RADAR TASIKMALAYA – Pemungutan suara Pilkada akan dilaksanakan pada 27 November 2024, momen penting karena bagian dari rangkaian pemilu serentak yang untuk pertama kalinya dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Walau ini bukan barang baru karena sebelumnya pemilihan kepala daerah langsung untuk setiap daerah dalam tahun yang berbeda, tidak dalam satu tahun yang sama. Namun, bukan masalah waktu penyelenggaraan yang akan menjadi sorotan penulis, melainkan dampak dari proses demokrasi lokal ini, masih sejalankah dengan tujuan reformasi?
Pada dasarnya, Pemilu kepala daerah secara langsung ini merupakan bagian dari amanat reformasi yakni otonomi daerah yang seluas-luasnya. Pasca amandemen UUD 1945 dari tahun1999 sampai 2002, lahirlah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu isinya yakni mengatur tentang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Banyak pertimbangan yang menjadi alasan berlakunya otonomi daerah termasuk Pilkada, yakni agar setiap daerah mampu menentukan nasibnya sendiri termasuk dalam memilih kepala daerahnya.
Desentralisasi Melahirkan Korupsi
Sistem Pemerintahan Indonesia sebelum reformasi sangat sentralistik, kekuasaan, sangat terpusat, Jawa sentris, bahkan Jakarta sentris. Pembangunan yang tidak merata di setiap daerah, termasuk kesejahteraan penduduk yang tidak adil, sementara sumber daya alam Indonesia, penyumbang APBN itu banyak pula yang diperoleh dari luar Jawa.
Namun pada kenyataannya, Pilkada langsung ini banyak menimbulkan beberapa catatan, banyak daerah baru baik Provinsi maupun Kota/Kabupaten, ketidak siapan daerah dalam mengelola sendiri/masih mengandalkan anggaran dari pusat, banyak raja-raja baru di daerah, biaya dan ongkos politik tinggi melahirkan para koruptor. Indonesia Curruption Watch (ICW) memberikan hasil temuan dari tahun 2004-2022 saja tercatat 22 Gubernur dan 148 Bupati/Wali Kota terjerat kasus rasuah. Sementara itu, data terbaru dari ICW yang dilansir Tempo (7 Mei 2024) sepanjang tahun 2021-2023 sebanyak 61 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi. Lain halnya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI) yang pada 14 Agustus 2024 menyatakan ada sebanyak 167 kepala daerah di Indonesia yang terjerat kasus korupsi sepanjang 2004-2024.
Negara Kesatuan VS Desentralisasi
Jika dilihat dari aspek geografis, bentuk negara kesatuan ini memang kurang sejalan dengan peta wilayah Indonesia yang luas dan terbagi dalam beberapa pulau dan kepulauan. Amerika Serikat dan Malaysia dianggap bentuk negara federasi ideal, bahkan menurut sebagian kalangan bentuk negara tersebut cocok jika diterapkan di Indonesia. Sebenarnya Indonesia pernah menjadi negara serikat pada periode 1949 sampai 1950, karena Republik Indonesia Serikat (RIS) merupakan negara boneka Belanda, belum satahun bubar dan kembali ke negara kesatuan pada 1950. Kelemahan negara kesatuan yang sentralistik sangat terasa pada zaman Presiden Soekarno dan Orde Baru di bawah kendali Soeharto, bahkan sampai mengarah pada disintegrasi bangsa akibat ketidakpuasan daerah terhadap pemerintahan pusat.
Otonomi daerah salah satu upaya untuk mengatasi kesenjangan antara pusat dengan daerah, termasuk di dalamnya ada Pilkada yang dimulia sejak tahun 2005. Pilkada memang tidak sepenuhnya berdampak negatif, banyak beberapa capaian bagi daerah yang mampu mengelola daerahnya dengan baik. Bahkan, tak jarang tokoh-tokoh daerah yang dipilih secara langsung ini memiliki integritas dan menjadi pemimpin nasional, seperti Presiden Jokowi lebih dulu menjabat sebagai wali kota, gubernur sebelum menjadi presiden selama 2 periode.
Kelemahan dari sistem desentralisasi ini dari sisi politis yakni, ketika banyak kepada daerah yang berbeda partai politik atau kubu koalisi dengan pemerintah pusat ini memicu ketidakstabilan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Walau secara regulasi pemerintah daerah merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, namun dalam beberapa aspek, sentimen daerah kepada pusat selalu ada. Hal lain yang terjadi sebaliknya, pemerintah pusat yang memiliki kuasa penuh terhadap kontrol pemerintah di semua daerah, memaksa untuk mengintervensi pilkada agar yang terpilih merupakan calon yang satu kubu dengan pemerintahan pusat.
Hal di atas, tentunya sangat mencederai nilai demokrasi, apalagi pada masa pemilu serentak 2024 ini banyak kepala daerah yang dijabat oleh Plt. yang ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat, termasuk pada Pilpres dan Pileg Februari 2024 lalu, banyak dugaan kuat bahwa Plt kepala daerah memainkan peranan dalam mengarahkan pada salah satu Capres dan Cawapres. Hal ini tentunya tidak jauh berbeda dengan masa Orde Baru dan Orde Lama, walau kepala daerah dipilih DPRD, namun sangat erat kaitannya dengan kepentingan pemerintahan pusat.
Pemerintah Pusat Tidak Mau Berhadapan
Demokrasi bebas dan terbuka yang digaungkan oleh reformasi ini memang semakin kesini semakin terlaksana setengah hati. Pemeritahan pusat nampak semakin enggan berhadapan dengan kepala daerah yang berbeda secara patron politik. Segala cara dilakukan untuk memuluskan calon kepala daerah yang didukung pusat, dan menjegal calon yang berbeda. Misal dengan melobi para ketua partai politik untuk berkoalisi, padahal masyarakat sudah memiliki calon yang diharapkan maju, karena ketatnya aturan sebagai calon, maka banyak calon yang gagal dapat tiket untuk maju sebagai kepala daerah. Bahkan, yang paling parah hampir terjadi perubahan UU Pilkada guna memuluskan calon tertentu dan menjegal calon lain, beruntung muncul peringatan darurat yang pada akhirnya upaya tersebut gagal terwujud.
Negara kesatuan selalu dimaknai oleh pemerintah pusat sebagai pembenaran untuk mengarah pada otoritasme, sebaliknya otonomi daerah dimaknai oleh kepala daerah sebagai bentuk kerajaan atau dinasti dalam politik lokal. Secara norma hukum memang ini bukan sebuah pelanggaran karena segala aturan mengenai politik dinasti sudah tak berlaku, alasannya karena berprinsip pada persamaan dan kedudukan warga negara dimata hukum dan pemerintahan. (K. Adi Saputra).
Penulis: Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Siliwangi
Nama : Egra Nur Fitriani
Kelas : D
NPM : 244102111123
Artikel ini menyoroti tantangan dalam pelaksanaan Pilkada serentak di Indonesia, terutama dalam konteks etika politik Pancasila. Dari perspektif etika politik Pancasila, terdapat ketidakcocokan antara prinsip otonomi daerah dan praktik yang terjadi, seperti korupsi dan intervensi pemerintah pusat.
Nilai-nilai Pancasila, seperti keadilan sosial dan demokrasi, seharusnya mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan daerah. Namun, artikel menunjukkan bahwa desentralisasi justru melahirkan “raja-raja baru” yang berpotensi korup. Selain itu, intervensi politik pusat mencederai prinsip partisipasi rakyat yang seharusnya menjadi inti dari demokrasi Pancasila.
Penerapan nilai-nilai Pancasila dalam praktik politik perlu diperkuat untuk memastikan pemilihan kepala daerah yang adil dan berintegritas, serta mendukung stabilitas demokrasi di Indonesia.
Nama : Ratna Pitriani Indah
NPM : 244102111115
Kelas : Gizi D
Artikel tersebut membahas mengenai pemilihan kepala daerah serta desentralisasi pada negara Kesatuan. Pilkada kali ini akan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 27 November 2024, hal ini merupakan fenomena penting karena pertama kalinya dalam sejarah politik Indonesia
Penulis menyajikan informasi mengenai dampak dari pilkada, yang dimana pilkada terlahir dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Penulis artikel ini juga membahas mengenai desentralisasi dan negara kesatuan yang dimana bentuk negara kesatuan ini memang kurang sejalan dengan peta wilayah Indonesia yang luas dan terbagi dalam beberapa pulau dan kepulauan. Penulis juga menjelaskan kelemahan dari dedesentralisasi. Di artikel ini banyak dijelaskan mengenai pemerintah pusat yang tidak bersikap seharusnya mengenai demokrasi, salah satunya yaitu dengan segala cara dilakukan untuk memuluskan calon kepala daerah.
Dalam keseluruhan artikel ini membahas mengenai pemilihan kepala daerah yang semakin lama semakin bertentangan dengan tujuan reformasi, salah satunya yaitu demokrasi yang memastikan rakyatnya sejahtera, namun kenyataannya tidak.
Nama: Mutia Ferani
NPM: 244102111050
Kelas: B Gizi
Dari perspektif etika politik Pancasila, Pilkada serentak menunjukkan bahwa ada tantangan besar dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam praktik politik sehari-hari. Artikel ini mengingatkan pentingnya refleksi mendalam tentang apakah sistem desentralisasi dan mekanisme Pilkada saat ini benar-benar mendukung cita-cita Pancasila atau justru menciptakan kontradiksi di dalamnya.
Nama : Nurela Yuliarahma
Npm : 244102111135
Kelas : D_Gizi
Artikel ini membahas tentang pemilu kepala daerah (Pilkada) di Indonesia, yang akan dilaksanakan serentak pada 27 November 2024. Penulis mencermati dampak dari Pilkada langsung dalam kerangka demokrasi lokal, terutama sejauh mana implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan tujuan reformasi yang diinginkan.
Pilkada langsung merupakan hasil dari reformasi, yang memberikan kewenangan lebih kepada daerah untuk memilih kepala daerah mereka sendiri. Sebagai bagian dari amandemen UUD 1945 dan UU Nomor 32 Tahun 2004, Pilkada adalah bagian dari upaya mewujudkan desentralisasi dan pemerintahan yang lebih demokratis.Namun, meskipun tujuannya untuk memberikan kemandirian pada daerah, Pilkada juga menimbulkan berbagai masalah, termasuk korupsi dan ketidakmerataan dalam pengelolaan daerah.
Meskipun desentralisasi diharapkan dapat mengurangi ketimpangan antara pusat dan daerah, banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi, dengan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menunjukkan tingginya angka kepala daerah yang terlibat dalam korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa otonomi daerah belum sepenuhnya berhasil mengurangi masalah yang ada.
Artikel tersebut mengkritisi bahwa meskipun Pilkada langsung bertujuan untuk memperkuat demokrasi dan otonomi daerah, praktiknya menunjukkan banyak kelemahan, terutama terkait dengan tingginya korupsi dan intervensi dari pemerintah pusat. Selain itu, terdapat ketegangan antara model negara kesatuan dan desentralisasi, yang sering kali menciptakan ketidakstabilan politik dan memperburuk kondisi demokrasi di Indonesia.
Artikel
Nama : Nisa Azzahra A
Kelas : Gizi B
Berkaitan dengan akan dilaksanakannya pemilu, artikel tersebut menyoroti permasalahan desentralisasi. Padahal, Otonomi daerah salah satu upaya untuk mengatasi kesenjangan antara pusat dengan daerah. Namun, desentralisasi ini mampu melahirkan korupsi, yang tentunya melanggar etika pancasila. Seakan tidak sesuai dengan asas legalitas dan asas demokratis. Para pemerintah pusat umumnya malas berurusan dengan pemerintah daerah yang tidak sepemikiran atau tidak berasal dari backrgound yang sama. Inilah hal yang menggores demokrasi.
Nama : Tsabit Ahmad Sumantri
NPM : 244102111061
Fakultas Ilmu Kesehatan
Prodi : Gizi
Kelas : B
Analisis dan komentar artikel : Dalam artikel tersebut mengkritisi ironi pelaksanaan Pilkada serentak di Indonesia, yang awalnya diharapkan mendorong desentralisasi dan demokrasi lokal, namun justru menciptakan korupsi, dinasti politik, dan ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah. Penulis juga menyoroti campur tangan pusat dalam menentukan kepala daerah demi stabilitas politik, yang mencederai nilai demokrasi.
Dalam perspektif etika politik Pancasila, desentralisasi semestinya mencerminkan keadilan sosial (sila ke-5) dengan pemerataan pembangunan dan penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi (sila ke-4). Namun, praktik ini perlu diperbaiki agar tidak melenceng dari semangat persatuan (sila ke-3) dan pengabdian kepada rakyat.