Perang Dagang AS-China, Peluang Emas Ekonomi Islam Mengguncang Tatanan Global

Ekonomi23 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China bukan hanya sebuah pertempuran dagang biasa, tetapi juga sebuah pertarungan kekuatan geopolitik dan visi perekonomian yang tengah mencari dominasi. Dalam proses tersebut, perekonomian negara-negara lain tak terkecuali Indonesia turut terdampak dan mencari posisi yang lebih resilient di tengah guncangan yang terjadi.

Situasi yang tengah terjadi bukan hanya soal tarif dan hambatan ekspor, tetapi juga mengenai pergeseran pusat kekuatan teknologi, rantai pasokan, keamanan pangan, dan keamanan energi. Dalam konteks inilah, pendekatan ekonomi Islam yang manusiawi, adil, dan mampu menjaga kemaslahatan masyarakat dapat memberikan solusi penting. Ekonomi Islam bukan hanya instrumen keuangan, tetapi sebuah paradigma dan pendekatan moral mengenai distribusi sumber daya dan penguatan kedaulatan bangsa.

Namun, di tengah gejolak tersebut terdapat peluang penting yang patut diberdayakan dan tantangan yang harus dibereskan. Dalam konteks inilah, ekonomi Islam tampil sebagai sebuah pendekatan manusiawi, adil, dan lebih tahan guncangan (resilien).

Ekonomi Islam bukan sekadar sebuah instrumen keuangan, tetapi juga sebuah visi moral dan etika yang lebih luas mengenai tata kelola perekonomian, distribusi sumber daya, dan pemerataan kemakmuran.

Dalam visi syariah, perekonomian dibangun di atas prinsip keadilan (al-‘adl), pemerataan (al-musawah), kerja sama (at-ta’awun), transparansi (al-bayan), dan kemaslahatan (al-maslahah). Dalam tengah-tengah gejolak yang terjadi akibat pertikaian AS-China, prinsip-prinsip tersebut memberikan peluang penting untuk menjaga stabilitas perekonomian dan mendorong pertumbuhannya, sehingga lebih mampu bertahan dan melawan goncangan eksternal.

Salah satu peluang penting yang dapat dimanfaatkan adalah peran lembaga keuangan syariah dan instrumen keuangannya, seperti sukuk, wakaf, dan zakat, yang mampu menjaga stabilitas perekonomian dan mendorong pemerataan pendapatan.

Selain aspek instrumen, peluang juga terbuka luas untuk penguatan peran teknologi keuangan syariah (Syariah Fintech) dan bisnis berbasis syariah (Halal Industry). Dalam era disrupsi teknologi, penerapan teknologi yang sesuai syariah dapat memberikan kemudahan, keamanan, dan transparansi yang lebih luas bagi masyarakat dan peaku usaha. Dalam proses tersebut, sinergi teknologi, syariah, dan visi keadilan dapat melahirkan ekosistem bisnis yang lebih manusiawi, resilien, dan mampu menghadapi goncangan eksternal.

Mengoptimalkan Keuangan Syariah dan Sukuk

Sukuk merupakan instrumen obligasi syariah dapat diberdayakan untuk mendanai pembangunan infrastruktur, perumahan rakyat, teknologi pertanian, dan usaha mikro, sehingga perekonomian lebih mandiri dan tahan goncangan eksternal. Dalam situasi tengah terjadi tekanan dari arus modal dan risiko kurs, penerbitan sukuk juga lebih stabil, lebih adil, dan lebih memenuhi prinsip syariah, sehingga dapat menjaga stabilitas perekonomian sekaligus memenuhi kebutuhan riil masyarakat.

Mengembangkan Halal Value Chain dan Menghubungkan ke Pasar Global

Negeri yang diberkahi sumber daya melimpah, seperti Indonesia, juga harus mampu memposisikan diri sebagai pusat halal production dan halal value chain. Dalam tengah-tengah tekanan perang dagang AS-China, produk halal lebih diterima secara luas, bukan hanya oleh konsumen Muslim, tetapi juga non-Muslim yang tengah mencari produk yang memenuhi standar mutu, etika, dan keamanan. Ini merupakan peluang penting untuk membuka pasar yang lebih luas, menjaga surplus neraca dagang, dan meningkatkan devisa. Dengan mencari ceruk-ceruk pasar halal, perekonomian syariah dapat lebih mandiri, tak bergantung pada satu mitra dagang, dan lebih mampu bertahan di tengah goncangan.

Mengoptimalkan Keuangan Digital Syariah (Syariah Fintech)

Teknologi, apabila diberdayakan sesuai prinsip syariah, juga dapat menjadi instrumen penting untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan perekonomian di tengah tekanan.
Syariah fintech misalnya peer-to-peer financing syariah, payments syariah, dan platform ZIS (Zakat, Infaq, Sedekah) dapat meningkatkan inklusi keuangan, menyediakan modal kerja, dan membuka peluang bisnis mikro. Langkah tersebut juga dapat memangkas biaya, meningkatkan transparansi, dan menjaga proses yang adil sesuai prinsip syariah, sehingga perekonomian lebih resilien dan mampu bertahan dari gejolak yang terjadi.

Standardisasi Syariah dan Harmonisasi Implementasi

Satu tantangan penting yang harus dibereskan adalah perbedaan standar syariah dan penerapan syariah di masing-masing lembaga keuangan syariah dan masing-masing negara.
Selain ulama dan praktisi syariah, peran regulator dan standard-setting bodies seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), AAOIFI, IFSB, dan IIBA penting untuk mencapai standardisasi dan harmonisasi yang lebih luas. Dengan standar syariah yang lebih seragam, instrumen keuangan syariah lebih dapat diterima, lebih mudah diberlakukan, dan lebih mampu menjaga stabilitas perekonomian dari goncangan eksternal.

Mengoptimalkan Kerja Sama Regional dan South-South Cooperation

Selain mencari peluang di tengah pertikaian AS-China, perekonomian syariah juga harus mampu membuka kerja sama lebih luas, khususnya dengan sesama negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Global South. Kerja sama tersebut dapat melibatkan perjanjian dagang, kerja sama teknologi, penguatan perbankan syariah, dan penguatan halal industry. Langkah multilateral tersebut berguna untuk mencari pasar dan peluang bisnis yang lebih luas, menjaga stabilitas, dan juga membuka peluang untuk mandiri dan lebih tahan goncangan.

Namun, peluang yang tengah terbentang luas juga disertai tantangan yang tak kalah penting dan harus dibereskan. Dalam proses transformasi tersebut, peran ulama, praktisi, dan akademisi syariah menjadi penting untuk memberikan guidance dan melakukan pengawasan, sehingga implementasi prinsip syariah berjalan sesuai visi rahmatan lil ‘alamin.

Dalam era disrupsi teknologi, sinergi teknologi (financial technology/syariah fintech) juga penting demi menjaga relevansi dan akselerasi pertumbuhannya. Standardisasi dan harmonisasi syariah juga menjadi aspek penting, mengingat perbedaan penerapan syariah di masing-masing lembaga dan masing-masing negara.

Langkah tersebut penting demi menjaga kepastian dan integritas instrumen syariah yang diterbitkan. Selain itu tantangan yang juga harus dibereskan juga adalah perbedaan standar syariah dan penerapan syariah yang terjadi di masing-masing lembaga keuangan syariah dan masing-masing negara.

Selain tantangan internal, tantangan eksternal juga tak kalah penting. Dalam tengah-tengah pertikaian dagang AS dan China, perekonomian syariah juga harus mampu bersaing dan menemukan posisi pentingnya. Mengoptimalkan instrumen syariah, kerja sama multilateral, dan jaringan bisnis halal dapat menjadi instrumen penting untuk menjaga stabilitas dan keamanan perekonomian domestik, sekaligus memberikan peluang bisnis yang luas di tengah gejolak yang terjadi.

Perang dagang AS-China memang memberikan tekanan dan tantangan yang tak mudah. Tapi di tengah tekanan tersebut, terdapat peluang penting untuk menjadikan perekonomian syariah sebagai instrumen menjaga kedaulatan dan stabilitas perekonomian Indonesia.

Dengan sinergi antara instrumen keuangan syariah, teknologi, kerja sama multilateral, standardisasi syariah, dan penerapan prinsip-prinsip syariah yang manusiawi, perekonomian syariah dapat lebih unggul, mandiri, dan mampu bertahan di tengah guncangan. Ini bukan hanya soal mencari selamat, tetapi juga soal tampil lebih matang, lebih manusiawi, dan lebih adil sesuai visi syariah sehingga perekonomian Indonesia mampu memberikan kemaslahatan luas bagi rakyat, dan turut menjaga stabilitas perekonomian global. (Aris Nurul Muiz, SE)

Penulis merupakan Alumni Program Studi Ekonomi Syariah Unsil dan Ketua Umum UKM KIM Unsil 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *