Memedomani Hasrat dan Seksualitas

Pendidikan131 Dilihat

It was a time of direct gestures, shameless discourse, and open transgressions, when anatomies were shown and intermingled at will, and knowing children hung about amid the laughter of adults: it was a period when bodies made a display of themselves. (Michel Faucoult, The History of Sexuality dari Histoire de la sexualite, terj. Robert Hurley)

KUTIPAN dari seorang Michel Faucoult (1926–1984)—filsuf Prancis, sejarawan ide, ahli teori sosial, ahli bahasa, kritikus sastra, wafat karena HIV/AIDS—menyebut bahwa seksualitas abad kesembilan belas adalah seksualitas when bodies made a display of themselves. Tidak berlebihan. Abad kesembilan belas adalah awal industrialisasi di mana mesin menggantikan manusia, dan ketika tubuh ”mempertontonkan diri mereka sendiri”. Era Victorian adalah awal dari seksualitas blak-blakan yang lalu, berlanjut ke abad dua puluh yang lebih blak-blakan lagi. Sensasi yang didapatkan dari menikmati film, seni rupa dan musik di abad itu menjadi lebih terbuka. Ruang-ruang hiburan masal banyak digagas, diselenggarakan dan menjadi industri yang sangat menguntungkan. Barangkali, seni banyak dipersalahkan dalam eksplorasi seksualitas di abad itu. Di abad itu pula, ilmu pengetahuan berada di ruang privat. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengakses ilmu pengetahuan. Demikian juga, dengan moralitas. Tidak ada moral di dalam mesin. Moral hanya ada di dalam kitab suci dan ribuan buku teori. Pada abad itu, kita menyaksikan banyak sekali adab dan keadaban, namun nir-moralitas. Puncaknya adalah perang dunia dua jilid itu.

Sekarang kita berada di awal abad ke dua puluh satu ketika hiburan menjadi privat dan ilmu pengetahuan menjadi terbuka. Peran teknologi informasi cukup dominan dalam penjungkirbalikkan ini. Lalu, perlahan merambat ke arah artifisial intelligence di mana olah pikir manusia sedang dan akan diambil alih kembali oleh mesin yang berujud teknologi informasi. Namun, tubuh tetap saja mempertontonkan diri mereka sendiri. Kita menyaksikan bahwa tubuh tetap berbalut pakaian, apa pun itu bentuk pakaiannya. Namun, tontonan tubuh beralih ruang. Tontonan itu ada di dalam ruang-ruang virtual dan manusia kerap mengimajinasikannya dan menjadi delusi. Tak terhitung yang terjebak, menjadi korban, dan berakhir bencana.

Bagi Faucoult seksualitas adalah seks yang bukan hanya masalah sensasi dan kesenangan, hukum dan tabu, tetapi juga kebenaran dan kepalsuan; bahwa kebenaran seks menjadi sesuatu yang mendasar, berguna, atau berbahaya, berharga atau tangguh. Singkatnya, seks dikonstitusikan sebagai masalah kebenaran, as a problem of truth. Dalam perspektif seksualitas, laki-laki dan perempuan adalah dualitas. Ada batas-batas arbitrer antara keduanya. Ia mempunyai ruangnya sendiri, namun tidak dimaknai sebagai bias antara maskulinitas dan femininitas. Kelakilakian dan keperempuanan bisa jadi ada pada keduanya. Dalam narasi agama, seksualitas tetap dimaknai tunggal dan homogen di mana penyimpangan atasnya adalah pelanggaran. Laki-laki tetaplah laki-laki. Demikian pula dengan perempuan. Islam jelas mengharamkan pemakaian atribut silang antara keduanya. Sampai di sini, hukum hanya berbicara pada penyimpangan saja.

Kembali ke ruang virtual di mana seksualitas mengejawantah hampir tak terkendali. Tubuh yang mempertontonkan diri mereka sendiri itu menjadi semacam pisau bermata dua. Jika tak terkendali, ia bisa memotong, menebas, membunuh dan menghancurkan apa saja. Namun, ia bisa bermanfaat jika benar-benar berada pada tempatnya; menjadi indah dan berkah. Lain halnya jika seksualitas dimaknai sebagai sebuah hasrat. Dalam Bahasa al-Quran ia disebut sebagai ‘syahwat’. Q.S. Ali Imran (3):24 menyebut tentang manusia yang diindahi dengan kecintaan pada syahwat. Urutan pertama dalam kecintaan syahwat manusia itu adalah perempuan, berikutnya adalah anak-anak laki-laki, lalu harta berlipat yang berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Penyebutan ‘perempuan’ sebagai obyek syahwat laki-laki, pada dasarnya adalah normal. Namun, secara implisit menunjuk pada seksualitas itu. Karena tubuh perempuan, bagaimanapun sangat berharga. Dan laki-lakilah yang membuatnya menjadi kebalikannya.

Kata ‘Syahwat’ atau ‘hasrat’ atau ‘desire’ itu, pada mulanya adalah terma yang netral. Syahwat bisa menjadi bernilai apabila manusia memperlakukannya, sesuai dengan keinginannya. Bisa berarti negatif atau positif. Bisa menjadi berbahaya atau bermanfaat. Sesuai dengan pernyataan Faucoult di muka, bahwa seksualitas bisa berguna atau berbahaya, di dalamnya ada kebenaran atau kepalsuan.

Sepertinya, dan ini pasti, Tuhan menyematkan syahwat dalam jiwa manusia sebagai impuls bagi peradaban itu sendiri. Seandainya manusia tanpa syahwat, ia akan menjadi malaikat yang karakternya adalah ‘tak ada pengetahuan kecuali yang diinformasikan Tuhan’. Atau ia akan menjadi robot yang hanya bisa bergerak sesuai dengan apa yang diprogramkan penciptanya. Padahal manusia adalah makhluk eksistensial, di mana ia ada dan harus mendunia; In der welt sein, fungsi kekhalifahan dunia. Hanya manusia yang layak memegang jabatan paling mulia ini. Manusia dengan syahwatnya adalah anugerah kehidupan. Ia penggerak peradaban dunia.

Tapi, ada musuh abadi di dalamnya. Syahwat yang semula netral itu, berubah menjadi bencana manakala manusia dibisiki oleh musuh tak kasat mata. Setan selalu berusaha menggoda manusia lewat pintu syahwat itu dari segala arah. Manusia yang bereksistensi di dunia itu, tiba-tiba dalam hitungan sepersekian detik berubah menjadi bencana. Eksistensinya dipertaruhkan pada satu godaan yang dahsyat, yang hampir diserupakan dengan watak kebinatangan. Lagi-lagi tubuh yang mempertontonkan dirinya sendiri. Secara metaforis, kisah Adam dan Hawa adalah pelajaran bagi kita, anak keturunannya.

Hanya satu cara untuk mengendalikan syahwat itu menjadi positif. Kendali itu ada dalam pengenalan diri. Tiga aras pengenalan diri itu dimulai dari pertanyaan yang selekasnya harus dijawab: ‘dari apa ia diciptakan?’, ‘untuk apa ia diciptakan?’, dan ‘kemanakah ia akan kembali?’. Seandainya ini menjadi semacam ‘dzikir’ rutin manusia, maka pelecehan dan kekerasan seksual bisa diminimalisasikan, bahkan seksualitas akan kembali ke fitrahnya semula: kelahiran keadaban manusia. (Dr. Yusep Rafiqi, S.Ag., M.M.)

Dr. Yusep Rafiqi, S.Ag., M.M. adalah Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Agama Islam Universitas Siliwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *