RADAR TASIKMALAYA – Dunia kerja sedang berada di titik perubahan besar. Pola kerja konvensional yang mengandalkan kontrak tetap, rutinitas kantor dan jalur karier linear perlahan mulai bergeser.
Kini, semakin banyak individu, terutama dari generasi muda, yang memilih jalur alternatif: bekerja secara fleksibel, berbasis proyek, dan memanfaatkan teknologi digital. Inilah yang dikenal sebagai gig economy.
Istilah gig economy mengacu pada ekosistem kerja berbasis proyek jangka pendek, di mana para pekerja tidak lagi terikat sebagai karyawan tetap, melainkan sebagai mitra, freelancer, atau individu independen. Model ini telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, berkat kemajuan teknologi, munculnya platform digital, serta perubahan gaya hidup masyarakat global.
Platform seperti Upwork, Fiverr, Grab, GoJek, dan bahkan media sosial seperti TikTok dan Instagram telah membuka peluang kerja baru bagi siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Generasi Z, yakni generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, tumbuh dalam era teknologi digital dan internet. Mereka disebut sebagai digital natives, generasi yang sangat akrab dengan media sosial, perangkat pintar, dan platform daring.
Dalam konteks dunia kerja, Gen Z menunjukkan kecenderungan yang berbeda dibanding generasi sebelumnya. Mereka lebih terbuka pada fleksibilitas waktu, nilai kebebasan individu, dan pekerjaan yang sesuai dengan passion. Tak heran jika gig economy menjadi sangat menarik bagi mereka.
Namun, di balik segala kemudahan dan fleksibilitas yang ditawarkan, gig economy menyimpan tantangan besar. Salah satunya adalah ketidakpastian pendapatan. Berbeda dengan pekerjaan tetap yang memberikan gaji bulanan, pekerja di gig economy hanya dibayar berdasarkan jumlah proyek yang berhasil diselesaikan. Ini menciptakan risiko finansial yang tinggi, terutama ketika proyek tidak tersedia secara konsisten.
Selain itu, pekerja gig sering kali tidak mendapat perlindungan hukum dan sosial yang memadai. Tidak ada jaminan kesehatan, asuransi ketenagakerjaan, atau dana pensiun. Mereka juga lebih rentan terhadap eksploitasi karena minimnya regulasi dan posisi tawar yang lemah terhadap pemberi kerja atau platform digital.
Sebuah studi global yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) mencatat bahwa meskipun pekerjaan gig tumbuh secara signifikan, banyak pekerja digital di berbagai negara yang mengeluhkan jam kerja panjang, tekanan kerja tinggi, dan kurangnya kejelasan kontraktual. Bahkan, beberapa platform tidak memberikan transparansi terkait sistem pembayaran dan penilaian kinerja, sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakstabilan psikologis.
Selain persoalan struktural, gig economy juga menuntut keterampilan dan etos kerja yang berbeda. Seorang pekerja gig tidak hanya harus memiliki keahlian teknis, tetapi juga kemampuan mengelola waktu, merancang portofolio digital, serta membangun reputasi dan jejaring profesional secara mandiri. Tanpa keterampilan ini, sulit bagi seseorang untuk bertahan dalam ekosistem kerja yang sangat kompetitif dan dinamis.
Di sisi lain, gig economy juga membuka pintu inklusi ekonomi bagi kelompok yang selama ini terpinggirkan dari pasar kerja formal. Misalnya, perempuan yang ingin bekerja dari rumah, individu dengan disabilitas, atau masyarakat di wilayah terpencil yang sulit mengakses lapangan kerja konvensional. Dalam konteks ini, gig economy bisa menjadi alat pemberdayaan ekonomi yang kuat, selama didukung dengan regulasi yang adil dan pelatihan yang memadai.
Secara global, beberapa negara mulai mengambil langkah untuk mengatur dan melindungi para pekerja gig. Uni Eropa, misalnya, telah mengusulkan undang-undang baru untuk memastikan pekerja platform mendapatkan hak-hak dasar seperti upah minimum dan perlindungan sosial.
Di Amerika Serikat, beberapa negara bagian seperti California telah meloloskan regulasi yang mewajibkan perusahaan platform untuk memperlakukan pekerja lepas sebagai karyawan tetap dalam kondisi tertentu.
Namun, tantangan utama tetap pada kesiapan generasi muda itu sendiri. Gen Z harus menyadari bahwa menjadi bagian dari gig economy tidak sekadar mengikuti tren atau gaya hidup fleksibel. Mereka perlu membangun kesadaran finansial, memahami hak-hak dasar pekerja, dan memperkuat kapasitas diri agar mampu bertahan dalam dunia kerja yang semakin cair.
Pendidikan, baik formal maupun informal, memegang peran penting dalam hal ini. Kurikulum yang responsif terhadap perubahan dunia kerja, pelatihan kewirausahaan digital, serta literasi finansial dan hukum menjadi kebutuhan mendesak di berbagai negara.
Tanpa itu, generasi muda hanya akan menjadi pengguna teknologi, bukan aktor strategis dalam ekosistem kerja digital global. Lebih dari sekadar adaptasi, yang dibutuhkan saat ini adalah transformasi cara pandang terhadap dunia kerja. Generasi Z tidak cukup hanya menjadi konsumen peluang, tetapi juga perlu menjadi pencipta ruang kerja yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Mereka adalah generasi yang memiliki akses pada pengetahuan global, teknologi canggih, dan jejaring luas. Potensi ini harus diarahkan untuk menciptakan masa depan dunia kerja yang bukan hanya fleksibel, tetapi juga manusiawi.
Gig economy memang menawarkan kebebasan dan kesempatan. Namun, seperti dua sisi mata uang, ia juga membawa risiko dan ketidakpastian. Pertanyaan akhirnya bukan sekadar apakah Gen Z siap menghadapi gig economy, tetapi bagaimana dunia termasuk pemerintah, sektor swasta, dan institusi pendidikan dapat bersama-sama menciptakan sistem yang melindungi dan memberdayakan generasi muda di tengah arus perubahan ini. (Monika Sutarsa SAk MM)
Penulis merupakan Dosen Program Studi Manajemen Universitas Siliwangi