Sastra Sebagai Jejak Sejarah: Menggali Puisi “Gugur” karya WS Rendra

Pendidikan, Sejarah47 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Kegiatan memahami dan menghayati karya sastra memang tidak hanya kegiatan membaca sekilas, namun seorang pembaca harus mampu menggali makna tersirat yang ada dalam teks tersebut. Puisi, cerpen, novel, drama, dongeng, dan cerita rakyat yang tersebar secara lisan di lingkungan sekitar.

Setiap ragam sastra tentu memiliki kekhasan dalam menyampaikan nilai-nilai kehidupan, emosi, dan estetika. Karya sastra bukan hanya hasil imajinasi tetapi juga cerminan kehidupan sosial, budaya, maupun psikologis manusia.

Melalui kata-kata yang dibangun pengarang, pembaca dapat memahami makna yang terkandung dalam karya sastra. Banyak karya sastra yang menceritakan persoalan hidup, sosial, politik, atau budaya yang dilihat dari berbagai sudut pandang, salah satunya puisi Gugur karya WS Rendra yang ditulis 6 Juli 1955.

Puisi Gugur karya WS Rendra dapat dikatakan salah satu pengetahuan Sejarah Indonesia pascamerdeka, ketika digali makna puisi ini menyuarakan nilai perjuangan, pengorbanan, dan seseorang yang Cinta Tanah Air.

Gaya Bahasa yang penuh dengan simbolik membuat pembaca penasaran dengan makna dari puisi Gugur ini. Diawali dengan penggalan puisi Ia merangkak/ di atas bumi yang dicintainya// Tiada kuasa lagi menegak/ Telah ia lepaskan dengan gemilang/ pelor terakhir dari bedilnya/ ke dada musuh/ yang merebut kotanya//. Makna penggalan puisi tersebut menandakan seseorang yang berjuang dengan gigih demi memperjuangkan kota yang ia tinggali.

Meskipun ia dalam keadaan terluka dan memahami bahwa hidupnya akan segera berakhir, ia masih terus berjuang serta tidak menyerah sampai akhirnya ia menggunakan peluru terakhir untuk melawan penjajah yang merebut kotanya. Puisi ini menarik untuk digali lebih mendalam karena nampak WS Rendra menuliskan Sejarah salah satu kota di Tanah Air melalui puisi Gugur ini.

Kota yang disebut-sebut dalam puisi tersebut ada dalam penggalan berikut. “Yang berasal dari tanah kembali rebah pada tanah// Dan aku pun/ berasal dari tanah;/ tanah Ambarawa yang ku cinta//. Kita bukanlah anak jadah/ kerna kita punya bumi kecintaan//. Ada kata yang menarik untuk dikaji secara mendalam yaitu Ambarawa, ketika ditelusuri ternyata Ambarawa merupakan sebuah kecamatan di kabupaten Semarang, tepatnya terletak di antara Kota Semarang dan Salatiga. Pada zaman penjajahan Belanda, Ambarawa merupakan pusat transportasi kereta yang menghubungkan Semarang, Ambarawa, Magelang hingga Yogyakarta.

Kita bukanlah anak jadah, penggalan puisi tersebut dapat dimaknai sebagai simbol emosi seseorang terkait dengan status atau keadaannya pada masa itu lalu penulis menelusuri bagaimana Sejarah Ambarawa setelah Indonesia dinyatakan Merdeka, ternyata ada Pertempuran Ambarawa yang terjadi pada 20 November- 15 Desember 1945.

Sementara, kita mengetahui bahwa Indonesia dinyatakan Merdeka pada 17 Agustus 1945. Hal ini menjadi pertanyaan untuk kita sebagai peneliti, kenapa Ambarawa masih dijajah sementara Indonesia sudah menyatakan Merdeka? Ternyata terjawab dalam Sejarah Ambarawa, beberapa media dan cerita dari masyarakat Ambarawa mengungkapkan bahwa setelah Jepang menyerah pada sekutu (pasukan Inggris), sekutu masuk ke Indonesia untuk mengusir tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang, selnjutnya pasukan Inggris datang bersama pasukan Belanda (NICA) yang memicu kemarahan masyarakat Ambarawa karena menganggap Belanda akan kembali menjajah. Sehingga terjadilah konflik bersenjata yang dikenal dengan Pertempuran Ambarawa.

Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa setelah Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia bersih dari Penjajah, nyatanya masih ada beberapa wilayah yang masih memperjuangkan kemerdekaan. Puisi Gugur karya W.S. Rendra ketika dibedah dengan pendekatan Historis ternyata mengungkap kehidupan di Ambarawa setelah Indonesia dinyatakan Merdeka.

Pendekatan Historis memandang karya sastra sebagai produk zaman, hal tersebut sejalan dengan pendapat Rene dan Austin (1949) yang mengungkapkan bahwa karya sastra harus dibaca dengan mempertimbangkan “Fakta Sejarah dan konteks kebudayaan” karena karya tersebut adalah hasil hubungan dialektis antara pengarang dan lingkungannya. Dari pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa kata, citra, dan simbol dalam sastra terhubung dengan situasi politik, sosial, dan budaya saat karya itu ditulis.

Jika membaca sekilas, Puisi gugur tampak seperti narasi heroik. Namun jika dikaji menggunakan pendekatan historis, pembaca akan memahami bahwa puisi tersebut mencerminkan kehidupan pascaproklamasi 1945, ketika masyarakat Ambarawa menghadapi ancaman kembalinya Belanda melalui NICA.

Membaca sastra dapat membaca jejak Sejarah, namun tidak semua karya sastra mengandung unsur Sejarah di dalamnya. Kajian sastra menggunakan pendekatan historis mengajarkan kita membuka dan membaca lagi rekam jejak Sejarah yang ada, sehingga dapat memahami kehidupan dengan literasi yang lebih luas dan mendalam.

Puisi Gugur karya WS Rendra merupakan representasi puitis dari semangat perjuangan dan pengorbanan yang mendalam demi tanah air. Melalui gambaran seorang pejuang yang tetap merangkak di atas bumi yang dicintainya dan menembakkan peluru terakhirnya ke dada musuh, Rendra menghadirkan sosok pejuang dalam puisinya yang tidak hanya gagah secara fisik, tetapi juga kuat secara moral dan spiritual. Puisi ini menunjukkan bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan buah dari perjuangan tanpa pamrih yang dilandasi cinta Tanah Air.

Karya ini tidak hanya dapat dibaca sebagai ekspresi estetis, tetapi juga sebagai dokumen batin sejarah Indonesia yang penuh perjuangan, pengorbanan, luka, harapan, dan keberanian. Maka, membaca puisi Gugur sejatinya adalah membaca kembali kehidupan bangsa Indonesia, memahami nilai-nilai perjuangan, serta merenungkan kembali makna kemerdekaan bagi generasi masa kini. (Shinta Rosiana MPd)

Penulis merupakan Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP Unsil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *