Menyulam Kembali Merah Putih yang Terkoyak

Refleksi HUT RI tentang Luka Pembelahan Anak Bangsa

Politik, Sosial55 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Agustus selalu datang dengan wajah meriah. Bendera merah putih berkibar gagah, anak-anak lomba makan kerupuk, bapak-bapak memanjat pinang, dan ibu-ibu sibuk menghias kampung. Kita bersorak ”Merdeka!” seolah semua baik-baik saja. Padahal, di balik gegap gempita itu, ada sesuatu yang tidak ikut dirayakan: hati bangsa ini yang sudah lama retak.

Retaknya bukan karena gempa bumi, tapi karena gempa politik. Di era Presiden Joko Widodo, negeri ini menyaksikan sebuah tontonan besar: rakyat terbelah menjadi dua kubu yang saling menatap seperti dua musuh bebuyutan. Nama-nama binatang dan makhluk laut tiba-tiba menjadi ”gelar kehormatan” baru—cebong dan kampret—yang begitu populer hingga bisa mengalahkan gelar akademis. Awalnya hanya bercanda di media sosial, tapi lama-lama menjadi identitas politik yang dibawa sampai ke meja makan keluarga.

Belum cukup di situ, label-label yang lebih beraroma kecurigaan ikut dilemparkan: ”radikal”, ”anti-Pancasila”, ”pro-khilafah”. Beberapa ulama ditarik ke meja hijau, para aktivis kritis mendadak jadi tersangka, partai oposisi kian menyusut pengaruhnya. Di pinggir arena, berdiri pasukan buzzer yang bekerja nyaris tanpa tidur, menyebar narasi seperti pabrik roti, hanya saja yang diproduksi bukan makanan, melainkan opini yang sudah dikemas rapi sesuai pesanan.

Tentu saja semua ini bisa disebut ”dinamika demokrasi” oleh mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Tetapi, mari kita jujur: ini bukan dinamika, ini retakan. Demokrasi memang memberi ruang untuk berbeda, tapi bukan untuk saling membenci. Perbedaan pendapat itu vitamin bagi republik, tapi kalau setiap perbedaan dianggap ancaman, vitamin itu berubah menjadi racun.

Yang berbahaya adalah retakan ini tidak selalu meledak di jalanan, melainkan merayap pelan di benak kita. Ia membuat tetangga jadi curiga, membuat teman lama saling memblokir, membuat keluarga membicarakan politik dengan nada yang lebih panas daripada membicarakan harga cabai. Kita masuk ke ruang-ruang gema (echo chamber) di media sosial, hanya mendengar suara yang kita sukai, dan menutup telinga dari yang berbeda. Anak-anak pun tumbuh menyaksikan orang dewasa saling hujat, sambil di sekolah mereka menghafal Pancasila dengan suara lantang. Ironinya terlalu nyata untuk diabaikan.

Seorang petani di kampung pernah berkata pada saya, ”Kalau di sawah, cebong sama kampret nggak pernah berantem. Sama-sama nyari makan. Kok manusia kalah sama hewan?” Saya tertawa, tapi tertawa getir. Ternyata kita memang sedang sibuk bertarung untuk hal-hal yang membuat perut kenyang orang lain. Sementara kita saling serang di dunia maya, para elite politik bisa duduk bersama dalam rapat tertutup, membagi-bagi kekuasaan seperti kue ulang tahun. 

Padahal, kita pernah punya pengalaman bersatu dalam situasi jauh lebih sulit. Tahun 1945, para pendiri bangsa yang berbeda latar belakang duduk bersama menyusun konstitusi. Tahun 1998, rakyat dari segala arah mata angin politik bersatu menuntut reformasi. Dulu, narasi yang kita pegang adalah ”kita semua” melawan masalah bersama. Sekarang, narasi itu berubah menjadi ”kita” melawan ”mereka”, bahkan kalau perlu sampai titik darah penghabisan—meski yang berdarah biasanya rakyat biasa, bukan yang duduk di istana.

Karena itu, di usia kemerdekaan yang ke-80 ini, saya hanya ingin mengusulkan satu hal sederhana: hentikan bisnis kebencian ini. Ya, saya menyebutnya ”bisnis”, karena polarisasi sudah menjadi industri politik yang menguntungkan sebagian orang. Hentikan produksi narasi yang memecah-belah. Elite politik, berhentilah memelihara polarisasi demi kepentingan elektoral. Jangan lagi memancing dukungan dengan isu SARA atau simbol agama. Penegakan hukum harus kembali netral, tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Media dan buzzer, kalau memang mau cari nafkah, carilah dengan cara yang tidak merusak rumah sendiri.

Pendidikan politik rakyat harus dimulai dari kesadaran sederhana bahwa lawan politik bukan musuh negara. Kita boleh berbeda pilihan, tapi kita tetap satu warga negara yang berdiri di bawah bendera yang sama. Persatuan bukan berarti semua harus seragam. Biarkan orang berbeda, asal sama-sama menjaga Indonesia.

Bangsa ini ibarat kain merah putih yang mulai terurai benangnya. Jika tidak segera dijahit, ia akan robek. Menyulam kembali merah putih tidak cukup dengan pidato atau baliho, melainkan dengan kesediaan melihat ”yang berbeda” sebagai sesama. Kita perlu menurunkan tensi, menyembuhkan luka, dan meninggalkan dendam politik sebelum dendam itu diwariskan ke generasi berikutnya.

Seorang kawan pernah berbisik pada saya di tengah hiruk pikuk perayaan kemerdekaan, ”Merdeka itu bukan sekadar tidak dijajah oleh bangsa lain, tapi juga tidak tega menjajah sesama dengan kebencian.” Saya diam, karena tahu kalimat itu lebih benar daripada banyak pidato pejabat. Kita bisa terus berdiri di bawah bendera yang sama sambil saling menuding, tapi itu hanya membuat merahnya semakin pudar dan putihnya ternoda. Dan jika suatu hari nanti bendera itu benar-benar robek, jangan salahkan angin. Salahkan tangan-tangan kita sendiri yang tak pernah lelah menariknya ke arah yang berlawanan. (Aye Rakhmat Hidayat)

Aye Rakhmat Hidayat adalah Kolumnis dan Esais Tasikmalaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *