RADAR TASIKMALAYA – Kunjungan pertama ke luar negeri Prabowo Subianto sebagai Presiden pada bulan November 2024 ini banyak yang memberikan spekulasi bahwa Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan menggantikan posisi Presiden.
Tugas Wapres memang sebagai pembantu Presiden, namun ada kekhawatiran berlebihan bahwa Gibran seolah akan merebut kekuasaan Presiden, atau paling tidak diragukan kemampuannya. Usia Prabowo yang tidak muda lagi, sementara Gibran dianggap belum bisa lepas dari bayang-bayang presiden Jokowi walau sudah tidak menjabat, sehingga rawan menunggangi.
Sebenarnya peran wapres dalam UUD 1945 hanya terdapat dalam pasal 4 ayat (2) yang berbunyi “(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden. Namun, pada pasal 8 ayat (1) “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”. Keputusan penting negara maupun pemerintahan tetaplah milik presiden, hanya Hatta satu-satunya Wapres yang pernah membuat sebuah keputusan, yakni Maklumat Wakil Presiden No. X pada tanggal 16 Oktober 1945 yang memberikan kewenangan kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang awalnya merupakan badan penasihat semata, untuk menjadi badan legislatif pemerintah.
Uniknya di Indonesia, sebagaimana dalam Pasal 6A (1) UUD 1945 bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Seperti halnya di Amerika Serikat, namun di negeri Paman Sam tersebut harus dalam satu partai yang sama, sedangkan di Indonesia sangat memungkinkan oleh beberapa partai politik, sebagaimana dalam ayat (2) bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Indonesia menganut multipartai sedangkan Amerika hanya ada partai dominan, rumitnya lagi di negara kita ada ambang batas atau presidential threshold, dan jarang ada partai yang memenuhi minimal 20% apalagi 25 %. Hanya pada pilpres pertama tahun 2004 di mana partai yang lolos parlemen bisa mencalonkan.
Hal di ataslah yang berdampak pada pentingnya posisi Cawapres sebagai pertimbangan elektoral bagi Capres untuk menambah suara pada pemilu bahkan untuk menjaga stabilitas dalam pemerintahan jika terpilih. Penulis mencoba untuk memberikan gambaran terkait fenomena Wakil Presiden hasil pilpres langsung.
Pada pilpres pertama tahun 2004, terpilih Jusuf Kalla (JK) sebagai Wapres ke 10 atau yang pertama hasil pemilu langsung. Beliau mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Capres. Pasangan SBY-JK memenangkan pilpres pertama di Indonesia dengan modal politik demokrat putaran pertama, kemudian putaran kedua bergabung beberapa parpol seperti PKS dan PAN. Kekuatan parlemen relatif kecil bagi pemerintahan saat itu, secara mengejutkan JK terpilih sebagai ketum Golkar, sehingga kepercayaan diri JK sebagai wapres sangat tinggi karena Golkar merupakan pemenang Pileg 2004. JK mendapat julukan the real presiden, pasangan yang saling melengkapi, SBY yang tenang dan Pak JK nampak sangat aktif dan enerjik.
JK bisa dianggap sebagai satu-satunya wapres yang menonjol, atau paling tidak mengimbangi peran presiden dalam aktivitas kenegaraan. Sayangnya, pasangan ini resmi bercerai pada Pilpres 2009, JK sebagai Capres 2009 bersama Wiranto menantang SBY-Budiono dan pasangan Mega-Prabowo.
Budiono merupakan wapres pada periode kedua Yudhoyono, pasangan ini menjadi pemenang pilpres 2009, bersamaan juga kemenangan partai demokrat pada Pileg. Periode 2009-2014 SBY relatif lebih percaya diri karena demokrat sebagai satu-satunya partai yang memenuhi ambang batas sehingga tidak tergantung parpol lain walau didukung juang oleh partai koalisi lain. Peran Budiono sebagai wapres sangat jauh dengan JK, Budiono yang seorang ekonom murni (bukan tokoh parpol), nyaris hanya sebagai bamper saja, tidak menonjol seperti Jusuf Kalla.
Pilpres 2014 menempatkan JK kembali menjadi wapres yang kedua kalinya bersama presiden Jokowi. Namun, peran JK sangat berbeda saat menjadi wapres SBY, menjadi wapres Jokowi, JK nampak tidak begitu menonjol. Begitu pula dengan K.H. Ma-ruf Amin sebagai wapres keempat hasil pemilu langsung atau pada periode kedua Jokowi. Pemerintahan Jokowi selama dua periode dengan dua wapres, nampak lebih menonjolkan para anggota kabinet lain, seperti Luhut Pandjaitan, bahkan disebut sebagai menteri segala urusan bahkan seperti Perdana Menteri.
Apa pun itu yang terjadi, saat ini putra sulung Jokowi sudah menjadi Wapres mendampingi Presiden Prabowo, pro maupun kontra pasti ada, meragukan kemampuan atau yang percaya kapasitasnya juga ada. Walau diragukan tapi ada yang menggendong beliau karena sebagian anggota kabinet sekarang juga merupakan bagian dari pemerintahan sebelumnya.
Politik balas budi Prabowo kepada Jokowi tentunya masih menjadi pertimbangan. Kalaupun Gibran akan jadi benalu Prabowo, ibarat membesarkan anak macan yang akan menjadi lawan tanding pada Pilpres 2029, dalam politik segala hal bisa terjadi. Semoga Indonesia jalan yang terbaik. (K Adi Saputra)
Penulis merupakan Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Siliwangi