Produktif Menulis walau Bukan Anak Kuliahan

Seni dan Budaya204 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981) yang familiar dikenal Hamka merupakan figur multitalenta yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Hamka  digelari sebagai ulama, wartawan, sejarawan, sastrawan, bahkan politisi. Namanya bukan saja terkenal dan harum di kalangan masyarakat Indonesia, tetapi ia juga dikenal cukup baik oleh negara tetangga.

Dilahirkan di Maninjau, Sumatra Barat 17 Februari 1908, ia adalah putra dari Syaikh Dr. Haji Abdul Karim Amrullah, seorang ulama besar di Sumatra Barat dan perintis perguruan Sumatra Thawalib. Hamka merupakan salah satu tokoh Indonesia yang lahir pada awal abad ke-20. Ia boleh dibilang satu angkatan dengan tokoh-tokoh terkemuka Indonesia lainnya seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Moh. Yamin, Kasman Singodimedjo, Moh. Natsir, dan Sutan Sjahrir.

Banyak hal inspiratif yang dapat kita pelajari dari seorang Hamka. Seorang tamatan pendidikan surau yang sewaktu muda tidak pernah merasakan duduk di ruang perkuliahan dan mendengarkan ceramah dosen bertitel doktor atau profesor, bahkan untuk sekadar mengenyam pendidikan formal pun Hamka tidak pernah merasakannya. Meski demikian, Hamka adalah pribadi yang cakrawala pemikirannya luas dan memiliki produktivitas tinggi dalam menulis.

Kualifikasi Hamka memang terbukti telah melampaui lulusan sekolah formal bahkan perguruan tinggi. Sepanjang hidupnya, Hamka telah menulis sekitar 100 karangan yang terdiri atas berbagai genre, dimulai dari agama, sosial, sejarah, hingga roman-roman yang memikat hati. Karya-karya Hamka yang populer di antaranya adalah Tafsir Al-Azhar yang ditulis berjilid-jilid serta roman berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yang telah diadaptasi ke dalam bentuk film oleh Falcon Pictures pada 2013 yang lalu.

Lalu, bagaimana bisa Hamka menjadi orang yang sangat produktif menulis, sementara ia tidak pernah menjadi anak kuliahan bahkan mengenyam pendidikan formal?

Hamka dan Kebiasaan Membaca

Hamka bercerita tentang awal mula kebiasaannya menulis dalam otobiografinya yang berjudul Kenang-Kenangan Hidup (2018). Ia menerangkan bahwa kebiasaannya menulis tidak dapat dilepaskan dari kebiasaan membaca buku-buku sejak masih kanak-kanak di bawah asuhan keluarga kecilnya.

Hamka bercerita dalam otobiografinya, sejak kecil ia pernah menghabiskan waktu selama berjam-jam untuk membaca buku di bibliotheek (perpustakaan) Zainaro. Ketika masih kecil, Hamka juga seringkali dibelikan buku-buku cerita oleh ayahnya. Beberapa buku yang pernah dibelikan ayahnya itu berjudul Hikayat Bakhtiar, Hikayat Si Miskin, dan Hikayat Panji Semirang. Hamka ”melahap” isi buku-buku tersebut ketika usianya belum genap 10 tahun.

Hamka mengaku tidak banyak pelajaran agama yang masuk ke dalam pikirannya ketika ia menjadi murid Sumatra Thawalib. Alih-alih menghafal banyak pelajaran agama, Hamka lebih banyak menghafal syair-syair berbahasa Arab. Ketertarikan Hamka pada syair-syair berbahasa Arab ditunjukkannya manakala ia mendatangi sebuah toko buku milik Salim Nabhan di Surabaya.

Buku-buku yang banyak dicari Hamka ialah karangan para sastrawan terkemuka pada awal abad ke-20, seperti Mustafa Shadiq Ar-Rafi, Dr. Zaki Mubarak, Hafizh Ibrahim, Syauqi Bey, dan Khalil Mathran. Sementara, sastrawan yang paling digemarinya bernama Sayyid Musthafa Al-Manfaluthfi. Hamka tidak hanya membatasi akses bacaannya pada buku-buku berbahasa Arab saja. Ia juga membaca beberapa buku karangan penulis terkemuka dari Barat, seperti William Shakespeare serta buku-buku karangan penulis barat lainnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.

Learning by Doing

Hamka menerangkan bahwa kebiasaan banyak membaca buku telah mendorongnya untuk giat menulis. Hamka mulai menulis ketika berusia 17 tahun. Saat itu, ia telah menulis buku kecil berjudul Khatibul Ummah (1925). Hamka menggunakan bahan untuk menulis buku tersebut dari pidato yang pernah disampaikan oleh kawan-kawan di kampung halamannya.

Hamka menuliskan pidato kawan-kawannya, karena saat itu mencetak dan mengedarkan bahan pidato pada khalayak umum belum begitu populer. Kebiasaan itu dilakukan Hamka hanya sekadar untuk memenuhi tuntutan zamannya ”Saya hanya mengatasi zamanku! Tidak lebih tidak kurang!” tulis Hamka.

Seiring waktu, kemampuan menulis Hamka berkembang. Ia menulis dan menerbitkan buku lagi pada 1929. Hamka saat itu baru memasuki permulaan usia kepala dua. Ia menerangkan, bukunya yang terbit pada tahun itu bertemakan tarikh (sejarah) dan persoalan sosial. Mengenai buku yang ditulisnya saat masih muda, Hamka menyatakan, isi buku-bukunya itu masih belum berbobot.

”Jika buku itu saya baca sekarang, saya tertawa dan geli. Buku itu tidak ada isinya. Namun, yang membacanya Hamka sekarang dan yang menulis buku itu ialah Hamka tahun 1929, tentu jauh bedanya.” ujar Hamka.

Tidak ada standardisasi gaya bahasa yang perlu dimiliki oleh seorang penulis. Hamka menyatakan, setiap penulis memiliki gaya bahasa masing-masing. Ia berpendapat bahwa penulis harus memiliki jalan tempuh sendiri.

Hamka kemudian menerangkan bahwa sikap yang wajib dimiliki oleh seorang calon penulis adalah berani mencoba. Ia menyatakan, banyak kawan-kawannya yang urung menjadi penulis karena merasa takut lantaran mereka belum menguasai teori menulis secara sistematis dan ideal. Padahal menurut Hamka, kawan-kawannya itu memiliki pemikiran cemerlang dan tulisannya lebih berbobot dibandingkan miliknya.

Ihwal tulis menulis, seseorang perlu memahami dan mendalami disiplin ilmu tertentu manakala ia akan mendedahkannya ke dalam sebuah tulisan. Akan tetapi, banyak dari kawan-kawannya justru yang merasa ragu karena hal itu. Pengalaman ini dikisahkan Hamka dengan latar belakang lahirnya roman popular karangannya ”Di Bawah Lindungan Ka’bah”

”Tajuk buku saya Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah tajuk dari buku yang sedianya dikarang oleh seorang teman dengan jalan cerita yang lain. Namun, dia ragu-ragu hendak meneruskan mengarangnya. Setelah buku saya keluar, dia menyesali keraguannya.”

Kegagalan dan kekecewaan akan selalu dijumpai dalam dunia kepenulisan. Risalah Hamka mengajari kita tentang  bagaimana kita mau menentukan kesanggupan untuk melewati keduanya. (Naufal Al-Zahra)

Naufal Al-Zahra adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Siliwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *