Citra Politik Presiden Indonesia di Penghujung Kekuasaannya

Politik149 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Realita politik negeri kita ini memang unik, di mana di tengah-tengah rakyat muncul pemimpin yang awalnya dielu-elukan secara heroik bak pahlawan dan berbondong-bondong mengangkat sebagai pemimpin (baca ; presiden), namun berakhir dengan cacat politik, kalau tidak dikatakan dicampakkan. Kita mengangkat mereka dengan optimistis, tetapi di penghujung kekuasaan atau bahkan di “tengah jalan” pemerintahannya dianggap sebagai rezim yang zalim atau bermasalah.

Rezim Soekarno misalnya, ketika diangkat sebagai presiden rakyat rame-rame mendukungnya sebagai pemimpin penyelamat dan pejuang kemerdekaan. Namun di penghujung kekuasaannya, Soekarno sama sekali tidak dilirik oleh sebagian besar rakyat Indonesia, bahkan dalam beberapa catatan sejarah, kematiannya mengandung banyak misteri dan tidak banyak orang yang tahu. Lebih ekstrem lagi beliau dianggap terlibat dengan Gerakan 30 S PKI tahun 1965. Begitu pula dengan Soeharto yang di elu-elu kan ketika detik-detik pengangkatan dan dianggap sebagai penyelamat Pancasila dari gerakan kudeta PKI, namun su’ul khatimah (berakhir tragis) di penghujung kekuasaannya dengan dilekatkannya berbagai atribut pemimpin otoriter dan hegemonik.

Tidak jauh berbeda dengan pendahulunya Habibie yang bahkan lebih tragis lagi, beliau mendapatkan limpahan kekuasaan yang secara tidak sengaja dari kejatuhan Soeharto, mendapat beban dalam membangun negara karena rakyat sudah terlanjur mengeneralisir dirinya sama dengan Soeharto. Penguasa ini pun dicerca habis-habisan sebagai biangkerok lepasnya Timor- Timur dari Indonesia.

Selanjutnya Gus Dur diangkat secara legitimate lewat “drama permainan” Poros Tengah, namun tidak lama berselang beliau dijatuhkan kembali oleh pihak-pihak yang dahulu mendukungnya, bahkan dilekatkan kepadanya berbagai kasus seperti Bullogate dan pemimpin yang otoriter (saat itu Gus Dur mengeluarkan Dekrit untuk mengcounter MPR yang akan menurunkannya). Lalu Megawati mendapat limpahan haknya sebagai presiden pasca jatuhnya Gus Dur, dan berakhir dengan banyak cercaan, bahkan dianggap sebagai biangkerok lepasnya asset tak terkira harganya, pulau Blok Ambalat.

Begitu pula dengan SBY yang terpilih sangat legitimate dari hasil pemilihan langsung pertama. Dalam perjalanan kepemimpinannya penuh dengan tantangan, tidak hanya tantangan akan keterpurukan negara ini saja, tetapi resistensi yang begitu besar sejak penghujung pemerintahannya yang pertama.

Di masanya kritik keras terhadap rezim dibebaskan, keterbukaan dapat dikatakan mencapai puncak karena masyarakat bebas mengkritik rezim saat itu. Walaupun tidak se-tragis pendahulunya, sebagian rekan politiknya di Demokrat dan masyarakat menganggap SBY mewujudkan dinasti politik di Demokrat.

Dalam konteks dinasti politik, Jokowi lebih parah lagi dianggap melanggengkan politik dinasti dengan berbagai upaya lewat menggolkan anak-anaknya jadi penguasa lokal, nasional dan elit partai di tambah dugaan rekayasa aturan Pemilu dan rekayasa politik lainnya lewat birokrasi dan pemilu.

Sehingga dianggap wajar jika banyak masyarakat yang memiliki kebencian dan dendam politik terhadap Jokowi. Salah satunya lewat “dicampakkannya” Jokowi lewat kasus dugaan izasah palsu yang menggegarkan dunia Pendidikan Indonesia dan melibatkan institusi bergengsi sekelas UGM. Yang paling parah dia dinobatkan masuk nominasi pemimpin terkorup dalam Lembaga pemeringkatan internasional dalam persoalan korupsi di penghubung tahun 2024 silam.

Dalam narasi di atas, rakyat dengan mudahnya terbuai oleh kehebatan dan kebaikan pemimpin di masa awal pengangkatan, tetapi giliran pemimpin tersebut membuat kesalahan dengan mudah pula sang pemimpin dijadikan biang kerok, seolah-olah semua kehancuran yang terjadi pemimpin tersebut yang melakukannya. Semua kebaikannya lenyap tak berbekas walau hanya kesalahan yang tidak seimbang dengan kebaikannya. Dalam model ini masyarakat cenderung menggeneralisasi persoalan yang belum tentu terjadi sebenarnya.

Apa yang salah sebenarnya dari pola yang terbentuk saat ini?. Sebagai model demokrasi plural dalam membentuk kondisi ruang publik (public sphere) jelas tidak ada yang salah. Namun jika kita menginginkan negara ini mengalami kemajuan, kita perlu mengembangkan model komunikasi dua arah dan model common work. Istilah ini saya gunakan untuk membayangkan politik Indonesia yang saling padu-memadu antara pemerintah dengan semua elemen masyarakat. 

Harus Bagaimana?

Untuk dapat berpadu, perlu langkah-langkah yang ditempuh oleh keduanya, bagi pemerintah harus mampu membangkitkan kepercayaan masyarakat dengan memiliki integritas kepemimpinan nasional yang  tinggi, indenpendensi dan harga diri di dunia internasional yang  tidak dapat didikte oleh siapa pun dan negara mana pun. Cibiran-cibiran saat ini justru sering dialamatkan pada lemahnya pemerintahan di masa Jokowi yang cenderung ke “China-Cinaan”.

Satu hal lagi yang bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap rezim ini adalah kebijakan yang populis yakni kebijakan yang memprioritaskan pada golongan menengah ke bawah tidak seperti selama ini cenderung pro pemodal semata. Pemerintah harus memperhatikan kepentingan golongan mayoritas di negeri ini jika pemerintahan ingin kuat, jangan hanya memikirkan rente semata.

Di pihak lain masyarakat pun perlu ada perbaikan cara pandang berpolitik yang cenderung menjurus ke politik sehat dan fair. Elemen masyarakat seperti kampus, NGO, Ormas, pers dan lainnya jangan sampai menempatkan rezim sebagai musuh. Tetapi menempatkannya sebagai pengelola kebijakan yang perlu dikritik, jika memang pemerintahan tersebut masih bisa diperbaiki. Jangan sampai kita menempatkan pemimpin sebagai musuh yang  tanpa alasan kuat harus dilawan. Isu-isu yang diusung dalam banyak aksi pun, terutama di era SBY, dan Jokowi cukup miris yakni mengkerucut pada penumbangan (pemakzulan) rezim tanpa paham betul dan alasan kuat secara konstitusi mengapa harus mengambil jalan tersebut.

Isu-isu yang berkembang pun cenderung kepada isu-isu aneh yang kurang substansial dalam konteks memperbaiki negara semisal pendudukan istana, aksi kepung istana, kepung Jakarta dan lain sebagainya seperti yang berkembang di masa rezim SBY saat itu. Seolah-olah mereka ini problem solver yang paling tahu solusi memperbaiki negara. Padahal mereka sendiri pun aktor-aktor yang dianggap pernah gagal memimpin dan mengelola negeri ini. Mereka semua menganggap SBY sebagai biang kerok kegagalan saat itu.

Ke depannya Pemerintahan Prabowo jika di perjalanan waktu nanti mendapatkan resistensi besar dari elemen masyarakat janganlah cengeng. Integritas kepemimpinan nasional yang kuat harus ditunjukkan. Kritik yang bertubi-tubi dari rakyat dijadikan sebagai obat dan jadikan para pengkritik sebagai timwork dalam memperbaiki bangsa dan negara ini sebenarnya merupakan solusi yang akurat untuk politik saat ini.

Pemerintah perlu memperbaiki komunikasi politik terhadap rakyatnya, ketegaran, kecepatan dalam bertindak dan ketepatan dalam menyelesaikan masalah bangsa. Prabowo harus menjadikan legitimasinya yang kuat saat dipilih sekitar 58 persen sebagai frame dalam memahami dukungan konstituen. Maka setelah terpilih estimasi tersebut harus dibalik menjadi  hanya 42 persen saja atau bahkan kurang yang pro dengannya.

Hal ini penting sebagai frame berpikir seorang penguasa supaya tahan dari berbagai kritik dan tidak jumawa dan menyerap kritik sebagai output kebijakan ke depan. Semoga Indonesia tambah jaya. (Subhan Agung MA)

Penulis merupakan Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *