RADAR TASIKMALAYA – Euforia masyarakat menyambut area foto-foto yang instragramable di seputar Jalan HZ Mustofa dan Jalan Cihideung tentu saja menyenangkan diikuti. Bagaimana masyarakat dari seputar Kota Tasikmalaya dan sekitarnya datang, menikmati suasana public space baru dan membuat foto-foto untuk di-upload di media sosial.
Di era digital ini, masyarakat cenderung mengalami Fear of Missing Out (FoMO). Meskipun beberapa penelitian menekankan bahwa generasi milenial adalah kelompok mayoritas yang mengalami gejala ini, namun faktanya, tidak sedikit generasi non milenial yang mengalaminya juga.
Tepatnya, gejala ini menghinggapi kelompok masyarakat yang memiliki karakteristik gaya hidup yang lebih sering menghabiskan waktu dengan handphone, dan bagi mereka mengakses media sosial merupakan hal yang penting, karena dengan adanya media sosial terjalinnya hubungan emosional yang membuat diri mereka sering kali memperhatikan postingan teman-teman mereka di media sosial, mereka juga memposting suatu hal yang ingin dilihat oleh orang lain, dengan memperlihatkan sesuatu yang baik-baik saja, dan tidak ingin menampilkan kelemahan mereka, karena bagi mereka penilaian orang lain mengenai dirinya sangatlah penting.
Tidak sedikit yang menjadi pribadi berbeda di media sosial. Pribadi yang berbeda ini tidak lepas dari citra yang ingin didapatkan dari circle/jejaring yang dimiliki di media sosial. Akun-akun di media sosial memberikan kemungkinan untuk menjadi orang lain dengan menyembunyikan identitas asli. Ada yang menjadi anonim karena keinginan menjadi pribadi berbeda, ada yang membuat akun alternatif untuk menjadi dirinya yang kedua.
Menjadi pribadi yang berbeda ini adalah pilihan yang dilakukan secara sadar karena berbagai alasan. Di kehidupan nyata, masyarakat kita menuntut setiap individu menjadi pribadi yang beradab, sopan, taat hukum, menyengakan, tidak berkeluh kesah, mau membantu sesama, dan semua citra positif lain. Sementara perkembangan teknologi dan budaya membuka lebar berbagai hal yang sering bertabrakan dengan tuntutan masyarakat ini. Maka, jadilah akun alter untuk mengeluarkan sisi gelap dari pribadi individu yang tidak bisa diekspresikan dalam kehidupan nyata.
Mari kita lihat di sekitar kita, katakanlah dari lima orang terdekat, berapa yang tidak memiliki akun media sosial? Berapa yang tidak memiliki telepon cerdas? Lebih jauh lagi, berapa banyak yang menggunakan telepon cerdas dengan cerdas?
Pertanyaan- pertanyaan tersebut mengajak kita berefleksi. Berapa jam dalam sehari kita menggunakan gawai kita? Berapa jam dalam sehari kita berinterkasi dengan manusia di kehidupan nyata?
Dalam kehidupan nyata, menurut Berscheid (1985), pencetus attraction theory, pemilihan pertemanan berdasarkan ketertarikan fisik dan kepribadian, proximity atau kedekatan geografis, dan adanya kesamaan, maka dalam pertemanan di dunia maya melalui media sosial hal ini tidak sepenuhnya dapat diterapkan.
Teknologi, seperti kata orang bijak, menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Kita bisa dengan akrab bertegur sapa di media sosial dengan siapa pun, yang tidak diketahui lokasi atau bahkan jenis kelaminnya. Bagi sebagian yang belum terbiasa tentu ini hal aneh. Bagaimana bisa komunikasi bahkan intens dengan akun-akun yang tidak jelas.
Tidak sedikit yang tertipu melalui interaksi media sosial, sebagaimana riset Agus Rusmana (2015) yang meneliti tentang Penipuan dalam Interaksi melalui Media Sosial (Kasus Peristiwa melalui Media Sosial dalam Masyarakat Berjejaring). Agus menekankan adanya faktor internal dan eksternal korban yang mendorong untuk melakukan interaksi, strategi penciptaan kesan dan strategi pembingkaian oleh pelaku penipuan, dan karakteristik media sosial yang mampu menciptakan realitas dalam pikiran korban penipuan.
Kehadiran masyarakat berjejaring telah melahirkan identitas baru bagi individu sebagai anggota masyarakat berjejaring yang memiliki kesetaraan dengan semua anggota masyarakat berjejaring lainnya, sehingga masing-masing bersedia untuk berinteraksi sosial dalam tatanan global.
Kembali ke permasalahan dalam interaksi dan hidup di dunia maya dan dunia nyata, di dunia nyata kita berhadapan dan dituntut untuk menyelesaikan masalah sampai tuntas. Tidak semua orang mampu dan mau melakukannya. Dalam kehidupan nyata, kita menjadi individu utuh dengan segala problem yang seringkali tidak dapat disembunyikan. Sementara di dunia maya, kita menjadi seseorang yang seperti yang kita mau, selalu bahagia, selalu menyenangkan, apa pun citra yang ingin kita bangun lebih mudah dilakukan. Tentu saja dengan memilih apa saja yang ingin kita sampaikan di media sosial. Tidak heran jika ada seseorang yang membuat ratusan foto dan memilih yang terbaik untuk dibagikan, karena kesan terbaik inilah yang ingin ditampilkan.
Memperlihatkan bagian diri yang terbaik ini disadari atau tidak berdampak panjang. Jejak digital abadi. Postingan di media sosial yang sudah sempat disimpan akan tetap dapat di-expose meski pembuatnya telah menghapusnya harusnya membuat kita lebih berhati-hati. Kasus-kasus hukum menyangkut hal seperti ini, ujaran kebencian maupun terkait UU ITE, adalah pembelajaran bagi kita semua untuk tidak melakukan kesalahan serupa.
Jika Freud mengenalkan kita akan keberadaan Id sebagai hal yang menadasari kepribadian seseorang, menyangkut kebutuhan dasar sebagai manusia; Ego berurusan dengan kenyataan, berusaha memenuhi keinginan id dengan cara yang dapat diterima secara sosial; dan, Superego sebagai aspek moral dari suatu kepribadian yang didapat dari pengasuhan orang tua atau norma-norma dan nilai-nilai di dalam masyarakat dan didasarkan pada moral dan penilaian tentang benar dan salah.
Di sisi lain, keberadaan akun-akun di media sosial abadi meskipun pemiliknya telah meninggal. Media sosial mengenalkan kita pada yang saya namakan ‘digital me’. Sejauh ini belum ada riset mendalam tentang hal ini. Tentu ini akan menjadi kajian menarik di bidang komunikasi, sosial, dan psikologi.
Pun demikian dengan public space baru yang ada di Kota Tasikmalaya, di media sosial disambut gegap gempita. Dalam kehidupan nyata kita disadarkan bahwa pembangunan, apa pun itu, membawa externaliites, dampak positif maupun negatif yang harus ditangani. Selain menjadikan sosok-sosok selebritis media sosial baru, kehadiran public space membuat kita kesulitan mencari area parkir kendaraan, menurunkan omzet penjualan toko-toko di sekitarnya, bahkan seorang pedagang makanan ringan keliling bercerita sambal tertawa miris, “Sekarang ramai sama yang minta tolong difoto daripada yang beli”.
Pemerintah, tentu hadir di ruang-ruang kehidupan nyata yang harus menjawab dampak-dampak ini. Sudah diantisipasi sampai mana? Tentu jawaban di realitas nyata berbeda dengan di realitas maya. (Mia Wastuti SSos MSc MEng)