RADAR TASIKMALAYA – Pemungutan suara Pilkada akan dilaksanakan pada 27 November 2024, momen penting karena bagian dari rangkaian pemilu serentak yang untuk pertama kalinya dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Walau ini bukan barang baru karena sebelumnya pemilihan kepala daerah langsung untuk setiap daerah dalam tahun yang berbeda, tidak dalam satu tahun yang sama. Namun, bukan masalah waktu penyelenggaraan yang akan menjadi sorotan penulis, melainkan dampak dari proses demokrasi lokal ini, masih sejalankah dengan tujuan reformasi?
Pada dasarnya, Pemilu kepala daerah secara langsung ini merupakan bagian dari amanat reformasi yakni otonomi daerah yang seluas-luasnya. Pasca amandemen UUD 1945 dari tahun1999 sampai 2002, lahirlah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu isinya yakni mengatur tentang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Banyak pertimbangan yang menjadi alasan berlakunya otonomi daerah termasuk Pilkada, yakni agar setiap daerah mampu menentukan nasibnya sendiri termasuk dalam memilih kepala daerahnya.
Desentralisasi Melahirkan Korupsi
Sistem Pemerintahan Indonesia sebelum reformasi sangat sentralistik, kekuasaan, sangat terpusat, Jawa sentris, bahkan Jakarta sentris. Pembangunan yang tidak merata di setiap daerah, termasuk kesejahteraan penduduk yang tidak adil, sementara sumber daya alam Indonesia, penyumbang APBN itu banyak pula yang diperoleh dari luar Jawa.
Namun pada kenyataannya, Pilkada langsung ini banyak menimbulkan beberapa catatan, banyak daerah baru baik Provinsi maupun Kota/Kabupaten, ketidak siapan daerah dalam mengelola sendiri/masih mengandalkan anggaran dari pusat, banyak raja-raja baru di daerah, biaya dan ongkos politik tinggi melahirkan para koruptor. Indonesia Curruption Watch (ICW) memberikan hasil temuan dari tahun 2004-2022 saja tercatat 22 Gubernur dan 148 Bupati/Wali Kota terjerat kasus rasuah. Sementara itu, data terbaru dari ICW yang dilansir Tempo (7 Mei 2024) sepanjang tahun 2021-2023 sebanyak 61 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi. Lain halnya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI) yang pada 14 Agustus 2024 menyatakan ada sebanyak 167 kepala daerah di Indonesia yang terjerat kasus korupsi sepanjang 2004-2024.
Negara Kesatuan VS Desentralisasi
Jika dilihat dari aspek geografis, bentuk negara kesatuan ini memang kurang sejalan dengan peta wilayah Indonesia yang luas dan terbagi dalam beberapa pulau dan kepulauan. Amerika Serikat dan Malaysia dianggap bentuk negara federasi ideal, bahkan menurut sebagian kalangan bentuk negara tersebut cocok jika diterapkan di Indonesia. Sebenarnya Indonesia pernah menjadi negara serikat pada periode 1949 sampai 1950, karena Republik Indonesia Serikat (RIS) merupakan negara boneka Belanda, belum satahun bubar dan kembali ke negara kesatuan pada 1950. Kelemahan negara kesatuan yang sentralistik sangat terasa pada zaman Presiden Soekarno dan Orde Baru di bawah kendali Soeharto, bahkan sampai mengarah pada disintegrasi bangsa akibat ketidakpuasan daerah terhadap pemerintahan pusat.
Otonomi daerah salah satu upaya untuk mengatasi kesenjangan antara pusat dengan daerah, termasuk di dalamnya ada Pilkada yang dimulia sejak tahun 2005. Pilkada memang tidak sepenuhnya berdampak negatif, banyak beberapa capaian bagi daerah yang mampu mengelola daerahnya dengan baik. Bahkan, tak jarang tokoh-tokoh daerah yang dipilih secara langsung ini memiliki integritas dan menjadi pemimpin nasional, seperti Presiden Jokowi lebih dulu menjabat sebagai wali kota, gubernur sebelum menjadi presiden selama 2 periode.
Kelemahan dari sistem desentralisasi ini dari sisi politis yakni, ketika banyak kepada daerah yang berbeda partai politik atau kubu koalisi dengan pemerintah pusat ini memicu ketidakstabilan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Walau secara regulasi pemerintah daerah merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, namun dalam beberapa aspek, sentimen daerah kepada pusat selalu ada. Hal lain yang terjadi sebaliknya, pemerintah pusat yang memiliki kuasa penuh terhadap kontrol pemerintah di semua daerah, memaksa untuk mengintervensi pilkada agar yang terpilih merupakan calon yang satu kubu dengan pemerintahan pusat.
Hal di atas, tentunya sangat mencederai nilai demokrasi, apalagi pada masa pemilu serentak 2024 ini banyak kepala daerah yang dijabat oleh Plt. yang ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat, termasuk pada Pilpres dan Pileg Februari 2024 lalu, banyak dugaan kuat bahwa Plt kepala daerah memainkan peranan dalam mengarahkan pada salah satu Capres dan Cawapres. Hal ini tentunya tidak jauh berbeda dengan masa Orde Baru dan Orde Lama, walau kepala daerah dipilih DPRD, namun sangat erat kaitannya dengan kepentingan pemerintahan pusat.
Pemerintah Pusat Tidak Mau Berhadapan
Demokrasi bebas dan terbuka yang digaungkan oleh reformasi ini memang semakin kesini semakin terlaksana setengah hati. Pemeritahan pusat nampak semakin enggan berhadapan dengan kepala daerah yang berbeda secara patron politik. Segala cara dilakukan untuk memuluskan calon kepala daerah yang didukung pusat, dan menjegal calon yang berbeda. Misal dengan melobi para ketua partai politik untuk berkoalisi, padahal masyarakat sudah memiliki calon yang diharapkan maju, karena ketatnya aturan sebagai calon, maka banyak calon yang gagal dapat tiket untuk maju sebagai kepala daerah. Bahkan, yang paling parah hampir terjadi perubahan UU Pilkada guna memuluskan calon tertentu dan menjegal calon lain, beruntung muncul peringatan darurat yang pada akhirnya upaya tersebut gagal terwujud.
Negara kesatuan selalu dimaknai oleh pemerintah pusat sebagai pembenaran untuk mengarah pada otoritasme, sebaliknya otonomi daerah dimaknai oleh kepala daerah sebagai bentuk kerajaan atau dinasti dalam politik lokal. Secara norma hukum memang ini bukan sebuah pelanggaran karena segala aturan mengenai politik dinasti sudah tak berlaku, alasannya karena berprinsip pada persamaan dan kedudukan warga negara dimata hukum dan pemerintahan. (K. Adi Saputra).
Penulis: Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Siliwangi
Nama : Egra Nur Fitriani
Kelas : D
NPM : 244102111123
Artikel ini menyoroti tantangan dalam pelaksanaan Pilkada serentak di Indonesia, terutama dalam konteks etika politik Pancasila. Dari perspektif etika politik Pancasila, terdapat ketidakcocokan antara prinsip otonomi daerah dan praktik yang terjadi, seperti korupsi dan intervensi pemerintah pusat.
Nilai-nilai Pancasila, seperti keadilan sosial dan demokrasi, seharusnya mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan daerah. Namun, artikel menunjukkan bahwa desentralisasi justru melahirkan “raja-raja baru” yang berpotensi korup. Selain itu, intervensi politik pusat mencederai prinsip partisipasi rakyat yang seharusnya menjadi inti dari demokrasi Pancasila.
Penerapan nilai-nilai Pancasila dalam praktik politik perlu diperkuat untuk memastikan pemilihan kepala daerah yang adil dan berintegritas, serta mendukung stabilitas demokrasi di Indonesia.
Nama : Ratna Pitriani Indah
NPM : 244102111115
Kelas : Gizi D
Artikel tersebut membahas mengenai pemilihan kepala daerah serta desentralisasi pada negara Kesatuan. Pilkada kali ini akan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 27 November 2024, hal ini merupakan fenomena penting karena pertama kalinya dalam sejarah politik Indonesia
Penulis menyajikan informasi mengenai dampak dari pilkada, yang dimana pilkada terlahir dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Penulis artikel ini juga membahas mengenai desentralisasi dan negara kesatuan yang dimana bentuk negara kesatuan ini memang kurang sejalan dengan peta wilayah Indonesia yang luas dan terbagi dalam beberapa pulau dan kepulauan. Penulis juga menjelaskan kelemahan dari dedesentralisasi. Di artikel ini banyak dijelaskan mengenai pemerintah pusat yang tidak bersikap seharusnya mengenai demokrasi, salah satunya yaitu dengan segala cara dilakukan untuk memuluskan calon kepala daerah.
Dalam keseluruhan artikel ini membahas mengenai pemilihan kepala daerah yang semakin lama semakin bertentangan dengan tujuan reformasi, salah satunya yaitu demokrasi yang memastikan rakyatnya sejahtera, namun kenyataannya tidak.
Nama: Mutia Ferani
NPM: 244102111050
Kelas: B Gizi
Dari perspektif etika politik Pancasila, Pilkada serentak menunjukkan bahwa ada tantangan besar dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam praktik politik sehari-hari. Artikel ini mengingatkan pentingnya refleksi mendalam tentang apakah sistem desentralisasi dan mekanisme Pilkada saat ini benar-benar mendukung cita-cita Pancasila atau justru menciptakan kontradiksi di dalamnya.
Nama : Nurela Yuliarahma
Npm : 244102111135
Kelas : D_Gizi
Artikel ini membahas tentang pemilu kepala daerah (Pilkada) di Indonesia, yang akan dilaksanakan serentak pada 27 November 2024. Penulis mencermati dampak dari Pilkada langsung dalam kerangka demokrasi lokal, terutama sejauh mana implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan tujuan reformasi yang diinginkan.
Pilkada langsung merupakan hasil dari reformasi, yang memberikan kewenangan lebih kepada daerah untuk memilih kepala daerah mereka sendiri. Sebagai bagian dari amandemen UUD 1945 dan UU Nomor 32 Tahun 2004, Pilkada adalah bagian dari upaya mewujudkan desentralisasi dan pemerintahan yang lebih demokratis.Namun, meskipun tujuannya untuk memberikan kemandirian pada daerah, Pilkada juga menimbulkan berbagai masalah, termasuk korupsi dan ketidakmerataan dalam pengelolaan daerah.
Meskipun desentralisasi diharapkan dapat mengurangi ketimpangan antara pusat dan daerah, banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi, dengan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menunjukkan tingginya angka kepala daerah yang terlibat dalam korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa otonomi daerah belum sepenuhnya berhasil mengurangi masalah yang ada.
Artikel tersebut mengkritisi bahwa meskipun Pilkada langsung bertujuan untuk memperkuat demokrasi dan otonomi daerah, praktiknya menunjukkan banyak kelemahan, terutama terkait dengan tingginya korupsi dan intervensi dari pemerintah pusat. Selain itu, terdapat ketegangan antara model negara kesatuan dan desentralisasi, yang sering kali menciptakan ketidakstabilan politik dan memperburuk kondisi demokrasi di Indonesia.
Artikel
Nama : Nisa Azzahra A
Kelas : Gizi B
Berkaitan dengan akan dilaksanakannya pemilu, artikel tersebut menyoroti permasalahan desentralisasi. Padahal, Otonomi daerah salah satu upaya untuk mengatasi kesenjangan antara pusat dengan daerah. Namun, desentralisasi ini mampu melahirkan korupsi, yang tentunya melanggar etika pancasila. Seakan tidak sesuai dengan asas legalitas dan asas demokratis. Para pemerintah pusat umumnya malas berurusan dengan pemerintah daerah yang tidak sepemikiran atau tidak berasal dari backrgound yang sama. Inilah hal yang menggores demokrasi.
Nama : Tsabit Ahmad Sumantri
NPM : 244102111061
Fakultas Ilmu Kesehatan
Prodi : Gizi
Kelas : B
Analisis dan komentar artikel : Dalam artikel tersebut mengkritisi ironi pelaksanaan Pilkada serentak di Indonesia, yang awalnya diharapkan mendorong desentralisasi dan demokrasi lokal, namun justru menciptakan korupsi, dinasti politik, dan ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah. Penulis juga menyoroti campur tangan pusat dalam menentukan kepala daerah demi stabilitas politik, yang mencederai nilai demokrasi.
Dalam perspektif etika politik Pancasila, desentralisasi semestinya mencerminkan keadilan sosial (sila ke-5) dengan pemerataan pembangunan dan penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi (sila ke-4). Namun, praktik ini perlu diperbaiki agar tidak melenceng dari semangat persatuan (sila ke-3) dan pengabdian kepada rakyat.
Nama : Sahla Salsabila
Npm : 244102111109
Kelas : D
Artikel ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal masih jauh dari ideal formasi awalnya bertujuan memberikan kebebasan dan kemandirian daerah kini seringkali terganjal oleh kepentingan politik pusat dan lemahnya akuntabilitas di daerah. Yang dimana menjelaskan bahwa Pilkada langsung merupakan hasil reformasi yang bertujuan untuk memberikan otonomi daerah agar masyarakat dapat memilih pemimpin sesuai dengan aspirasi lokal. Namun, implementasinya menghadiri tantangan besar seperti tingginya biaya politik munculnya korupsi oleh kepala daerah dan ketegangan antar pusat dan daerah terutama saat afiliasi politik berbeda. Meskipun ada keberhasilan seperti kemunculan pemimpin dalam menghasilkan pemimpin berintegritas lemahnya pengawasan dan biaya politik yang tinggi sering mencederai demokrasi lokal yang membuat cita-cita reformasi terasa setengah mati. Untuk itu, diperlukan langkah konkret seperti penguatan pengawasan transparansi dan regulasi untuk memperbaiki sistem ini.
Nama : Sahla Salsabila
Npm : 244102111109
Kelas : D_Gizi
Artikel ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal masih jauh dari ideal formasi awalnya bertujuan memberikan kebebasan dan kemandirian daerah kini seringkali terganjal oleh kepentingan politik pusat dan lemahnya akuntabilitas di daerah. Yang dimana menjelaskan bahwa Pilkada langsung merupakan hasil reformasi yang bertujuan untuk memberikan otonomi daerah agar masyarakat dapat memilih pemimpin sesuai dengan aspirasi lokal. Namun, implementasinya menghadiri tantangan besar seperti tingginya biaya politik munculnya korupsi oleh kepala daerah dan ketegangan antar pusat dan daerah terutama saat afiliasi politik berbeda. Meskipun ada keberhasilan seperti kemunculan pemimpin dalam menghasilkan pemimpin berintegritas lemahnya pengawasan dan biaya politik yang tinggi sering mencederai demokrasi lokal yang membuat cita-cita reformasi terasa setengah mati. Untuk itu, diperlukan langkah konkret seperti penguatan pengawasan transparansi dan regulasi untuk memperbaiki sistem ini.
Nama : Yunita Nurjalia
NPM : 244102111063
Kelas : B-Gizi
Analisis artikel :
Artikel ini mencerminkan dinamika demokrasi lokal pascareformasi di Indonesia, pelaksanaan Pilkada serentak dan desentralisasi masih jauh dari semangat Etika Politik Pancasila. Desentralisasi yang bertujuan menciptakan keadilan justru memunculkan korupsi, raja kecil, dan ketergantungan pada pusat dan melanggar prinsip keadilan sosial. Ketegangan antara otonomi daerah dan kontrol pusat mencederai persatuan, terutama melalui intervensi politik seperti penunjukan Plt kepala daerah untuk kepentingan politik. Pilkada langsung, sebagai wujud sila keempat, dirusak oleh praktik politik dinasti dan tekanan pusat, yang mengabaikan kehendak rakyat dan mencederai semangat demokrasi. Hak memilih dan dipilih, bagian dari kemanusiaan, sering dilanggar melalui diskriminasi dan manipulasi regulasi melalui tindakan pemerintah pusat yang menghalangi calon independen atau calon oposisi melalui lobi politik atau pengaturan undang-undang untuk mendukung calon. Artikel tidak secara eksplisit menyebut aspek religiusitas dalam politik, namun korupsi menunjukkan hilangnya moralitas dan ketidaksesuaian dengan amanah dan etika pemimpin dalam politik pancasila sebagai bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai spiritual dan Prinsip Ketuhanan, hal ini menunjukkan bahwa nilai moral keagamaan kurang diimplementasikan dalam kehidupan politik.
Nama : Tri Utami Ayuningsih
NPM : 244102111046
Kelas : B_Gizi 2024
Artikel ini menyoroti bahwa meskipun Pilkada serentak bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang lebih demokratis dan otonom, praktik politik yang ada menunjukkan bahwa desentralisasi menghadapi tantangan besar dalam mencapai tujuannya secara efektif. Artikel ini menggarisbawahi perlunya reformasi yang lebih mendalam dalam sistem politik dan pemerintahan daerah di Indonesia agar tujuan desentralisasi dapat tercapai dengan lebih baik, tanpa terjebak pada praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
NAMA: RIANTI SONIA ZAHRA
KELAS: B
NPM: 244102111072
Artikel ini mengupas peran pilkada langsung sebagau salah satu amanat reformasi untuk mendorong otonomi daerah yg luas.
Tujuan awal pilkada yaitu desentralisasi sebagai upaya mengatasi sistem pemerintahan yang sebelumnya terlalu sentralistik dan jawa sentris.
Alih2 pilkada memunculkan beberapa masalah
1. korupsi kepala daerah
2. ketergantungan anggaran
3.kemunculan raja2 lokal
solusi seperti pembatasan biaya politik, pengawasan ketat terhadap anggaran daerah dan reformasi partai politik perlu di terapkan untuk mengurangi dampak negatif
Nama : Muhammad Sidiq Farizan
NPM : 234102046
Kelas : B
Artikel ini menggambarkan hubungan erat antara desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah dan tantangan demokrasi di Indonesia, terutama melalui fenomena Pilkada langsung. Data yang menunjukkan banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, seperti temuan ICW dan KPK, menjadi bukti bahwa otonomi daerah belum sepenuhnya sesuai dengan tujuan reformasi. Pilkada yang dilakukan secara langsung, meskipun memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin daerah, juga membuka celah bagi praktik korupsi akibat tingginya biaya politik. Fenomena ini menandakan bahwa sistem politik di tingkat lokal sering kali tidak transparan dan rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, perlunya menanamkan nilai integritas dan transparansi, baik di kalangan masyarakat maupun calon pemimpin daerah, untuk menciptakan mekanisme demokrasi yang bersih dan adil.
Artikel ini juga menunjukkan bagaimana sentralisasi kekuasaan yang disamarkan melalui kontrol pemerintah pusat terhadap daerah juga mencederai demokrasi. Dugaan intervensi politik pusat terhadap Pilkada serta pengangkatan kepala daerah sebagai Plt, merupakan bentuk praktik otoritarian yang menghambat aspirasi lokal. Hal ini menunjukkan perlunya penguatan regulasi untuk mengurangi potensi konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat seharusnya mendorong transparansi dalam proses Pilkada, tanpa intervensi politik, agar nilai demokrasi berjalan seimbang dengan otonomi daerah. Di sisi lain, kepala daerah perlu dilatih untuk menjunjung prinsip akuntabilitas dan menjauhi politik dinasti yang hanya berorientasi pada kekuasaan. Kombinasi antara regulasi yang kuat dan pendidikan anti-korupsi yang menjangkau semua elemen masyarakat adalah kunci utama untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih di era desentralisasi.
Nama : Muhammad Sidiq Farizan
NPM : 234102046
Kelas : B
Analisis dan Komentar :
Artikel ini menggambarkan hubungan erat antara desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah dan tantangan demokrasi di Indonesia, terutama melalui fenomena Pilkada langsung. Data yang menunjukkan banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, seperti temuan ICW dan KPK, menjadi bukti bahwa otonomi daerah belum sepenuhnya sesuai dengan tujuan reformasi. Pilkada yang dilakukan secara langsung, meskipun memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin daerah, juga membuka celah bagi praktik korupsi akibat tingginya biaya politik. Fenomena ini menandakan bahwa sistem politik di tingkat lokal sering kali tidak transparan dan rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, perlunya menanamkan nilai integritas dan transparansi, baik di kalangan masyarakat maupun calon pemimpin daerah, untuk menciptakan mekanisme demokrasi yang bersih dan adil. Artikel ini juga menunjukkan bagaimana sentralisasi kekuasaan yang disamarkan melalui kontrol pemerintah pusat terhadap daerah juga mencederai demokrasi. Dugaan intervensi politik pusat terhadap Pilkada serta pengangkatan kepala daerah sebagai Plt, merupakan bentuk praktik otoritarian yang menghambat aspirasi lokal. Hal ini menunjukkan perlunya penguatan regulasi untuk mengurangi potensi konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat seharusnya mendorong transparansi dalam proses Pilkada, tanpa intervensi politik, agar nilai demokrasi berjalan seimbang dengan otonomi daerah. Di sisi lain, kepala daerah perlu dilatih untuk menjunjung prinsip akuntabilitas dan menjauhi politik dinasti yang hanya berorientasi pada kekuasaan. Kombinasi antara regulasi yang kuat dan pendidikan anti-korupsi yang menjangkau semua elemen masyarakat adalah kunci utama untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih di era desentralisasi.
Nama : Gaida Nurul Azkia
MPM: 244102111070
Kelas : Gizi B
Analisis dan komentar artikel:
Artikel ini sangat bermanfaat untuk membuka wawasan kita dalam sudut pandang lain terhadap demokrasi yang sedang terjadi saat ini.
Namun, sangat disayangkan hal yang seharusnya menjadi salah satu tujuan diadakannya PILKADA, agar setiap daerah mampu menentukan nasibnya sendiri termasuk dalam memilih kepala daerahnya.
Namun, jika di negara hukum yang terjadi, seperti pemilihan kepala daerahnya seolah diloloskan yang hanya sejalan dengan pemerintahan pusat saja dengan kata lain, calon kepala daerah yang memiliki gaya kepemimpinan berbeda dengan pemerintah pusatnya diberatkan oleh persyaratan sehingga tidak lolos menjadi calon, hal ini dapat memberikan dampak negatif. Seperti terganggunya prinsip demokrasi, terbatasnya pilihan calon, korupsi dan kolusi yang menjadi jadi.
Nama: Nuraini Raiyani
NPM: 244102111049
Kelas: B-Gizi
Dalam perspektif Etika Politik Pancasila, pilkada serentak seharusnya mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Namun, praktik politik yang tidak etis, kesenjangan akses, dan konflik politik daerah mencerminkan adanya pelanggaran prinsip tersebut. Upaya reformasi politik diperlukan untuk memastikan pilkada menjadi instrumen yang mendukung keadilan, persatuan, dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Artikel ini membahas pelaksanaan Pilkada 2024 sebagai bagian dari pemilu serentak yang pertama kali dalam sejarah demokrasi Indonesia, serta tantangan yang dihadapi terkait dengan potensi korupsi. Meskipun pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan amanat reformasi untuk memberikan otonomi daerah, kenyataannya banyak kandidat yang terlibat dalam kasus korupsi, seperti yang diungkap oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat sedikitnya 138 kandidat terindikasi terlibat dalam praktik korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya biaya politik dan ketidakstabilan pemerintahan akibat perbedaan afiliasi politik antara kepala daerah dan pemerintah pusat berpotensi menciptakan lingkungan yang subur bagi praktik korupsi. Selain itu, keberadaan dinasti politik juga menjadi ancaman serius terhadap integritas pemilu, karena dapat memfasilitasi praktik korupsi dan mengurangi kompetisi yang sehat.
Dari perspektif pendidikan anti-korupsi, artikel ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilihan umum, terutama dalam konteks Pilkada. Praktik korupsi yang melibatkan calon kepala daerah tidak hanya merusak integritas pemilu, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi. Oleh karena itu, pendidikan anti-korupsi harus diperkuat untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai pentingnya memilih pemimpin yang berintegritas dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Selain itu, perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap proses pemilihan dan penegakan hukum yang tegas terhadap praktik-praktik korupsi untuk memastikan bahwa Pilkada dapat berjalan sesuai dengan tujuan reformasi dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
“Artikel ini membahas ironi desentralisasi dalam negara kesatuan Indonesia. Ini membahas dampak pemilihan regional langsung terhadap demokrasi negara. Penulis berpendapat bahwa sementara pemilihan regional langsung dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat lokal, mereka juga telah menyebabkan peningkatan korupsi dan ketidakstabilan politik. Selain itu, penulis mengkritik campur tangan pemerintah pusat dalam pemilihan lokal, yang merusak prinsip-prinsip demokrasi. Penulis menyimpulkan dengan mempertanyakan apakah sistem desentralisasi saat ini benar-benar bermanfaat bagi Indonesia.”
Nama : Siti Nurhalimah
NPM : 234102060
Kelas : B_GIZI
Pilkada langsung di Indonesia, sebagai bagian dari otonomi daerah pasca-reformasi, menunjukkan dua masalah utama: korupsi dan ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah. Meskipun Pilkada bertujuan untuk memperkuat demokrasi lokal dan kemandirian daerah, kenyataannya sistem ini membuka celah bagi praktik politik uang, biaya politik tinggi, dan maraknya korupsi di kalangan kepala daerah. Data dari ICW dan KPK mengungkapkan banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, yang menunjukkan bahwa penyalahgunaan kekuasaan masih sering terjadi.
Selain itu, ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat dan intervensi dalam Pilkada semakin mengurangi independensi daerah. Politik dinasti juga masih marak di beberapa daerah, meskipun desentralisasi bertujuan untuk mengurangi dominasi politik satu kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi otonomi daerah belum sepenuhnya mencapai tujuannya dalam menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.
Secara keseluruhan, meskipun ada kemajuan dalam beberapa daerah, tantangan besar masih ada, terutama dalam hal akuntabilitas, transparansi, dan integritas. Diperlukan reformasi lebih lanjut untuk memperkuat demokrasi lokal dan memastikan bahwa otonomi daerah benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat, bukan justru menjadi lahan subur bagi praktik korupsi dan politik yang tidak sehat.
Nama :Selvi Anggraeni
NPM :234102017
Kelas :Gizi-A
Artikel mengkaji Pilkada 2024 sebagai bagian dari rangkaian sejarah demokrasi Indonesia pasca reformasi, yang bermula dari amandemen UUD 1945 dan lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan awalnya adalah memberikan otonomi seluas-luasnya agar setiap daerah mampu menentukan nasibnya sendiri, termasuk memilih kepala daerahnya secara demokratis.
Desentralisasi yang dimaksudkan untuk mengatasi sentralisme Orde Baru ternyata melahirkan persoalan baru, yakni korupsi sistemik. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) dan KPK mencengangkan: 22 Gubernur, 148 Bupati/Walikota, bahkan 167 kepala daerah terlibat kasus korupsi sepanjang 2004-2024, menunjukkan bahwa otonomi daerah tidak serta-merta menciptakan tata pemerintahan yang bersih.
Pemerintah pusat masih cenderung mengintervensi Pilkada, memaksakan kehendak untuk memilih kepala daerah sepaham, yang bertentangan dengan semangat demokrasi. Praktik ini mirip dengan masa Orde Baru, di mana kepentingan pusat selalu mendominasi, mencederai prinsip kedaulatan rakyat dan menghalangi munculnya kepemimpinan lokal yang independen.
Demokrasi Indonesia berjalan “setengah hati”, di mana negara kesatuan kerap dimaknai sebagai pembenaran otoritarianisme. Otonomi daerah yang seharusnya memberdayakan justru berpotensi melahirkan “raja-raja kecil” melalui politik dinasti, sementara pemerintah pusat tetap mempertahankan kontrol politiknya secara substantial.
Meskipun Pilkada tidak sepenuhnya negatif—dengan contoh positif seperti Jokowi yang naik dari level lokal ke nasional—artikel ini menggarisbawahi perlunya evaluasi mendalam terhadap sistem desentralisasi. Diperlukan mekanisme checks and balances yang kuat untuk mencegah korupsi dan menjamin praktik demokrasi yang sesungguhnya.
Nama : Waldi Gunawan
Kelas : A-Gizi
NPM : 234102028
Artikel ini menggambarkan tentang kaitannya antara PILKADA dan desentralisasi di Indonesia. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa sejak 2004 hingga 2024, sejumlah besar kepala daerah terlibat dalam praktik korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa otonomi daerah tidak selalu diiringi dengan akuntabilitas yang baik dan pengelolaan yang transparan.
Praktik politik yang terjadi saat ini menunjukkan adanya kontradiksi antara tujuan reformasi dan realitas di lapangan. Meskipun Pilkada bertujuan untuk memperkuat demokrasi lokal, intervensi politik dan tingginya biaya politik sering kali menghalangi proses demokratis yang ideal.
Secara keseluruhan, artikel ini memberikan analisis kritis terhadap pelaksanaan Pilkada serentak dalam konteks desentralisasi di Indonesia. Meskipun terdapat potensi positif dari otonomi daerah, tantangan besar seperti korupsi dan intervensi politik dari pemerintah pusat harus segera ditangani.
Nama : Waldi Gunawan
Kelas : A – Gizi
NPM : 234102028
Artikel ini menggambarkan tentang kaitannya antara PILKADA dan desentralisasi di Indonesia. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa sejak 2004 hingga 2024, sejumlah besar kepala daerah terlibat dalam praktik korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa otonomi daerah tidak selalu diiringi dengan akuntabilitas yang baik dan pengelolaan yang transparan.
Praktik politik yang terjadi saat ini menunjukkan adanya kontradiksi antara tujuan reformasi dan realitas di lapangan. Meskipun Pilkada bertujuan untuk memperkuat demokrasi lokal, intervensi politik dan tingginya biaya politik sering kali menghalangi proses demokratis yang ideal.
Secara keseluruhan, artikel ini memberikan analisis kritis terhadap pelaksanaan Pilkada serentak dalam konteks desentralisasi di Indonesia. Meskipun terdapat potensi positif dari otonomi daerah, tantangan besar seperti korupsi dan intervensi politik dari pemerintah pusat harus segera ditangani.
Artikel ini menyoroti tantangan besar Pilkada serentak 2024, terutama dalam kaitannya dengan desentralisasi dan demokrasi. Meski diharapkan memperkuat otonomi daerah, Pilkada langsung justru memunculkan banyak masalah, seperti korupsi kepala daerah, tingginya biaya politik, dan intervensi pemerintah pusat. Penunjukan Plt kepala daerah serta upaya meloloskan kandidat tertentu mencederai nilai demokrasi dan mengingatkan pada praktik sentralistik era Orde Baru.
Namun, Pilkada langsung juga melahirkan pemimpin daerah berintegritas, seperti Jokowi, yang mampu naik ke tingkat nasional. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan ketat, penguatan transparansi, dan penghormatan terhadap otonomi daerah agar Pilkada benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat, bukan sekadar formalitas demokrasi.
Komentar dan Analisis
Artikel ini mencerminkan pentingnya pendidikan anti korupsi dalam konteks sistem demokrasi Indonesia, terutama dalam pemilihan kepala daerah langsung (Pilkada). Fenomena korupsi yang terjadi di kalangan kepala daerah menunjukkan bahwa meskipun tujuan otonomi daerah adalah untuk memperkuat demokrasi dan kemandirian daerah, kenyataannya sistem ini masih rentan terhadap praktik korupsi. Pendidikan anti korupsi menjadi kunci dalam mengubah paradigma, di mana calon pemimpin daerah harus memiliki integritas dan komitmen yang kuat terhadap pelayanan publik, bukan hanya kekuasaan politik semata. Selain itu, pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan Pilkada harus didorong dalam sistem pendidikan agar masyarakat tidak hanya memahami dampak buruk korupsi tetapi juga berani melawan praktik tersebut.
Dari artikel ini juga, dapat dilihat bahwa meskipun Pilkada langsung bertujuan untuk memperkuat otonomi daerah dan demokrasi, praktik korupsi yang terus berlangsung menunjukkan ketidak berhasilan dalam mencapai tujuan tersebut. Salah satu faktor yang memperburuk kondisi ini adalah tingginya biaya politik yang menjadi beban bagi calon kepala daerah, yang sering kali berujung pada penyalahgunaan kekuasaan setelah terpilih. Selain itu, adanya intervensi politik dari pemerintah pusat untuk mengontrol hasil Pilkada dan memanipulasi proses demokrasi juga berpotensi mencederai prinsip-prinsip demokrasi yang adil. Artikel ini menggaris bawahi bahwa upaya mengurangi korupsi tidak hanya memerlukan kebijakan yang tegas, tetapi juga pendidikan moral dan kewarganegaraan yang menanamkan nilai-nilai integritas dan tanggung jawab pada setiap individu, terutama yang terlibat dalam politik.
Nama : Amelia Mustika
Npm : 234102029
Kelas/Prodi : A/Gizi
Artikel ini mengkritik penerapan desentralisasi di Indonesia melalui Pilkada serentak 2024. Meskipun Pilkada secara langsung adalah salah satu hasil dari reformasi yang bertujuan untuk memberikan otonomi daerah yang lebih luas, kenyataannya banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan tingginya angka kepala daerah yang terlibat rasuah, yang mencerminkan kelemahan sistem desentralisasi ini dalam mengelola pemerintahan daerah. Artikel ini juga menyoroti ketidakseimbangan antara pemerintah pusat dan daerah, di mana pemerintah pusat cenderung mengintervensi Pilkada dengan mendukung calon yang sejalan dengan pemerintahannya, menciptakan potensi ketidakstabilan politik di tingkat daerah. Kelemahan ini mencerminkan adanya ironi dalam pelaksanaan desentralisasi, yang seharusnya memperkuat demokrasi lokal, tetapi justru memperburuk kesenjangan dan membuka peluang bagi praktik-praktik koruptif dan dinasti politik. Secara keseluruhan, artikel ini menyoroti bahwa meskipun Pilkada memberikan kesempatan untuk memilih kepala daerah secara langsung, tantangan besar tetap ada, seperti tingginya biaya politik, korupsi, dan pengaruh politik pusat yang membatasi otonomi daerah.
Nama : Melisa Dewinta Maharani
NPM: 234102063
Kelas: C
Artikel ini menggambarkan tentang proses pilkada serentak 2024. Dalam pilkada ini dapat menimbulkan ketidaknetralan pemerintah karena pemerintah akan mendukung calon kepala daerah yang sekubu. Hal tersebut tentunya mencederai demokrasi. Calon kepala daerah yang tidak sekubu akan dijegal dengan kesulitan persyaratan- persyaratannya. Namun, apakah pilihan pemerintah akan selalu baik? Menurut data, sari tahun 2004-2024 tercatat terdapat 167 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Pada intinya artikel ini menjelaskan bahwa demokrasi tingkat daerah belum ideal karena terdapat campur tangan pemerintah didalamnya, sehingga kemurniaan demokrasi akan tercoreng.