Glass Ceiling Dalam Pelaksanaan Sistem Merit di Indonesia

Pemerintahan48 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Bukanlah sebuah rahasia umum bahwa budaya patriarki masih melekat dalam ranah kehidupan di Indonesia. Budaya patriarki menjadi salah satu faktor terjadinya ketimpangan gender di Indonesia [1], yang mana tidak selaras dengan poin Sustainable Development Goals poin ke – 5 (gender equality).

Berbagai upaya Pemerintah Indonesia dalam mendorong peran perempuan di masyarakat patut diapresiasi. Adanya Undang – Undang Dasar 1945 28D ayat 3 and 28H ayat 2 menjadi dasar dari adanya persamaan hak bagi setiap orang demi terciptanya keadilan. Tak hanya itu, Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) memberikan nafas baru untuk birokrasi aparatur nasional di Indonesia.

Adanya reformasi membawa perubahan dalam proses perekrutan aparatur sipil negara demi terciptanya aparatur negara yang professional guna menopang pemerintahan yang baik (good governance). Sistem ini sering disebut sebagai sistem merit (open carreer). Prinsip dari sistem ini adalah compentence, qualification, performance, open, dan fairness[2].

Sistem ini diharapkan dapat mencegah adanya senioritas ataupun diskriminasi serta memberikan jabatan yang tepat berdasar atas kompetensi pribadi. Sistem merit sesungguhnya membuka lebar pintu terhadap perempuan untuk mendapatkan jabatan sesuai dengan kompetensinya. Faktanya, hingga 2023, pelaksanaan sistem merit di berbagai daerah baru mencapai 70%, di mana aspek gender menjadi fokus permasalahan [3]. Data Badan Pusat Statistik (2016-2024) menunjukkan bahwa semakin tinggi eselon, semakin rendah jumlah pegawai negeri sipil berjenis kelamin perempuan. Di eselon II, presentase pegawai perempuan bahkan tidak mencapai 15% [4].

Permasalahan mengenai isu gender sudah sepatutnya ditilik lebih lanjut mengingat hal ini menyangkut posisi perempuan dalam ranah politik di Indonesia. Isu gender yang cukup berkaitan erat dengan efektifitas sistem merit adalah fenomena glass ceiling. Fenomena ini berhubungan erat dengan berbagai hambatan yang tak kasat mata (transparan) yang dialami oleh perempuan[5].

Mereka seakan tak mampu melebarkan sayapnya meski memiliki ruang. Meski tak terlihat, jika dikupas lebih dalam, fenomena ini cukup kompleks dan memberikan dampak yang mendalam pelaksanaan sistem merit di Indonesia. Seringkali, kita meyakini bahwa hambatan tersebut berasal dari lingkungan sekitar (eksternal), tetapi lupa dengan fakta bahwa beberapa hambatan tersebut sangat mungkin berasal dari perempuan itu sendiri (internal). Secara teori, fenomena glass ceiling disebabkan oleh 3 faktor utama, yakni faktor internal (diri sendiri), faktor preferensi, dan faktor organisasi [5].

Beberapa penelitian membuktikan bahwa fenomena ini benar adanya. Pertama adalah adalah mengenai kepercayaan diri perempuan (self comfidence). Dalam proses open bidding, pendidikan serta kapabilitas adalah hal yang dipertimbangkan untuk naik jabatan. Banyak kasus di mana pendidikan dan kapabilitas seorang perempuan sudah mumpuni dan promosi jabatan telah diberikan, tetapi perempuan tersebut menolak karena ia merasa bahwa ia tidak sanggup untuk mengemban tanggung jawab yang diberikan. Beberapa dari mereka yang naik jabatan mengundurkan diri hanya dalam hitungan bulan karena masalah performa [6]

Tak dapat dipungkiri bahwa jabatan yang tinggi akan membutuhkan mobilitas tinggi, menyita banyak wanita untuk berkecimpung di dunia kerja [7]. Masalah ini berkaitan erat dengan perempuan yang telah berkeluarga. Mereka kemudian memiliki peran ganda (double roles), di mana mereka harus mengurus pekerjaan dan keluarga di saat bersamaan sehingga membutuhkan keterampilan lebih dalam efisiensi waktu [6]. Dari sinilah kemudian faktor preferensi, peran keluarga dan pasangan, menjadi krusial. Sebuah penelitian dilakukan terhadap sejumlah aparatur negeri sipil wanita tingkat III dan IV di Jawa Barat menunjukkan bahwa peran serta dukungan dari suami dan keluarga adalah faktor terpenting dalam pertumbuhan karier [8]. Sayangnya, tidak semua suami memiliki pandangan yang sama. Beberapa dari mereka beranggapan bahwa posisi wanita yang terlalu tinggi akan menutupi peran mereka sebagai kepala keluarga [6].

Faktor organisasi tak kalah penting dari faktor internal dan preferensi karena organisasi adalah tempat di mana para pekerja dari berbagai latar belakang bekumpul dan berkompetisi satu sama lain memuncaki tangga karier. Sebuah penelitian di Flores Timur menunjukkan bahwa faktor lingkungan (organisasi) adalah salah satu penghambat wanita memuncaki tangga karir. Tak jarang sebuah kesalahan yang dilakukan wanita di tempat kerja akan digunakan sebagai bahan gosip [6]. Di samping itu, cara kerja dari sistem open bidding juga menjadi sorotan. Open bidding adalah merupakan mekanisme formal yang digunakan dalam pengangkatan dan penempatan pegawai negeri sipil pada posisi kepemimpinan yang lebih tinggi melalui rekrutmen terbuka dan pilihan [9]. Skema dari open bidding sendiri adalah pengumuman lowongan jabatan, pendaftaran online, pengumuman seleksi administrasi, pelaksanaan assessment (kompetensi manajerial dan bidang), seleksi wawancara, kemudian diskusi menteri, presiden, dan instansi terkait sebelum pengumuman hasil seleksi [10]. Dalam hal ini, keberhasilan perempuan dalam kemajuan karir kepemimpinan, pada akhirnya berada pada titik tangan siapa pun yang mempunyai kekuasaan tertinggi [8]. Meski begitu, penelitian menunjukkan bahwa open bidding di Bandung memperlebar kesempatan mereka untuk naik

eselon IV ke eselon III [8]. Hal serupa juga ditunjukkan oleh pemerintahan Flores Timur bahwa dalam proses perekrutan, mereka mengedepankan kompetensi dan kapabilitas daripada gender itu sendiri [6]. Dampak dari praktek dari neutralitas gender dalam birokrasi yang sering terabaikan adalah penerimaan perempuan terhadap beberapa nilai maskulin di tempat kerja [11]. Upaya keras sering dikerahkan untuk menembus glass ceiling dalam lingkungan kerja, yang mana sering dikenal dengan istilah hard politics[10]. Tak jarang hard politics ini kemudian melahirkan fenomena queen bee. Fenomena ini terjadi ketika pemimpin perempuan memiliki perilaku maskulin dan berasimilasi dengan budaya laki-laki atau patriarki, kemudian tanpa ampun menindas rekan kerja wanitanya dan agresif dalam memerintah. Dengan kata lain, pemimpin perempuan yang anti-perempuan [12].

Meski tampak simpel, glass ceiling merupakan masalah krusial dalam pelaksanaan sistem merit. Kategori yang sebaiknya masuk dalam pembenahan adalah self development, collaboration, social roles, balance, social support, dan performance [13]. Self – development serta performance berhubungan dengan faktor internal perempuan itu sendiri. Dalam hal ini, perempuan sebaiknya memiliki kemauan untuk mengenyam pendidikan dan memiliki rasa percaya diri terhadap kapabilitas yang dimilikinya. Kedua hal ini sudah sepantasnya dimiliki dalam waktu yang sama, mengingat beberapa kasus tentang banyaknya perempuan yang menolak kursi jabatan karena kurangnya rasa percaya diri meski mereka sebenarnya mempuni untuk mengemban tugas tersebut. Performance berhubungan erat dengan performa yang diberikan oleh perempuan terhadap tugas yang diemban.

Collaboration, social roles, balance, social support, dan performance adalah hal-hal yang berkaitan dengan faktor preferensi dan eksternal. Double roles bukanlah hal yang mudah dan cukup sulit untuk dihindari bagi sebagian perempuan, tetapi masalah ini sebenarnya dapat teratasi dengan adanya lingkungan keluarga dan pasangan yang suportif (social support). Penting bagi keluarga serta pasangan (suami) untuk memiliki kesadaran untuk berbagi tanggung jawab dalam mengurus keluarga (rumah) serta memberi dukungan kepada istri yang bekerja. Social support tidak hanya berasal dari keluarga, tetapi juga dari lingkungan kerja.

Arahan dan masukan yang baik diberikan kepada pekerja yang mengalami kesulitan, bukan digunakan untuk bahan gosip. Selanjutnya, perempuan yang menerima maskulinitas dalam dunia kerja, tidak sepantasnya merendahkan ataupun menjadi anti perempuan. Sebaliknya, menerima maskulinitas sebaiknya diartikan bahwa perempuan mampu bekerja sama dan membuktikan kompetensinya terhadap pria. Pemimpin wanita sudah selayaknya bisa merangkul dan memberikan arahan terhadap sesama wanita yang bekerja dalam lingkup yang sama.

Di samping itu, untuk meningkatkan performance, organisasi dapat memberikan apresiasi terhadap hasil kerja yang baik. Selain itu, balance sebaiknya diusahakan oleh pihak organisasi, di mana sebaiknya menyediakan jadwal yang fleksibel serta memberikan fasilitas yang memadai. Collaboration dan social roles erat kaitannya dengan hubungan perempuan dengan kultur yang ada dalam organisasi. Dengan lingkup kerja yang nyaman dan menyambut kedatangan mereka, perempuan menjadi lebih percaya diri dan mampu untuk mengembangkan jejaring sosial serta berbagi pengalaman yang kemudian dapat mendukung kategori self – development.

Glass ceiling, kumpulan masalah kecil tak terlihat oleh perempuan, dapat menjadi masalah krusial dalam pelaksanaan sistem merit yang bertujuan mengeliminasi diskriminasi di Indonesia dan merekrut ASN sesuai dengan kompetensi. Maka dari itu, sudah sepantasnya, faktor internal, preferensi, dan eksternal, harus dibenahi untuk menepis fenomena glass ceiling, guna kelancaran sistem merit di Indonesia. Dengan begitu, perempuan mampu mendapatkan kursi dan porsi yang pantas dalam birokrasi Indonesia. (Adeline Setawijaya)

Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Program Teknik Kimia Joint Degree Program dari Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan National Taiwan University of Science and Technology

Penulis merupakan pemenang 10 besar lomba esai antar mahasiswa tingkat nasional tahun 2025 yang diselenggarakan UPA Perpustakaan Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *