RADAR TASIKMALAYA – Indonesia kini seolah sedang mengalami “darurat keteladanan”. Laman berita kita sesak oleh parade kegagalan moral para pemimpin di berbagai level. Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang dulu dikutuk, kini bermetamorfosis menjadi hal yang lumrah. Normalisasi penyimpangan ini menggerogoti sendi-sendi etika berbangsa, membuat batas antara yang haq dan yang bathil menjadi semakin kabur.
Lebih memprihatinkan lagi, kita disuguhi fenomena “pemimpin karbitan”, yaitu figur yang dipaksakan memimpin tanpa melalui proses pematangan yang wajar, hanya karena privilese kekerabatan atau modal politik semata.
Absennya meritokrasi ini melahirkan elit yang gagap menghadapi realitas, karena mereka besar dalam gelembung kenyamanan tanpa teruji oleh tantangan nyata. Belum lagi skandal integritas yang memalukan seperti penggunaan ijazah palsu demi memuluskan syahwat kekuasaan. Obsesi pada gelar dan simbol status ini menunjukkan kedangkalan berpikir, di mana kemasan dianggap lebih penting daripada isi.
Banyak pemimpin visionless, ia duduk di singgasana namun tidak memiliki visi, sehingga arah organisasi terombang-ambing tanpa tujuan. Kebijakannya seringkali diambil secara kejot borosot (tergesa-gesa), tanpa perhitungan matang, yang akhirnya merugikan rakyat. Pada titik ini rakyat menjadi kelinci percobaan dari kebijakan yang tidak matang, sehingga harus menanggung beban akibat ketidakbecusan para pengambil keputusan.
Ketika teori manajemen modern dan hukum positif tampak kewalahan membendung dekadensi moral ini, kita perlu menengok kembali ke “jalan pulang” yang disediakan oleh kearifan lokal. Tradisi Sunda, melalui naskah-naskah sejarah seperti Sanghyang Hayu, menawarkan konsep kepemimpinan yang disebut Astaguna (delapan karakter unggul) dan Parigeuing (kepemimpinan Sunda).
Konsep ini hadir bukan sekadar wacana masa lalu, melainkan sebagai antitesis telak terhadap carut-marut kepemimpinan hari ini.
Antitesis Arogansi: Seni Parigeuing
Akar masalah dari gaya kepemimpinan yang menekan dan arogan adalah hilangnya seni memimpin. Leluhur Sunda mewariskan konsep Parigeuing, yaitu kemampuan seorang pemimpin untuk memerintah atau memengaruhi orang lain dengan kata-kata yang menenangkan, tanpa melukai perasaan. Inti dari Parigeuing adalah human touch (sentuhan kemanusiaan).
Ini adalah kritik keras bagi pemimpin masa kini yang gemar menggunakan pendekatan koersif atau kekuasaan mutlak untuk membungkam perbedaan pendapat. Seni memimpin ini menekankan bahwa wibawa tidak lahir dari bentakan atau intimidasi, melainkan dari kemampuan menggerakkan hati.
Pendekatan manusiawi ini menegaskan bahwa pemimpin sedang mengurus manusia yang memiliki rasa dan karsa, bukan mengendalikan mesin. Otoritarianisme mungkin bisa memaksakan kepatuhan fisik, namun ia tidak akan pernah memenangkan jiwa rakyat.
Menjawab Krisis dengan Astaguna
Untuk memperbaiki mentalitas pemimpin yang rusak, naskah sejarah menyodorkan “resep” watak utama:
Pertama, Melawan Kebohongan dengan Isitwa (Jujur). Dalam falsafah Astaguna, karakter pertama yang wajib dimiliki pemimpin adalah Isitwa (jujur). Isitwa menuntut keselarasan antara hati, ucapan, dan tindakan. Seorang pemimpin yang memegang teguh Isitwa tidak akan memalsukan dokumen akademis hanya untuk validasi sosial, apalagi mencuri uang rakyat. Kejujuran adalah mata uang yang paling berharga dalam kepemimpinan; sekali ia hilang, sulit untuk menebusnya kembali.
Kedua, Prakamya vs Pemimpin Karbitan. Fenomena pemimpin karbitan menciptakan figur yang rapuh saat menghadapi krisis. Tradisi Sunda menjawab ini dengan nilai Prakamya (ulet dan tekun). Prakamya mengajarkan bahwa kepemimpinan lahir dari proses tempaan,
bukan jalan pintas instan. Tidak ada jalan pintas menuju kematangan. Kualitas seorang pemimpin justru teruji saat ia mampu bertahan dan bangkit dari tekanan berat, bukan mencari kambing hitam saat masalah datang.
Ketiga, Visi dan Kompetensi Menghapus Jejak Inkompetensi. Sering kita temui pemimpin yang bingung membagi tugas dan gagal memotivasi tim. Ini adalah cermin dari hilangnya sifat Mahiman (berwawasan luas) dan Lagiman (terampil dan gesit). Dalam konsep Parigeuing, pemimpin harus menguasai ilmu Patanjala, yaitu memiliki visi jauh ke depan.
Pemimpin yang tidak punya visi ibarat nakhoda buta di tengah badai. Kegagalan manajerial ini bukan hanya soal teknis, tapi cerminan dari kemiskinan wawasan yang membuat organisasi menjadi kerdil.
Keempat, Wasitwa. Obat bagi Pemimpin Anti-Kritik. Salah satu ciri fatal pemimpin gagal adalah sikap anti-kritik. Nilai Wasitwa (terbuka) mengajarkan sebaliknya. Sikap Wasitwa melarang pemimpin untuk berteriak kasar (mulah kwanta) atau menyindir (mulah majar laksana).
Kritik seharusnya dipandang sebagai vitamin yang menyehatkan organisasi, bukan sebagai serangan yang harus ditangkis dengan amarah. Pemimpin harus legowo mengakui kesalahan, karena sikap defensif hanya akan menumpuk kecurigaan yang lambat laun meledak menjadi ketidakpercayaan massal.
Menuju Ngretakeun Bumi Lamba
Tujuan akhir kepemimpinan dalam tradisi Sunda adalah Ngretakeun Bumi Lamba, bahwa ketika hadirnya (pemimpin) mampu membasuh luka bumi dengan menyejahterakan penghuninya. Tugas pemimpin adalah menyejahterakan kehidupan di dunia.
Sudah saatnya para elit berhenti mencari pembenaran dari luar dan mulai menggali kekayaan nilai dari dalam bumi sendiri. Alangkah malunya kita, jika terus menerus mengemis resep kepemimpinan bangsa lain, padahal leluhur kita telah mewariskan “kompas” yang begitu presisi, tetapi kini berdebu karena diabaikan
Perubahan besar harus dimulai dengan kesadaran kolektif untuk kembali membumi, menjadikan kearifan lokal sebagai kompas moral dalam bernegara. Kita membutuhkan negarawan yang memiliki integritas (Isitwa), visi (Mahiman), dan ketangguhan (Prakamya). Hanya dengan kembali pada akar nilai luhur inilah, marwah kepemimpinan bangsa dapat diselamatkan dari jurang krisis moral sekaligus mewariskan mata air—bukan air mata—bagi generasi mendatang. (Dr Yulia Sofiani SPd MHum)
Penulis merupakan Dosen Prodi Sejarah FKIP Unsil











