RADAR TASIKMALAYA – Pada bulan Desember 2024, kawasan Geopark Ciletuh mengalami bencana banjir bandang dan tanah longsor yang parah. Banjir ini melanda sejumlah lokasi di Kabupaten Sukabumi, dan menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat, bencana ini dikategorikan sebagai yang terparah dalam sepuluh tahun terakhir. Banjir ini menyebabkan kerusakan infrastruktur, termasuk jembatan yang menghubungkan akses ke Geopark Ciletuh. Data dari BNPB mencatat bahwa selama periode 2-9 Desember 2024, terdapat 24 orang meninggal akibat bencana hidrometeorologi, dengan banyak kejadian bencana yang terjadi di wilayah Jawa Barat, termasuk Sukabumi. Selain itu, lebih dari 2.150 rumah dilaporkan rusak, dan hampir 100.000 orang terpaksa mengungsi akibat bencana ini
Banjir di kawasan Geopark Ciletuh terjadi akibat beberapa faktor, termasuk faktor manusia. Aktivitas pertambangan yang tidak terkelola dengan baik, serta konversi lahan untuk pertanian dan pemukiman, telah berkontribusi pada kerusakan hutan dan berkurangnya tutupan vegetasi. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat baru-baru ini merilis pernyataan mengenai kerusakan yang terjadi di daerah hulu dan hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciletuh, Kabupaten Sukabumi. Dalam pernyataan tersebut, pihak Walhi menekankan pentingnya pelestarian Geopark Ciletuh, sambil mempertimbangkan dampak lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan dan pengrusakkan hutan. Ditegaskan bahwa hulu DAS Ciletuh mengalami kerusakan yang signifikan, salah satunya disebabkan oleh praktik pertambangan yang dilakukan baik oleh masyarakat lokal maupun perusahaan. Beberapa kecamatan, seperti Simpenan, Ciemas, dan Waluran, menjadi lokasi aktivitas pertambangan yang berpotensi mencemari sungai Ciletuh. Limbah tambang yang mengandung merkuri dan sianida menjadi ancaman serius bagi kualitas air sungai, berdampak buruk pada ekosistem dan kesehatan masyarakat yang bergantung pada sumber daya air tersebut.
Selain itu, kerusakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciletuh juga berasal dari terjadinya kerusakan hutan yang semakin parah. Alih fungsi lahan untuk pertanian, pemukiman, dan kegiatan ekonomi lainnya telah menyebabkan berkurangnya tutupan hutan di daerah tangkapan air, terutama di kawasan Pasir Piring. Penebangan pohon secara liar dan konversi lahan menjadi lahan pertanian mengakibatkan hilangnya vegetasi yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga tanah. Hal ini berkontribusi pada peningkatan sedimentasi di sungai, yang pada akhirnya akan memperburuk kondisi ekologis di muara sungai.
Proses sedimentasi yang meningkat tidak hanya mengubah pola aliran air, tetapi juga akan mengurangi kedalaman sungai. Ketika kedalaman sungai berkurang, aliran air menjadi lebih lambat dan tidak mampu menampung volume air yang masuk, sehingga menyebabkan genangan dan banjir di daerah sekitarnya. Selain itu, habitat ikan dan organisme akuatik lainnya juga dipastikan akan terganggu, karena banyak spesies yang memerlukan kedalaman tertentu untuk berkembang biak dan mencari makanan. Ikan yang biasanya hidup di ekosistem yang sehat kini terpaksa beradaptasi dengan kondisi yang semakin buruk, yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan populasi.
Kualitas air yang menurun akibat sedimentasi juga menjadi masalah serius. Peningkatan kandungan sedimen dalam air tidak hanya mengurangi kejernihannya, tetapi juga dapat meningkatkan konsentrasi zat-zat kontaminan yang berasal dari limbah pertambangan dan kegiatan manusia lainnya. Situasi ini dapat berpengaruh langsung terhadap kehidupan masyarakat yang memanfaatkan sungai tersebut untuk kebutuhan sehari-hari, seperti air minum, pertanian, dan perikanan. Jika kualitas air terus menurun, maka kesehatan masyarakat dapat terancam, dan sumber daya alam yang ada akan semakin sulit dipertahankan. Oleh karena itu, penanganan kerusakan ini menjadi sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan kehidupan masyarakat di sekitar DAS Ciletuh.
Dari sudut pandang geografi, kerusakan yang terjadi di DAS Ciletuh mencerminkan interaksi yang kompleks antara manusia dan lingkungan. Aktivitas pertambangan yang tidak terkelola dengan baik dapat menyebabkan pencemaran yang signifikan, sementara konversi hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman mengurangi kemampuan hutan untuk menyerap air. Berkurangnya tutupan hutan juga meningkatkan erosi tanah, yang berkontribusi pada sedimentasi di sungai. Keterkaitan sosial dan ekonomi juga menjadi faktor penting, di mana banyak masyarakat lokal bergantung pada sumber daya alam di DAS Ciletuh. Kerusakan lingkungan dapat berdampak pada ekonomi lokal, terutama bagi mereka yang mengandalkan perikanan dan pertanian.
Oleh karena itu, pernyataan Walhi tentang kerusakan di DAS Ciletuh menyoroti pentingnya pendekatan yang berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Penataan Geopark Ciletuh harus mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan secara menyeluruh, termasuk dampak dari aktivitas pertambangan, pengrusakan hutan, serta perubahan iklim yang dapat memperburuk situasi. Upaya pelestarian ini tidak hanya penting untuk menjaga keanekaragaman hayati, tetapi juga untuk melindungi sumber daya air yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat lokal. Selain itu, pelibatan semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga sektor swasta, sangat diperlukan untuk menciptakan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Hanya dengan kolaborasi yang kuat dan kesadaran akan pentingnya menjaga alam, kita dapat mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang tidak hanya menguntungkan saat ini, tetapi juga menjamin kesejahteraan generasi mendatang. Dengan demikian, langkah-langkah konkret dalam pengelolaan dan pelestarian DAS Ciletuh menjadi sangat penting demi keberlangsungan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat sekitar. (Yulia Enshanty SPd)
Penulis merupakan Mahasiswa Magister Pendidikan Geografi Pascasarjana Universitas Siliwangi, Guru Geografi di SMAN 1 Warungkiara, Kabupaten Sukabumi