RADAR TASIKMALAYA – Kebijakan NKK/BKK tidak muncul tiba-tiba. Peristiwa panjang dan penuh dinamika menjadi pemicu, terutama setelah mahasiswa yang dibantu militer berhasil menumbangkan Orde Lama pimpinan Presiden Soekarno.Organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atau Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), tumbuh subur. Kaderisasi pun berjalan baik.
Hal ini menjadikan kritik terhadap pemerintah oleh mahasiswa ikut subur, melalui berbagai aksi unjuk rasa. Misalnya saja, saat mahasiswa mengkampanyekan “golongan putih” pada Pemilu 1971, setelah pemilu dianggap tidak lagi berjalan jujur dan adil. Aksi mahasiswa semakin meluas saat pemerintah akan membangun Taman Mini Indonesia Indah pada 1973.Hingga puncaknya terjadi pada protes mahasiswa terhadap dominasi modal asing di Indonesia pada 15 Januari 1974. Peristiwa “Malapetaka 15 Januari” atau Malari itu bertepatan saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka mengunjungi Ibu Kota.
Kebijakan NKK/BKK berlaku resmi setelah Mendikbud Daoed Joesoef mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Ini menyebabkan kampus jadi kawasan “steril” dari aktivitas politik. Dengan SK itu, mahasiswa tidak boleh melakukan kegiatan bernuansa politik. Jika ada yang nekat, sanksi keras berupa pemecatan sudah disiapkan oleh birokrasi kampus, yang juga ditekan pemerintah. Kebijakan itu pun disertai pembubaran Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa di tiap perguruan tinggi. Ini ditandai dengan Surat Keputusan Nomor 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan yang berhasil menghilangkan aktivitas politik dan organisasi mahasiswa di kampus.
Daoed Joesoef pernah menjelaskan mengenai tujuan dari berlakunya NKK/BKK dalam tulisan “Normalisasi Kehidupan Kampus”, yang juga dimuat Harian Kompas terbitan 20 April 1979. Dalam uraian itu, Daoed menilai bahwa manusia memiliki esensi tanggung jawab, antara lain untuk memelihara kesatuan dan persatuan mengembangkan kepribadian yang sehat berpikir analisis dan sintesis memelihara dan mengembangkan Demokrasi Pancasila serta serta mengembangkan nilai-nilai budaya yang luhur. Daoed mengkritik aktivitas politik mahasiswa yang dinilai tidak membangkitkan kekuatan penalaran individu. Mahasiswa tidak lagi mengembangkan kemampuan berpikir analisis dan sintetis.
“Dengan begini berarti bahwa mahasiswa pada hakikatnya bukanlah “manusia rapat umum” (man of public meeting), tetapi manusia penganalisa (man of analysis),” tulis Daoed. Pernyataan sama juga dikemukakan Daoed Joesoef, di usianya yang ke-90, Daoed menilai NKK/BKK merupakan upaya untuk mengembalikan kampus sebagai komunitas intelektual. “Silakan mengkaji politik, tapi tidak untuk berpolitik praktis. Masa itu, kampus sangat riuh dengan kegiatan politik dan rawan ditunggangi. Lalu kapan mahasiswa belajar dengan baik?,” dikutip dari Harian Kompas, Senin (8/8/2016).
Saat menjabat sebagai Mendikbud, Daoed Joeseof mengaku diberi kebebasan oleh Soeharto. “Tidak perlu sedikit-sedikit minta petunjuk,” ucapnya. Bahkan di akhir masa periode jabatan, Depdikbud tercatat mendapat anggaran paling besar, hinga Rp 1,3 triliun. Ini menjadikan kebijakan pendidikan saat itu adalah membangun sekolah inpres di mana-mana. Namun, ini tidak menjadikan sifat kritis Daoed Joesoef terhadap Soeharto hilang. Pada 1981 Daoed Joesoef pun berbeda pendapat dengan Soeharto.
Ini disebabkan lulusan S3 Ilmu Ekonomi di Universite de Paris I, Pantheon-Sorbonne, Perancis itu menilai pembangunan berbasis teknokrat sebagai kebijakan yang salah. “Itu berdasarkan konsep Bank Dunia yang menganggap Indonesia sebagai peminjam dana. Pembangunan seperti itu akan rontok di kemudian hari. Negara tidak bisa dibangun hanya lewat ekonomi,” ucapnya. Menurut Daoed, pembangunan nasional tidak sama dengan pembangunan ekonomi. Asumsi pembangunan ekonomi dianggap seperti air pasang di laut yang mengangkat semua kapal.
“Padahal, pembangunan nasional tidak seperti itu, ada yang tertinggi dan terendah,” tuturnya.
Kegagalan kelompok muda hari ini untuk menganalisis problem historis ini membuat pemuda tetap terjebak pada residu orde baru yang memberikan jarak atau garis diametral pada soal politik sehingga keterlibatan nya menjadi sangat minim padahal jika di kaji lebih dalam proses pemilihan rektor sendiri di kampus-kampus negeri di Indonesia tidak lepas dari proses politik tetapi para akademisi kampus hanya tidak berani menyatakan secara terbuka kalo itu adalah proses politik.
Sedangkan pada kalangan mahasiswa hampir di seluruh kampus di Indonesia mahasiswa mamakai instrument organisasi yang berbasis trias politika eksekutif, legislative dan yudikatif dalam teori politik ini tentu menjadi teori yang sangat dasar dan diketahui oleh banyak orang tetapi pada fakta nya mahasiswa agaknya sedikit malu-malu untuk menyampaikan kalo mereka sedang menjalankan proses politik. saya rasa ada soal yang paling dasar yang harus kita uji bersama seharusnya bukan politik yang harusnya ditolak tetapi persoalan seperti pragmatisme dan pecah belah atau kebencian yang harusnya di tolak hal ini membuat kekeliruan berlarut-larut dalam ruang kampus sampai hari ini. (Rifki Andrehansyah)
Penulis adalah alumni Fakultas Pendidikan Unsil, Mahasiswa magister hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.