RADAR TASIKMALAYA – Tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik relatif kurang sehat. Namun mayoritas masih setia merawat harapannya, angan-angannya tentang partai yang mampu menghasilkan kadernya yang hebat, mampu betul-betul menyelesaikan berbagai persoalan, walaupun tidak bisa dipungkiri, ada juga sekelompok masyarakat yang luntur kepercayaanya. Ini timbal balik dari sebagian perilaku para politisi sendiri, ada yang tidak amanah. Ingkar janji dan sekian tingkah negatif yang memancing antipati.
Salah satu alasan penyebab kepercayaan publik terhadap partai politik rendah, yakni korupsi. Publik menganggap elite-elite partai selalu berkaitan dengan sejumlah kasus yang berakhir di ruang pengadilan dan meringkuk di penjara.
Menurut Burhanudin, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik menurun dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, pada awal masa reformasi, tingkat kepercayaan publik cukup tinggi. (CNN Indonesia)
Bahwa perilaku para politisi yang kemudian terpilih jadi legislatif atau eksekutif yang tidak amanah dan kemudian ditangkap KPK. Ada juga yang melupakan janjinya saat kampanye kepada pendukungnya. Hal itu telah membuat sebagian masyarakat kecewa dan frustrasi membuahkan lunturnya kepercayaan. Berakibat pula pada menguatnya sikap tidak antusias dan apatis terhadap pemilu.
Di Kota Tasikmalaya sikap apatis ini ditandai dengan adanya tulisan pada spanduk beberapa tahun silam yang dibentang di Jalan HZ Mustofa. Bunyi tulisan tersebut, ”Pemilu Bagi Rakyat Tidak Penting-Penting Amat”, yang diterbitkan oleh Partai Nurul Sembako (PNS). Walaupun itu tidak bisa dijadikan indikator adanya sikap apatis di masyarakat secara faktual. Karena spanduk itu dibuat oleh sekelompok seniman yang tingkat pemahaman tentang politik berbeda dengan masyarakat banyak. Mungkin semacam sindiran, upaya untuk mengingatkan kepada semua steakholder agar lebih serius mengurus negara.
Indikasi menurunnya kepercayaan publik, dibuktikan dengan terdapatnya angka golput pada pemilu terutama di perkotaan, pada pemilihan presiden juga legislatif. Golput diprakarsai oleh kelompok intelektual. Ada yang beralasan karena tidak percaya pada sistem politik, ada juga yang beralasan karena tidak adanya calon yang pantas dipilih.
Golput, kemunculannya berawal dari gerakan mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971 yang merupakan pemilu pertama pada era Orde Baru. Pesertanya adalah 10 partai politik, jauh lebih sedikit dari pada Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik. Tokoh yang terkenal dalam memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman.
Gagasan golput ini pernah pula dikampanyekan di Kota Tasikmalaya, melibatkan para seniman; penyair, pelukis, dramawan, mahasiswa, dsb dengan melakukan konvoi mengelilingi Kota Tasikmalaya, membawa tulisan yang mengarah pada sikap kurang respek pada partai polik.
Walau tidak secara eksplisit mengajak masyarakat untuk tidak memilih. Tapi hal itu mengindikasikan adanya permasalahan yang serius di ”ruang” partai politik.
Tingkat kepercayaan masyarakat yang sedikit terganggu ini, tidak serta merta melemahkan semangat para politisi, terutama mereka yang berambisi untuk menduduki jabatan. Walau mereka tetap terlihat khawatir. Ini dibuktikan dengan banyaknya tokoh politik, terutama mereka yang ikut dalam pencalonan, legislatif (DPRD dan DPR) atau eksekutif (kepala daerah) yang merapat ke tokoh-tokoh agama.
Ketika seseorang berharap mendapatkan simpatik dari orang atau sekelompok orang, pada saat yang sama dia tengah berada di ruang khawatir kehilangan simpatik dari calon pemilih. Bisa juga kehilangan kepercayaan diri.
Ketika seseorang membutuhkan dukungan dalam agenda pertarungan politik (pemilu), pada saat itu dia berada di antara harapan dan ketakutan. Harapan untuk meraih simpatik dan takut tidak direspon calon pemilihnya.
Dalam keadaan labil dan kehilangan kepercayaan diri, seseorang sangat membutuhkan seseorang untuk membangkitkan kepercayaannya, yakni seseorang yang dianggap pantas dan mampu melakukannya, mendampingi ketika berhadapan dengan rasa takut yang menekannya. Mendekati tokoh agama adalah solusi paling riil untuk keluar dari persoalan itu.
Bahwa tokoh agama (ajengan), dipercaya masyarakat masih bertuah dan berkaromah. Bukan saja mampu memberi rasa aman kepada masyarakat atas pilihan politiknya untuk diikuti, ada juga nilai lebih yang bisa dimohon untuk membantu para kontestan agar mulus hingga meraih dukungan dengan doa-doa hikmah yang mustajab. Dan itu dipercaya oleh para politisi untuk menyandarkan harapannya kepada ajengan, untuk meraih kemenangan.
Citra moral yang baik masih tetap dipercaya masyarakat, ada pada figur ajengan.
Secara empirik dan diyakini publik, kelompok moralis masih tidak bergeser dari tempatnya. Masih tak tergantikan oleh tokoh lain. Masih berada di genggaman tokoh agama yang notabene merupakan simpul perekat umat di masyarakat. Ajengan masih dipercaya sebagai panutan yang pantas diikuti. Termasuk dipercaya ketika berada di ruang politik.
”Setiap memasuki tahun politik, posisi dan peran ulama bisa dipastikan akan naik daun. Preferensi dan keputusan warga masyarakat menetapkan pilihan afiliasi partai politik, anggota legislatif yang dipercaya sebagai wakilnya, maupun pemimpin daerah dan pemimpin nasional, salah satunya masih dipengaruhi suara para ulama.” (LSI Denny JA)
Studi yang mewawancarai 1.200 responden itu menemukan 51,7 persen pemilih menyatakan bahwa acuan yang dipertimbangkan sebelum menentukan pilihan politik adalah imbauan dari tokoh agama seperti ulama, pastor, biksu, dan lainnya. Imbauan dari tokoh yang lain, seperti politisi (11 persen), atau pengamat (4,5 persen) jauh lebih rendah dari imbauan ulama. (LSI)
Pada Pemilu 2024 yang akan datang, para tokoh agama akan tetap menjadi buruan paling diminati para kandidat. Sebagai bagian dari konstruksi pencitraan. Sebagai penasehat spiritual, demi ketenangan batin, sekaligus bagian dari gerakan tim sukses, yang akan didukung oleh pengikutnya. Dipercaya juga, bahwa kekuatan supranatural (hikmah), yang dimiliki sebagian ajengan akan memberi dukungan dari arah yang tak terbaca.
Keadaan ini menjadi sangat menguntungkan bagi para ajengan dengan melakukan pendekatan spiritual atau pendekatan rohaniah terhadap para politisi. Sangat berguna untuk memberi wejangan moral atau semacam peringatan agar para politisi lebih punya kewaspadaan dan adab bila mereka terpilih jadi pejabat. Yang paling penting mereka jangan sampai melupakan rakyat, melukai rakyat sebagai asal kelahiran mereka.
Kepercayaan masyarakat masih belum beranjak jauh dari tempat semula. Masih tetap memiliki harapan untuk membangun negara dan menyerahkan pengelolanya pada para pejabat yang saleh; jujur, cerdas, amanah dan adil. Hal ini dibuktikan dengan antusiasme publik dalam menghadapi pemilu, walaupun tidak bisa disangkal adanya kemerosotan kualitas pemilih yang hampir agak sulit menemukan pemilih yang idealis, yang benar-benar sadar atas pilihannya.
Adanya pemeo yang dinarasikan ”Anu Ngartos Anu Kahartos” banyak ditunggu oleh para calon pemilih saat ini. Ini merupakan sinyal, bahwa pemilih fragmatis makin menguat. Kondisi ini sudah waktunya diwaspadai, sebab politik uang; bagi-bagi sembako, serangan fajar, kian membudaya di masyarakat dan dianggap biasa. Ini akan berakibat pada kian buruknya kesehatan demokrasi yang kita sanjung-sanjung. (Yusran Nurlan)
Yusran Nurlan adalah seorang sastrawan, jurnalis, dan esais.