Menyoal Pembiayaan Iklim Indonesia

Lingkungan33 Dilihat
RADAR TASIKMALAYA – Sorotan atas isu perubahan iklim semakin tinggi di ruang publik saat ini. Perubahan iklim tidak hanya memberikan dampak jangka pendek namun akan memberikan dampak jangka panjang bagi generasi kita mendatang. Faktor antropogenik masih menjadi alasan kuat terjadinya perubahan iklim saat ini.
Kita perlu akui, model pembangunan ekstraktif dan industri yang tidak ramah lingkungan sudah merugikan kualitas lingkungan. Tidak mengherankan kota-kota besar di Indonesia selalu mendapatkan predikat kota berpolusi, daerah-daerah di Indonesia yang kental dengan pertambangan selalu dilabeli perusakan bentang alam. Ditambah pembukaan lahan dan hutan untuk produksi selalu dilabeli penjarahan keanekaragaman hayati.
Pada periode 2020-2024, seperti dilansir pada rancangan akhir RPJPN 2025-2045 kerugian ekonomi akibat perubahan iklim pada periode 2020-2024 mencapai Rp 544 triliun. Angka ini kemungkinan akan terus meningkat sejalan dengan perubahan iklim yang semakin mencederai kehidupan manusia.
Lebih dari 70 persen total emisi gas rumah kaca (GRK) berasal dari emisi CO2, yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. CO2 didominasi oleh aktivitas industri, seperti manufaktur dan transportasi, yang tidak ramah lingkungan. Usaha untuk mendapatkan pembiayaan iklim dan transfer teknologi dinantikan bagi banyak negara berkembang saat ini. Isu ini telah lama dibahas melalui Conference of the Parties (COP).
Pembiayaan iklim dari negara maju ke negara berkembang selalu mendapatkan panggung di berbagai konferensi iklim, terutama COP29 di Baku Azerbaijan beberapa waktu lalu. Komitmen negara maju untuk meningkatkan pembiayaan iklim memberikan harapan bagi negara-negara berkembang, meskipun belum sepenuhnya memenuhi ekspektasi. Kondisi geopolitik global yang dinamis menjadi sorotan akan komitmen negara maju pada negara berkembang.
Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target penurunan emisi GRK setelah laporan Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) dilayangkan pada 2022 lalu. Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 31,89% secara unconditional dan hingga 43,20% secara conditional.
Pada rancangan RPJPN 2025-2045 memproyeksikan bahwa bila tidak ada perubahan dalam paradigma perubahan maka GRK Indonesia dapat meningkat dua kali lipat pada angka 2,27 GtCO2e di tahun 2045. Ambisi adaptasi mitigasi perubahan iklim yang realistis pada pada CM1 dan CM2 perlu untuk terealisasi untuk menekan laju emisi.
Negara-negara berkembang, meskipun berada di garis depan dampak perubahan iklim, tetap harus memenuhi target yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contributions (NDC). Pada COP29, NDC semakin ditegaskan sebagai parameter penting untuk mengukur komitmen tiap negara dalam mengurangi emisi dan mempercepat transisi ke arah yang lebih berkelanjutan. Namun, keterbatasan dana dan teknologi masih menjadi kendala utama bagi negara berkembang dalam mencapai target tersebut.
Target ini tidak serta merta tanpa biaya. Pembiayaan ini selalu menjadi isu yang terus dibahas, dari mana dananya? Apakah pemerintah mampu memenuhi 100% pembiayaan ini? Belum lagi bagaimana kita bisa meyakinkan dunia bahwa kinerja iklim kita sudah benar?
Sinergi Hulu dan Hilir Pembiayaan Iklim
Persoalan yang dihadapi saat ini mencakup dinamika kondisi geopolitik yang tidak dapat diprediksi, ketegangan yang masih ada, kondisi ekonomi global yang tidak stabil, serta transisi pemerintahan di beberapa negara maju.
Ketika peta geopolitik berubah, pencarian dana menjadi semakin sulit, sehingga diperlukan diversifikasi tujuan. Jika sebelumnya fokusnya adalah pada sumber bilateral dan multilateral, kini pergeseran mungkin kepada kekuatan dalam negeri.
Indonesia, bila ingin mencapai target NDC 2030, memerlukan pendanaan setidaknya sebesar 281 miliar US dollar (sekitar 4.000 triliun rupiah). Kita tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pendanaan dari APBN yang hanya mampu mencakup sekitar 34% sebagaimana dilansir dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Kementerian Keuangan.
Oleh karena itu, partisipasi Indonesia dalam dialog lingkungan global sangat penting untuk mencari solusi guna memperkuat kapasitas fiskal, mengingat keterbatasan pendanaan dari APBN. Kesenjangan ini terlalu besar jika hanya bergantung pada APBN.
APBN memiliki prioritas dalam rencana kerja, pemerintah harus menciptakan katalis untuk memunculkan skema pembiayaan kreatif. Pembiayaan seperti melalui pajak karbon, perdagangan karbon dan investasi perusahaan lokal adalah pembiayaan kreatif yang dapat disasar.
Pembiayaan iklim, baik di sektor hulu maupun hilir, menjadi solusi yang harus diupayakan secara setara. Urusan hulu (upstream) berfokus pada pengurangan emisi dari sumbernya melalui investasi di energi terbarukan dan infrastruktur hijau.
Sektor hilir (downstream), yang berfokus pada pengelolaan emisi yang telah dihasilkan dan mitigasi kerugian akibat dampak perubahan iklim, juga penting. Fokus pada mendorong investasi dalam carbon removal, capture, dan storage untuk pengolahan limbah pada fasilitas energi.
Sinergi antara hulu dan hilir yang kuat akan meyakinkan dunia bahwa upaya Indonesia untuk net zero emission di 2060 adalah tindakan nyata. Tahapan selanjutnya bila perencanaan hilir dan hulu iklim sudah memadai kita harus berpikir juga tentang legitimasi kinerja iklim kita.
Legitimasi Aksi Iklim Indonesia Harus Dibenahi
Untuk mengatasi perubahan iklim, dibutuhkan kolaborasi intens, kebijakan inovatif, dan dukungan lintas sektor. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pelaporan kinerja dan inventarisasi emisi akan menjadi kunci keberhasilan.
Kita harus membereskan terlebih dahulu hal-hal yang bergesekan baik dari pemerintah dan pihak pemerhati lingkungan lainnya. Terdapat tiga poin yang perlu ditekankan yaitu kesepahaman pada deforestasi, keterlibatan mitra akar rumput, dan fokus pada sektor-sektor strategis.
Pertama, perlunya kesepahaman daripada konsep deforestasi. Perbedaan definisi dan metodologi menjadi dua alasan terjadinya perbedaan data dari pemerintah dan lembaga pemerhati lingkungan lainnya. Penjelasan tren deforestasi akan semakin sulit karena semua perbedaan ini dipaksakan menjadi satu narasi tunggal. Ini penting guna menjalankan kebijakan seperti nature-based solutions (NBS) yang dapat berkontribusi pada 37 persen cost-effective mitigasi perubahan iklim.
Kedua, pelaporan didorong dari level akar rumput (grassroot). Perlu untuk mengembangkan mekanisme pelaporan interdisciplinary lintas sektor dan level. Legitimasi proses ini dapat ditingkatkan dengan memperkuat kapasitas masyarakat lokal, komunitas dan NGO yang tahu betul kondisi di lapangan. Mereka harus terlibat dan berpartisipasi penuh dalam pelaporan dan inventarisasi.
Ketiga, kepastian sektor-sektor utama yang akan menyerap dana iklim. Indonesia harus dapat menuliskan langkah demi langkah dengan jelas kepada pemberi donor. Investasi dalam climate tech menjadi sorotan yang ditunggu negara maju. Terlebih Indonesia telah menunaikan hilirisasi nikel sehingga sektor batteries and energy storage harusnya dapat diminati investor.
Pembiayaan yang tepat, baik di hulu maupun hilir, serta peningkatan legitimasi pelaporan NDC akan menjadi kunci utama dalam mencapai komitmen penurunan emisi Indonesia mendatang. Diharapkan pemerintahan baru saat ini dapat mendukung adaptasi mitigasi perubahan iklim Indonesia melalui sokongan fiskal yang efektif dan memadai. (Muhamad Ferdy Firmansyah)
Penulis adalah Alumni S1 Ekonomi Pembangunan Angkatan 18 Unsil dan Mahasiswa S2 Environmental Science Wageningen University & Research Belanda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *