RADAR TASIKMALAYA – Cindy Adams, seorang reporter berita gosip di beberapa media, CBS news, The New York Post dan North American Newspapers Allian terlihat begitu dekat dengan Soekarno. Cindy Adams meluluhkan hati Soekarno untuk mau berbicara kepada media asing bahkan mengiyakan untuk ditulis biografinya. Terbitlah buku “Bung Karno : Penyambung Lidah rakyat” karya Cindy Adams. Penulisan biografi itu dari tahun 1961 dan selesai tahun 1964 dan terbit pada awal September tahun 1965 tepat sebulan sebelum peristiwa penculikan tujuh jenderal.
Cindy Adams sejatinya reporter gosip tapi oleh kantornya dia ditunjuk dengan misi utama mewawancarai Soekarno dan Menyusun biografinya. Entah apa yang melatar-belakangi seorang wartawan gosip dipercaya mendekati orang nomor satu di Republik Indonesia dengan topik politik berat, mungkinkah mereka mempelajari bahwa seorang Soekarno adalah sosok pengagum Perempuan cantik dan hatinya akan luluh bila yang meminta adalah Perempuan cantik, entahlah. Ada laporan bahwa kedekatan sang presiden dan sang reporter itu sebenarnya kebetulan belaka, Joey Adams suami Cindy Adams adalah seorang pelawak Amerika yang pada tahun itu sedang manggung dalam melaksanakan misi kesenian Amerika di negara negara Asia Tenggara. Cindy Adams menemani suaminya lantas ada perintah untuk “mendekati” Soekarno.
Tahun 1966 hampir satu tahun setelah peristiwa penculikan tujuh jenderal Cindy Adams Kembali mewawancarai Soekarno. Topik wawancara kali ini sangat serius menyangkut nasib dan akhir dari kekuasaan Soekarno. Cindy Adams secara terang-terangan mempertanyakan kekhawatirannya tentang gelagat Soeharto setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang diduga sedang melakukan pengambilalihan kekuasaan secara perlahan. “saya masih berkuasa penuh” itulah akhir dari jawaban Soekarno yang retoris menjawab pertanyaan Cindy Adams.
Soekarno pada akhirnya berusaha meyakinkan Cindy Adams bahwa kekuasaan dan kewenangan sebagai Presiden Republik Indonesia secara penuh masih ada ditangannya. Soekarno menjelaskan bahwa surat perintah perintah Sebelas Maret atau Supersemar adalah perintah dirinya kepada Soeharto untuk mengendalikan keamanan pasca peristiwa penculikan tujuh Jenderal dalam Gerakan 30 September yang pada waktu itu tuduhannya mengarah pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Di sesi wawancara itu, pada akhirnya Soekarno mengakui ada semacam penyalahgunaan Supersemar dan kesalahan dalam melakukan tindakan oleh Soeharto atas perintah Sebelas Maret itu. Supersemar bukanlah semacam surat transfer of authority atau pengambil-alihan kekuasaan tetapi surat perintah untuk menjaga keamanan Indonesia. Soekarno pada akhirnya berkata pada Cindy Adams bahwa Soeharto bertindak di luar batas dengan menyalahgunakan Supersemar.
Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam menyebut banyak indikasi di bulan Maret 1966 secara bertahap dan sistematis melakukan upaya kudeta merangkak. Manuver pertama adalah menarget partai komunis Indonesia, kader, simpatisan dan organisasi underbow PKI yang memang dituduh sebagai dalang penculikan tujuh jenderal. PKI memang partai besar pada waktu itu, dan secara politik ada semacam simbiosis mutualisme politik, saling kebergantungan antara Soekarno dan PKI, di samping juga membangun aliansi dengan kelompok Islam dan kemudian dirumuskanlah Konsep Nasakom (Nasionalis, Islam dan Komunis) sebagai aliansi ideologi demi memperkuat kekuasaan Soekarno. Maka kalau PKI digembosi, dihancurkan maka secara tidak langsung kekuatan politik Soekarno juga tergembosi.
Tindakan-tindakan yang kemudian diistilahkan dengan “kudeta merangkak” dari rentetan manuver militer pasca Soeharto menerima Supersemar adalah pembubaran PKI, penangkapan 15 Menteri pendukung Soekarno karena dituduh terlibat penculikan tujuh jenderal, menarik pasukan pengawal Presiden Tjakrabirawa dan mengontrol media massa. Inilah proses dari sebuah klimaks di mana ditolaknya pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang bertajuk “Nawaksara” oleh MPRS yang diketuai Jenderal AH. Nasution. Sidang MPRS yang kemudian membuat beberapa ketetapan di antaranya pembentukan Kabinet Ampera di bawah Soeharto yang menggantikan Kabinet Dwikora, dicabutnya jabatan presiden seumur hidup dan pemegang Supersemar bisa menggantikan presiden bila berhalangan. Berakhirnya kekuasaan Soekarno adalah upaya sistematis dan bertahap. Satu persatu penopang kekuasaan Soekarno dipreteli.
Setiap bulan September tanggal 30 menjelang 1 Oktober dini hari sejak orde baru memerintah menjadi “ritual” menayangkan film G30S PKI, sebuah film yang dibuat berdasarkan sejarah yang disusun orde baru. Sejarah pada satu konteks tertentu adalah narasi yang tidak bebas nilai. Sejarah bisa memiliki pesan berdasar keinginan yang tidak bisa dipisahkan dari kepentingan penguasa. Film Pengkhianatan G30 S PKI menggambarkan tragedi keji penculikan tujuh jenderal, gagalnya pengambil-alihan kekuasaan oleh Gerakan 30 September, pengungkapan dalang penculikan, penumpasannya dan lahirnya sosok “heroik” yang secara taktis kurang dari satu hari menggagalkan aksi tersebut. Pesan dalam film itu tertanam kuat sehingga melupakan peristiwa lanjutan yakni terjadinya peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Peralihan kekuasaan ini adalah peristiwa dan sejarah politik besar yang hampir dilupakan, terpinggir dari kengerian penculikan tujuh jenderal. Bahkan peralihan kekuasaan ini bisa menjadi dasar analisis dan menjawab siapa sebetulnya aktor intelektual dibalik peristiwa Gerakan 30 September tersebut. Setidaknya ada beberapa versi analisis yang melatarbelakangi terjadinya Gerakan 30 September.
Benedict Anderson sejarawan, ilmuwan politik Indonesianis dan Ruth Mcvey mengatakan bahwa konflik internal Angkatan darat adalah menjadi pemicu. Konflik yang memunculkan dua faksi, faksi Ahmad Yani yang pro Soekarno tetapi menentang kebijakan yang pro PKI dan faksi Nasution dan Soeharto yang kontra terhadap faksi Ahmad Yani yang Soekarnois.
Versi selanjutnya adalah keterlibatan Amerika dan CIA. Teori ini disusun oleh Peter Dale Scott dan Geoffrey Robinson. Teori berdasarkan ketakutan Amerika bahwa Indonesia akan jatuh menjadi negara komunis di tengah kuatnya PKI dan dekatnya Soekarno dengan para petinggi PKI sehingga CIA melakukan operasinya dengan mendekati dan membiayai beberapa perwira Angkatan darat untuk menghancurkan PKI dan melengserkan Soekarno.
Anthonie C. Dake dan Jhon Huges Menyusun teori bahwa Soekarno adalah dalang penculikan tersebut, teori ini disusun berdasarkan adanya rivalitas Soekarno dan beberapa perwira Angkatan darat sehingga Soekarno membuat Gerakan yang melenyapkan kelompok di tubuh Angkatan darat yang dianggap oposisi yang membahayakan revolusi.
Buku Tragedi Nasional: Percobaan Kup G30 S PKI di Indonesia tahun 1968 yang disusun oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh menuduh bahwa PKI memang dalang Tunggal. Ini didasarkan atas rivalitasnya dengan Angkatan darat yang dianggap menghalangi program-program revolusioner mereka, misalnya pembentukan Angkatan kelima yang mempersenjati buruh dan petani. Gagasan ini ditentang habis-habisan oleh militer khususnya Angkatan darat.
Sejarah tersebut memang tidak pernah disusun dengan penilaian objektif. Kita hanya bisa menganalisis dari berbagai versi dan teori yang muncul setelahnya. Setidaknya munculnya beberapa versi dan teori memberikan indikasi bahwa tidak ada validasi kuat terhadap sejarah peristiwa itu yang selama ini hanya digambarkan dalam sebuah film. Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto bisa dimaknai dengan pertanyaan satire, “siapa yang pada akhirnya berkuasa dan menikmati kekuasaan setelah tragedi malam jahanam tersebut?”. (Rino Sundawa Putra SIP MSi)
Penulis adalah dosen FISIP Universitas Siliwangi (Unsil)