Kepiawaian Kuasa Oligarki dalam Demokrasi Elektoral

Politik136 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada serentak tinggal beberapa bulan lagi. Namun “pesta” demokrasi yang bermakna di Tasikmalaya masih meninggalkan jejak politik yang sulit menghasilkan pemilu demokratis bagi kepentingan politik rakyat. Hal ini diprediksi dari riset disertasi berdasarkan refleksi politik pada Pilkada Kota Tasikmalaya tahun 2017, Pemilu 2019, dan Pilkada Kabupaten Tasikmalaya tahun 2020.

Meskipun rule of law politik elektoral sudah direvisi berkali-kali sejak era reformasi, agar penanganan dan pengawasan oleh KPU dan Bawaslu menghasilkan pemilu yang demokratis. Sepertinya proses pemilu serentak tahun 2024 di wilayah “Kota Santri” masih mengalami pola politik yang cenderung belum berubah, pertarungan kekuasaan politik lokal hanya diperebutkan para oligark.

Sebelumnya, penulis akan menjelaskan apa itu oligark dan oligarki. Oligark adalah pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material (kekayaan) yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosialnya. Sumber daya itu harus tersedia untuk digunakan demi kepentingan pribadi, jika kekayaan pribadi tidak dimiliki (tidak ada), maka oligark juga tidak ada.

Menjelaskan oligarki sebagai kekuasaan sekelompok kecil tidaklah cukup, tetapi motif oligarki sangat kental dengan keinginan segelintir minoritas elit kaya raya yang berupaya memperebutkan kekuasaan, dan mempertahankan kekayaannya. Realitasnya kekayaan sangat besar di tangan minoritas untuk menciptakan kelebihan kekuasaan yang signifikan di ranah politik termasuk dalam sistem politik demokrasi yang saat ini diimplementasikan Indonesia. (Winters, 2011 & 2014).

Hadiz, Robinson, maupun Winters (dalam Ford & Pepinsky, 2014) menjelaskan dari hasil risetnya dalam mengungkap pola kuasa oligarki dalam dinamika politik Indonesia dari periode ke periode sejak pemerintahan Orde Baru. Kekuasaan oligarki ternyata masih mampu beroperasi dengan baik, meski sistem politik elektoral (pemilu) di Indonesia semakin demokratis sejak era reformasi.

Ketiga ilmuwan politik tersebut menyepakati para oligark berhasil beradaptasi dan hidup berdampingan untuk memanfaatkan ruang struktur formal politik demokrasi tanpa harus menyingkirkan perilaku oligarkinya. Apalagi jika sistem politik demokrasi di suatu negara hanya bersifat prosedural saja (tidak bermakna).

Dipastikan pola kuasa oligarki semakin merajalela melakukan kendali politik. Apabila proses politik semakin demokratis (substansial), ada kemungkinan akan mempengaruhi pola dan strategi politik oligarki. Namun mereka dengan sangat tegas menolak perilaku oligarki di Indonesia dapat dihilangkan (diberantas total), meskipun proses Pemilu atau sistem politik sudah demokratis dan kompetitif sekalipun.

Oligarki dapat dipandang dari dua sisi, yakni sisi politik dan sisi ekonomi -politik. Dari sisi politik, oligarki merupakan pemusatan kekuasaan pada segelintir elit yang menjalankan urusan kepentingan publik dengan mekanisme yang dibuatnya. Sedangkan dari sisi ekonomi-politik, oligarki merupakan relasi kekuasaan yang memusatkan sumber daya ekonomi pada segelintir pihak, dalam konteks ini relasi antara pengusaha dan elit politik yang saling menguntungkan secara timbal balik. Dengan kata lain, oligarki dapat didefinisikan sebagai politik mempertahankan kekayaan, baik terlibat kekuasaan secara langsung maupun tidak langsung. (Hajad, 2017)

Jika masih ada yang menyangkalnya tentang akrabnya relasi kekuasaan dan kekayaan, berarti mengabaikan analisis politik yang telah berabad-abad terbukti di beberapa negara lain. Klaim sederhananya, distribusi sumber daya material di antara anggota-anggota komunitas politik punya pengaruh besar pada kekuasaan.

Makin tidak berimbang distribusi material makin besar pula kekuasaan dan pengaruh orang – orang kaya, dan makin kuat pula pengaruh kesenjangan material pada motif dan tujuan politik mereka. Oligarki memusatkan perhatian pada kuasa kekayaan dan politik, karena hubungan uang dan kekuasaan nyaris niscaya di dalam studi politik.

Maka akan mengagetkan apabila ada penolakan terhadap ketidaksetaraan dalam kekayaan akan menghasilkan ketidaksetaraan dalam kekuasaan dan pengaruh politik.

Cacatnya demokrasi di Indonesia banyak dianalisis dengan ‘hal-hal baru’ yang dulu tidak muncul selama masa otoritarianisme Soeharto, misalnya mengaitkan antara demokrasi dengan menguatnya kekuasaan oligarki, institusi tradisional, identitas etnik, kekerasan komunal, disintegrasi, dan local regime/bossism. Sementara ‘hal-hal lama’ seperti kaitan antara demokrasi dan rezim lama sangat jarang dibahas.

Di antara sedikit pembahas, Vedi R. Hadiz dengan old predatory interest-nya sangat menarik diungkap dalam dinamika politik Indonesia saat ini. Kepeduliannya pada isu oligarki, perburuan rente (rent seeking) sebagai penyebab dari cacatnya demokrasi mengundang dukungan sekaligus kritik dari ilmuwan lain karena Hadiz secara langsung mengaitkan demokrasi yang buruk dengan pengaruh yang tak pernah selesai dari rezim Orde Baru yang telah lama tumbang. Tulisan ini sendiri dibuat berdasarkan kegelisahan atas sejumlah kritik terhadap Hadiz; di antaranya bahwa ia secara gegabah menggeneralisir penyebab dari cacatnya demokrasi di Indonesia dengan mengabaikan fakta bahwa Indonesia memiliki keberagaman lokalitas (pluralis) (Kurniadi, 2008 dalam Rahmawati, 2015).

Dari berbagai studi mengenai kuasa oligarki di Indonesia, memang sudah memiliki keunggulan material sebagai pondasi kekuatan politiknya. Riset yang sudah dilakukan penulis telah berhasil mengungkap sejumlah pengusaha di Tasikmalaya saling berkolaborasi dengan elit parpol dan birokrasi turut andil menyusun pola kuasa oligarki untuk membangun kerajaan politik di ranah lokal.

Mereka tetap menekankan keunggulan kekayaan sebagai modal penguasaan ekonomi dan politik untuk mendapatkan keuntungan dari kebijakan pemerintah. Sejumlah pengusaha ini selalu mencari keuntungan koneksi politik dengan pemerintah agar selalu menerima keuntungan rente, memanfaatkan proteksi, lisensi bisnis, atau monopoli kegiatan bisnis tertentu dari pemerintah. Pengusaha jenis ini memperoleh dukungan dan perlindungan dari patronnya di dalam lembaga pemerintahan.

Tiga perkara langsung yang ada sangkut pautnya dengan hal ini. Pertama, kekayaan adalah bentuk kekuasaan material yang beda dari segala sumber daya kekuasaan yang lain yang bisa terkonsentrasi di tangan minoritas. Kedua, yang penting adalah penguasaan dan pengendalian sumber daya itu dilakukan untuk kepentingan pribadi, tetapi bisa untuk kepentingan kelompok.

Ketiga, definisi oligarki tetap konstan di berbagai zaman dan kasus, faktor-faktor itulah yang secara konsisten mendefinisikan oligarki, sehingga bisa membedakan mereka dengan konsep elit pada umumnya.

Pasca pemerintahan Soeharto lengser, agenda reformasi politik untuk memenuhi tuntutan masyarakat sipil dan demokratisasi di Tasikmalaya dengan menerapkan pemilu ataupun Pilkada langsung. Belum mampu memenuhi harapan politik masyarakat, karena distribusi kekuasaan dan kesetaraan politik semakin tidak merata.

Reformasi politik dengan terbukanya “kran” kebebasan politik. Faktanya kurang memberikan akses politik yang luas bagi masyarakat Tasikmalaya, malahan menjadi ruang dan kesempatan yang lebih besar bagi sejumlah pengusaha yang ingin memainkan arena politik untuk menunjukkan eksistensinya merebut kekuasaan di Tasikmalaya, sekaligus mengendalikan kebijakan pemerintah melalui sumber daya yang mereka miliki, agar bisa memenuhi kepentingan ekonomi – politiknya untuk melakukan praktek rent seeking dan berbagai kepentingan bisnis mengakumulasi dan mempertahankan kekayaannya.

Fenomena kemunculan oligarki di Tasikmalaya tidak lagi didasarkan ekonomi – politik struktural sebagaimana analisis politik Hadiz (2005). Kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki sejumlah pengusaha merupakan aktor yang berhasil beradaptasi perubahan sistem dan struktur politik reformasi. Kalkulasi kepentingan ekonomi – politik dilakukan secara rasional dan strategis dalam merespons struktur politik sesuai dengan kearifan lokal Tasikmalaya.

Oleh sebab itu, memang sulit mendikotomikan antara peran aktor yang rasional dari konteks aspek struktural politik yang makin dinamis dan terus berkembang sesuai dengan situasi kondisi masyarakat yang sedang mengalami euforia demokratisasi Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024 mendatang. (Dr Mohammad Ali Andrias)

Penulis: Dosen/Sekretaris Jurusan FISIP Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *