Keadilan Ekologis untuk Galunggung

Lingkungan40 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Sidang perkara Endang Abdul Malik alias Endang Juta, tengah bergulir di Pengadilan Negeri Bandung. Ia didakwa menambang pasir di kawasan kaki Gunung Galunggung tanpa izin resmi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Jaksa menilai, kegiatan tambang yang dijalankan Endang telah melampaui masa berlaku izin dan dilakukan di luar koordinat lokasi yang disetujui. Dalam praktiknya, hasil tambang dari wilayah tak berizin itu disebut “disalurkan” ke lokasi lain yang memiliki izin, seolah-olah legal. Selain itu, penambangan disebut menimbulkan kerusakan lingkungan di kawasan yang selama ini berfungsi sebagai daerah tangkapan air.

Kasus ini menjadi titik penting bagi publik Tasikmalaya untuk menimbang kembali arah kebijakan pertambangan di sekitar Galunggung—antara kebutuhan ekonomi, kepastian hukum, dan kelestarian lingkungan.

Gunung Galunggung sejatinya bukan sekadar gunung berapi. Ia adalah ekosistem hidup yang menopang ribuan warga di lerengnya. Dari sana mengalir air ke Sungai Cikunir dan Ciwulan, mengairi sawah-sawah, dan menjadi tumpuan sumber daya air bagi Tasikmalaya hingga Ciamis.

Namun dalam dua dekade terakhir, sebagian besar lereng Galunggung berubah wajah. Jalan tanah yang dulu hijau kini dilalui ratusan truk pengangkut pasir. Lubang-lubang tambang dibiarkan terbuka, dan ketika hujan deras, lumpur turun ke pemukiman. Banyak petani mengeluh debit air menurun, dan tanah mereka kehilangan daya serap.

Kegiatan tambang pasir memang menjanjikan ekonomi cepat: lapangan kerja, sewa lahan, dan keuntungan bagi pengusaha. Tapi setelah pasir habis, siapa yang bertanggung jawab menambal luka ekologisnya? Dalam kasus Endang Juta, jaksa menyebut tak ada kegiatan reklamasi yang dilakukan.

Padahal, Pasal 99 UU Minerba tegas mewajibkan setiap pemegang izin untuk melaksanakan reklamasi dan pasca tambang, bahkan sebelum tambang beroperasi, pengusaha wajib menyetor jaminan reklamasi (Jamrek) di bank pemerintah.

HUKUM, IZIN, DAN MORALITAS ALAM

Jika dakwaan terbukti, Endang berpotensi dijatuhi pidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga seratus miliar rupiah. Namun keadilan tidak berhenti pada hukuman badan atau uang. Dalam perspektif keadilan ekologis (ecological justice), pidana seharusnya juga mencakup pemulihan lingkungan.

UU Minerba memberi ruang itu. Pasal 161B menyebut, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa kewajiban melakukan reklamasi atau pasca tambang, serta perampasan alat dan hasil tambang. Bahkan jika pelaku tidak melaksanakan pemulihan, Pasal 98 dan 99 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur bahwa pemerintah dapat melakukan reklamasi paksa dan menagih biayanya kepada pelaku.

Dengan demikian, dalam kasus tambang Galunggung, pengadilan semestinya tidak berhenti pada soal izin yang habis, tetapi juga menilai kerugian ekologis dan sosial akibat eksploitasi tersebut. Keadilan ekologis menuntut agar alam yang dirusak dipulihkan, dan masyarakat yang terdampak diberi hak atas lingkungan yang bersih dan aman.

REKLAMASI SEBAGAI KEADILAN RESTORATIF

Reklamasi tambang bukan sekadar kegiatan teknis menutup lubang dengan tanah. Ia adalah proses keadilan restoratif bagi alam. Dalam banyak kasus, lubang tambang dibiarkan menganga, menjadi kolam air kotor dan sarang penyakit. Padahal, UU mewajibkan pelaku menata kembali lahan, menanam vegetasi, dan memulihkan fungsi hidrologi tanah.

Di sinilah keadilan ekologis bekerja: bukan membalas kerusakan dengan hukuman, tetapi memulihkan keseimbangan. Dalam kasus Galunggung, pemulihan itu bisa diwujudkan dengan revegetasi lereng tambang, penataan drainase air, dan pemberdayaan masyarakat lokal untuk mengelola lahan pasca tambang menjadi hutan rakyat atau wisata konservasi.

Jika hanya penjara yang dijatuhkan, sementara alam tetap rusak, maka hukum gagal menghadirkan keadilan ekologis. Sebaliknya, jika pelaku diwajibkan memulihkan lahan dan menanggung biaya rehabilitasi, maka hukum benar-benar berfungsi untuk menegakkan keadilan bagi bumi.

Kasus Endang Juta harus menjadi momentum bagi pemerintah pusat dan daerah untuk menertibkan seluruh aktivitas tambang di kawasan Galunggung. Data Dinas ESDM Jawa Barat menunjukkan, hanya segelintir perusahaan yang memiliki izin resmi, namun aktivitas lapangan jauh lebih banyak dari daftar tersebut. Pengawasan lemah, koordinasi antar instansi minim, dan masyarakat sekitar tidak dilibatkan.

Reklamasi Galunggung harus ditempatkan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dan keadilan ekologis. Bukan hanya karena undang-undang mewajibkan, tetapi karena masa depan kehidupan di Tasikmalaya bergantung pada daya dukung alamnya. Air, udara, dan tanah tidak punya suara di ruang sidang, maka manusialah yang wajib membelanya.

Keadilan ekologis mengajarkan bahwa kejahatan terhadap alam adalah kejahatan terhadap kehidupan itu sendiri. Maka, jika pengadilan kelak memutus Endang bersalah, keadilan sejati bukan hanya ketika ia dipenjara, tetapi ketika Gunung Galunggung dipulihkan dan kembali bernapas. (Dadih Abdulhadi)

Penulis merupakan Dosen FH Universitas Mayasari Bakti (UMB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *