RADAR TASIKMALAYA – Tiba lagi di tahun ini perayaan kemerdekaan negara Republik Indonesia yang kesekian kalinya. Angka 78 tentunya bukan hitungan yang singkat. Jika dianalogikan menjadi seorang manusia, maka pada tahap ini seseorang itu mungkin dapat dianggap sosok yang telah melampaui beragam macam tantangan kehidupan dan mengkoleksi file-file solusi permasalahan kehidupan sehingga dia menjadi narasumber individu-individu lain yang ada di sekitarnya.
Dia seperti sumber ilmu kehidupan yang berdekade berfase menempuh deret angka umur dan dinamika kompleksitas dunia nyata. Secara produktivitas kerja sosok ini pun selayaknya sudah menggampai puncak keemasan berkarir dalam dunia kerja profesional, ahli di bidangnya, dan disegani di kalangannya. Tampilan fisik alamiahnya menjadi penanda perjalanan hidup yang panjang dan berdaya guna. Namun apakah 78 itu Merdeka! ataukah Merdeka?
“Merdeka” adalah kata dalam bahasa Indonesia yang mengacu pada ide-ide yang erat kaitannya dengan kebebasan, kemandirian, dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Pada konteks perjuangan maka kata ini adalah hak-hak untuk memperoleh hak-hak asasi manusia yang dapat juga mencerminkan bagaimana suatu bangsa, merdeka dari kontrol asing.
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia signifikan mengurai jejak untuk raihan titik puncak ini melalui pergolakan dan perlawaanan para pejuang kemerdekaan melawan para penjajah. Bagaimana jika kata tersebut diserukan “Merdeka!”
Merdeka! Pekikan lantang yang diserukan oleh seluruh bangsa Indonesia nyaring terdengar tatkala perayaan kemerdekaan. Tanda seru digunakan untuk mengakhiri ungkapan yang menggambarkan kekaguman, kesungguhan, emosi yang kuat, seruan, kebahagiaan mendalam atau perintah. Makna Merdeka dengan tanda ini tampaknya beririsan dengan cuplikan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Bagian cuplikan Pembukaan UUD 1945 tersebut dengan jelas menyatakan bahwa …kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan…. Dari pembukaan ini pun sudah sepatutnya dalam konteks tersebut ada implikasi harmonis pada interpretasi unsur kemerdekaan yang sejatinya milik seluruh bangsa Indonesia sebagai bentuk suka cita dan semangat perjuangan yang membara untuk mempertahankan kemerdekaan itu sendiri.
Semangat dan perjuangan yang membara itu adalah bagaimana memiliki kemerdekaan pendidikan. Kemerdekaan ini dipupuk dari kekuatan untuk sadar diri, sadar teknologi, dan sadar koneksi. Sadar diri menjadi nyawa tersendiri untuk setiap pribadi bangsa Indonesia untuk menyadari bahwa dia berhak untuk memilih, mempelajari, dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.
Kesadaran ini pun membawa seseorang untuk mengembangkan bakat, potensi dan kemandirian yang mendukung terbangunnya sikap kritis dan akademis dalam kehidupan sehari-hari. Amboi eloknya, jika kesadaran ini konsisten hadir, betapa akan tertibnya suasana lingkungan sekitar, misalnya tidak ada lagi yang sekehendak hati membuang sampah, ugal-ugalan di jalan raya, nyerobot antrian, dan kekerasan, perundungan, dan kriminalitas yang terjadi di lingkungan.
Sadar teknologi akan menjadi elemen penting yang menempel kuat pada pendidikan saat ini. Teknologi adalah bagian support system yang membantu untuk meningkatkan proses pembelajaran. Mungkin geliat pentingnya teknologi dalam pembelajaran ini masif ter-trigger dari kondisi pandemi Covid-19 di beberapa tahun ke belakang. Peristiwa tersebut membawa hikmah besar dan loncatan inovasi luar biasa dalam pendidikan khususnya di Indonesia.
Segala macam piranti teknologi digunakan untuk mengubah mode pembelajaran luring menjadi daring, misalnya banyak orang yang akhirnya sangat akrab dengan learning management system untuk kegiatan pendidikan secara daring dan peranti meeting online untuk dunia pekerjaan mereka. Pasca pandemi, nuansa teknologi tidak terkikis, bahkan eksis untuk tetap diintegrasikan penggunaannya dalam pembelajaran, sehingga sangat memungkinkan untuk individu-individu yang terlibat dapat secara mandiri berkreativitas. Namun tentunya, dalam konteks pendidikan, penguasaan teknologi oleh guru ataupun siswa bukan untuk men-treatment siswa menjadi robot pendidikan ataupun menghasilkan guru pencipta produk pendidikan yang hanya mementingkan unsur kognitif semata.
Justru dengan teknologi inilah semua pihak akan mendapatkan manfaat terbaik atas penghargaan terhadap pengakuan dan penghargaan pada keragaman metode pengajaran, belajar dan kebutuhan siswa. Dengan sadar teknologi, maka baik guru ataupun siswa bebas membangun diri dengan memanfaatkan teknologi untuk membantunya menempa diri sehingga berpikiran terbuka, mandiri, siap menghadapi kompleksitas dunia nyata, dan selalu mencari peluang untuk berkembang.
Sadar koneksi yang dimaksud adalah bagaimana seorang individu memiliki circle yang membangun dan memotivasi diri sehingga lebih baik dan maju. Hal ini akan terbangun dari jejaring seperti apakah yang dimiliki seseorang itu untuk membentuk dan mengembangkan dirinya. Jejaring positif ataupun negatif yang dimiliki akan memberi pengaruh besar pada proses dia berinisiatif dalam belajar dan terdiskriminasi tidaknya seseorang dalam pengambilan keputusan hidupnya. Sekaitan dengan hal ini, ada fenomena yang mungkin dapat menjadi bahan renungan bersama, yaitu adanya perkembangan modernisasi komunikasi dan interaksi melalui media sosial.
Hal ini tampaknya berdampak pada cara orang memperlakukan orang di sekitarnya, misalnya, judulnya hang out bareng teman di café, tetapi saat berada di satu meja untuk saling bicara, semua yang ada di tempat itu asik dengan telefon genggamnya masing-masing, atau ada juga malah fenomena yang kontras berbeda. Saat di grup media sosial sangat ramai, saat bertemu muka langsung malah senyap tak bersuara. Konteks lain pun dapat menjadi contoh nyata, misalnya bagaimana kisruhnya sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru di khususnya di sekolah negeri. Maksud awal dari program ini adalah untuk kesetaraan hak dalam mendapatkan pendidikan dan tiadanya kastanisasi dalam pendidikan seperti yang dikatakan Muhadjir Efendi. Namun apa yang terjadi di kasus-kasus zonasi ini ruwet sekali, misalnya kasus KK yang direkayasa, untuk mengakali sistem sehingga mendapatkan keuntungan pribadi, ditambah lagi lemahnya sistem pengawasan dari para pemangku kebijakan. Jika circle pertemanan senyap itu dan sistem itu yang muncul, merdeka kah ini?
Sadar diri, sadar teknologi, dan sadar koneksi bukan untuk membawa kepada tuturan “Merdeka” dengan tanda tanya yang bermakna meragukan sesuatu hal. Keraguan adalah keahwatiran jika ada pemahaman keliru dari makna sebenarnya tentang kemerdekaan, misalnya kemandirian direfleksikan dengan individualistis, apalagi dengan adanya indikasi trending-nya publikasi gaya hidup frugal living yang ditampilkan di media sosial.
Gaya hidup ini keliru dipersepsikan seolah men-skip pengeluaran interaksi dengan orang menjadi hal yang tidak perlu dilakukan, misalnya mengeluarakan biaya untuk menengok orang sakit atau hadir di pesta perkawinan kerabat dianggap hal yang tidak ekonomis dan merugikan untuk diagendakan.
Hal-hal ini melupakan jati diri bangsa Indonesia sebagaimana sila-sila dalam Pancasila tertera. Mari kita maknai kemerdekaan melalui kata “Merdeka” yang berarti M-E-R-D-E-K-A. Mari kita mulai dan miliki energi untuk refleksi demi Republik Indonesia tercinta dengan penuh tekad kuat menjunjung tinggi emansipasi diri dan bangsa, karena itu adalah kemerdekaan sejati untuk apresiasi diri sebagai bangsa Indonesia yang berdikari. Marilah berkarya, Marilah membangun bangsa. Merdeka! (Dr Agis Andriani SPd MHum)
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Siliwangi