Mereka cenderung tidak terlalu percaya pada otoritas formal seperti pemerintah atau media massa, melainkan lebih mengandalkan informasi dari sumber-sumber yang mereka anggap kredibel, seperti influencer atau teman sebaya. Oleh karena itu, salah satu strategi efektif dalam meraih suara mereka adalah dengan melibatkan key opinion leaders (KOL) yang memiliki pengaruh kuat di kalangan generasi muda. KOL ini bisa berupa tokoh media sosial atau aktivis yang dianggap memiliki integritas dan relevansi.
Dalam konteks milenial dan Gen Z, branding politik harus mengintegrasikan aspirasi dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh kedua generasi ini, seperti keberlanjutan lingkungan, keadilan sosial, dan inovasi teknologi. Penekanan pada isu-isu yang dianggap penting oleh milenial dan Gen Z dapat membantu menciptakan keterhubungan emosional antara pemilih dan kandidat. Kandidat yang mampu mengemas pesan-pesan politik mereka melalui saluran yang relevan, seperti media sosial, juga akan lebih mudah diterima oleh audiens muda ini.
Selain itu, teori pemasaran menekankan pentingnya segmentasi pasar, di mana pemilih dikelompokkan berdasarkan karakteristik yang berbeda seperti usia, pendidikan, dan nilai-nilai sosial. Segmentasi ini memungkinkan kampanye lebih terarah. Misalnya, milenial mungkin lebih tertarik pada isu lapangan kerja dan kewirausahaan, sementara Gen Z cenderung lebih peduli pada isu keadilan sosial dan perubahan iklim.
Sedangkan berdasarkan teori komunikasi, branding yang dibangun haruslah menekankan pada pentingnya penyampaian pesan yang tepat sasaran dan berkelanjutan. Komunikasi dalam hal bidang politik, terdapat dua hal yang sangat penting yaitu pengemasan pesan dan media yang digunakan. Para peneliti komunikasi seperti McQuail dan Blumler berpendapat bahwa komunikasi yang efektif harus memperhatikan media literacy audiens-nya, karena kedua generasi ini mengonsumsi informasi melalui platform yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya.
Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube menjadi saluran utama komunikasi bagi milenial dan Gen Z. Oleh karena itu, strategi komunikasi politik harus berbasis pada konten digital yang menarik, visual, dan mudah diakses. Konten yang interaktif, seperti polling di Instagram atau video pendek di TikTok, lebih cenderung menggaet perhatian audiens ini. Konsep two-way communication juga penting di sini, karena mereka cenderung lebih responsif terhadap komunikasi yang bersifat dialogis daripada satu arah.
Menurut Lasswell, salah satu pionir dalam teori komunikasi, ada tiga komponen penting dalam komunikasi: pengirim pesan (kandidat), pesan itu sendiri (platform politik), dan penerima pesan (pemilih). Di era digital ini, pengirim pesan harus mampu menyampaikan narasi yang mudah dipahami dan relevan, dengan gaya komunikasi yang otentik dan inklusif. Gen Z, khususnya, cenderung lebih sensitif terhadap komunikasi yang terkesan manipulatif atau terlalu formal. Kandidat yang menunjukkan authenticity dan relatability melalui gaya komunikasi yang transparan akan lebih mudah mendapatkan simpati pemilih muda.
Berdasarkan teori-teori yang sudah dipaparkan tersebut, ada beberapa strategi pemasaran politik yang dapat diimplementasikan untuk meraih suara milenial dan Gen Z: Pertama adalah personalisasi pesan, Milenial dan Gen Z lebih tertarik pada pesan politik yang relevan dengan kehidupan mereka. Oleh karena itu, kandidat perlu mempersonalisasi pesan kampanye mereka dengan menyoroti isu-isu yang dekat dengan kedua kelompok ini, seperti kesempatan kerja untuk milenial dan keberlanjutan lingkungan untuk Gen Z.
Kedua adalah kampanye berbasis digital dengan mayoritas milenial dan Gen Z menghabiskan waktu di media sosial, kampanye politik harus memprioritaskan konten digital. Pembuatan konten video pendek yang informatif dan menghibur dapat menarik perhatian audiens ini. Platform seperti TikTok dan Instagram dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan politik.
Ketiga adalah membangun dialog dan partisipasi, dimana Milenial dan Gen Z ingin terlibat secara langsung dalam proses politik, bukan hanya menjadi penonton pasif. Oleh karena itu, kampanye yang memungkinkan mereka untuk memberikan umpan balik, berpartisipasi dalam diskusi, dan bahkan berkontribusi secara langsung dalam kampanye akan lebih menarik bagi kelompok ini.
Keempat adalah mengutamakan otentisitas, kedua generasi ini cenderung skeptis terhadap politisi yang terlihat tidak otentik atau manipulatif. Kandidat yang menunjukkan kepribadian asli mereka dan tidak takut untuk menjadi diri sendiri akan lebih mudah mendapatkan dukungan dari milenial dan Gen Z.
Meraih suara milenial dan Gen Z dalam Pilkada bukanlah tugas yang mudah, tetapi dengan memahami perilaku, preferensi, dan media konsumsi mereka, kandidat dapat menyesuaikan strategi pemasaran politik mereka secara efektif. Dengan mengintegrasikan teori pemasaran politik, komunikasi politik, dan perilaku generasi ke dalam strategi kampanye, calon kepala daerah dapat membangun koneksi yang lebih dalam dengan pemilih muda ini dan, pada akhirnya, meningkatkan peluang kemenangan mereka.