Beranikah Menerima Keberagaman di Tengah Kultus Keseragaman?

Pendidikan37 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Istilah pendidikan inklusif, sebuah model yang mengintegrasikan peserta didik dengan keberagaman potensi maupun kondisi, kini semakin sering muncul dalam berbagai diskursus yang berkembang di Indonesia.

Meskipun Indonesia memiliki kerangka regulasi yang mendukung pendidikan inklusif, kesenjangan yang signifikan tetap ada antara kebijakan dan implementasinya. Jurang ini muncul karena masyarakat cenderung memiliki pandangan ‘selektif’, yaitu mengidealkan kelas yang homogen/ seragam – hanya diisi oleh anak-anak tipikal tanpa kehadiran anak berkebutukan khusus (ABK) dan berorientasi pada prestasi akademik.

Hal ini didukung oleh sistem pendidikan yang cenderung ‘eksklusif’, ditandai dengan kurikulum dan asesmen yang kaku dan tidak adaptif, keterbatasan infrastruktur, serta rendahnya kompetensi pedagogi inklusif. Selain itu, ABK masih kerap dipandang sebelah mata atau ‘urusan sekolah khusus’, padahal masyarakat Indonesia yang dikenal majemuk, toleran, dan gotong royong seharusnya memiliki dasar kuat untuk mewujudkan pendidikan inklusif.

Tulisan ini mencoba melihat inklusi sebagai kerja bersama yang mungkin diwujudkan ketika kita melunakkan kebiasaan menganggap ‘normal’ itu harus ‘seragam’, membuka sistem dan aturan main agar ramah keberagaman, serta menguatkan jejaring kepercayaan dan kerjasama antara sekolah dan orangtua, dibarengi apresiasi publik dan narasi positif agar praktik inklusi memiliki dukungan luas.

Apa itu Pendidikan inklusif? Konsep pendidikan inklusif menegaskan bahwa setiap anak – siapapun mereka, baik yang hidup dengan disabilitas, berasal dari latar budaya berbeda, maupun memiliki keragaman cara berpikir dan belajar seperti autisme, ADHD, disleksia, atau gifted – berhak memperoleh pengalaman belajar yang setara dan bermakna. Lebih dari sekadar kebijakan teknis, inklusi adalah gerakan moral yang menumbuhkan empati dan solidaritas karena sejatinya perbedaan bukan alasan untuk memisahkan, melainkan peluang untuk saling memahami dan belajar bersama.

Di ruang kelas inklusif, anak-anak belajar melihat dunia dari berbagai sudut pandang, membangun rasa saling menghormati, dan pada akhirnya saling memanusiakan.

Secara historis, akar pemikiran ini berangkat dari penolakan terhadap praktik pendidikan segregatif, yakni memisahkan anak tipikal dan ABK pada ruang kelas yang berbeda. Pemisahan ini dianggap mencederai konsep kesetaraan dalam pendidikan sekaligus mengurangi kesempatan menumbuhkan nilai-nilai moral di lingkungan sekolah.

Gagasan yang diprakarsai oleh negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia pada tahun 1960-an ini kemudian menguat menjadi gerakan global “Education for All” melalui Konferensi Dunia di Jomtien (1990) dan ditegaskan kembali dalam Deklarasi Salamanca (1994).

Berbagai negara kemudian mempraktikkan integrasi ini sebagai budaya pendidikan: Italia telah lebih dulu menutup sekolah segregatif sejak 1977 dan mengintegrasikan siswa disabilitas ke kelas reguler; Finlandia mengembangkan sistem dukungan bertahap bagi semua siswa tanpa pemisahan berdasarkan kemampuan atau kondisi.

Mengapa relevan bagi Indonesia? Sebagai masyarakat majemuk, Indonesia sesungguhnya memiliki fondasi sosial yang kuat untuk menumbuhkan inklusi. Nilai gotong royong, toleransi, dan kebersamaan yang telah lama menjadi identitas bangsa merupakan bekal untuk mengembangkan model pendidikan inklusif yang berakar pada kearifan lokal dan praktik hidup berdampingan dalam perbedaan.

Dengan kata lain, inklusi bukan merupakan konsep ‘impor’, melainkan cermin karakter kebangsaan yang menghargai keberagaman. Upaya kebijakan juga telah bergerak ke arah yang tepat. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 membuka jalan penerapan pendidikan inklusif.

Permendikbudristek No. 48 Tahun 2023 bahkan mewajibkan semua sekolah formal menyediakan akomodasi yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas, mulai sarana prasarana, pendanaan, hingga penyesuaian kurikulum. Namun praktik di lapangan masih jauh dari harapan. Di sejumlah daerah, jumlah sekolah yang benar-benar menyelenggarakan inklusi masih sangat terbatas. Hanya 10% dari total seluruh sekolah di Indonesia yang mendeklarasikan sebagai sekolah inklusi, dan pada praktiknya masih jauh dari memadai. Narasi di masyarakat juga kerap mendorong ABK diarahkan ke sekolah segregatif.

Mengapa jurang antara regulasi dan praktik ini begitu lebar? Jika dilihat dengan kacamata sosiologis, sistem pendidikan Indonesia masih didominasi oleh kebiasaan selektif yakni pandangan kolektif bahwa ‘sekolah bagus’ adalah yang sekolah yang hanya diisi oleh murid ‘normal’ yang berarti seragam dan berorientasi kuat pada prestasi akademik.

Maka, murid ‘ideal’ pun dipersempit menjadi mereka yang jago matematika, sains, bahasa, dan hebat dalam capaian akademik semata. Kebiasaan ini membuat kebijakan inklusif bertabrakan langsung dengan praktik lama, dimana guru belum terbiasa dengan pembelajaran terdiferensiasi, sekolah khawatir reputasi turun, orang tua takut keberagaman mengganggu proses belajar, sehingga pemisahan tampak sebagai solusi termudah.

Selama indikator keberhasilan belajar masih bertumpu pada standar ini, maka kebijakan inklusi akan terus berhadapan dengan arus balik praktik sehari-hari.

Lalu harus bagaimana? Perubahan mendasar perlu dimulai dari level makna, dengan menata ulang diksi ‘normal’ dan ‘ideal’. Normal tidak identik dengan seragam, ideal tidak semata-mata menjadi juara. Dalam paradigma inklusif, yang disebut ‘normal’ adalah beragam, dan ‘ideal’ berarti beretika.

Prinsip ini menciptakan ruang kelas yang merangkul ritme belajar siswa yang berbeda, menolak perundungan, dan mengikat warganya pada norma-norma kemanusiaan. Pergeseran makna ini menuntut perubahan filosofi pendidikan dari kompetensi menuju formasi karakter. Kompetensi tetap penting, tetapi tanpa etika, empati, dan tanggung jawab sosial, sekolah hanya menghasilkan ketimpangan yang lebih rapi. Karenanya, ukuran mutu perlu menggabungkan capaian akademik dengan iklim sosial dan emosional.

Transformasi makna itu perlu dimulai dari rumah. Orang tua menjadi teladan lewat bahasa yang menghormati bukan memberikan label merendahkan. Mereka menegaskan pada anak bahwa menjadi ‘ideal’ itu bukan hanya pintar tapi juga baik pada semua teman tanpa membedakan, mau menerima dan membantu teman yang berbeda, bukan malah mengejek, dan berani mengatakan ‘tidak’ pada perundungan.

Di sisi sekolah, guru dan pimpinan membuka ruang kolaborasi orang tua dan guru, menyusun penyesuaian pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembentukan karakter peserta didik, variasi cara mengajar dan menilai, peningkatan kompetensi pedagogis inklusif, membangun budaya anti-bullying yang tegas, dan mengaktifkan dukungan teman sebaya dengan panduan etika yang jelas.

Di luar pagar sekolah, narasi publik ikut membentuk arah kebiasaan. Media lokal, tokoh masyarakat, dan ruang keagamaan ikut mengubah arus makna. Redaksi memilih bahasa yang memuliakan, mengangkat praktik baik mengenai pendidikan yang ‘menyesuaikan’ bukan ‘memisahkan’ supaya inklusivitas memperoleh dukungan luas dan berkelanjutan.

Akhirnya, inklusi menguji keberanian kita menjawab judul tulisan ini: beranikah menerima keberagaman saat masyarakat masih memihak keseragaman? Ukuran mutu apa yang berani kita ubah lebih dulu, dari sekadar capaian angka menjadi kerangka etika? Suara siapa yang akan kita minta menggeser opini? Pendidik, media lokal, influencer, tokoh masyarakat, atau mimbar keagamaan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan apakah inklusi hanya sekedar ilusi, atau benar-benar menjadi praktik yang menumbuhkan kecerdasan sekaligus keadaban. (Arini Nurul Hidayati)

Penulis merupakan Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Unsil. Saat ini penulis sedang menempuh studi doktoral di School of Education, College of Arts, Humanities, and Celtic Studies, University of Galway, Irlandia.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *