RADAR TASIKMALAYA – Praktik Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi yang terangkum dalam sebutan tiga dosa besar kekerasan di lingkungan pendidikan masih sering terjadi baik di lingkungan pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh kementerian pendidikan diperoleh data sebagai berikut: bahwa angka kasus tiga dosa yang ditangani oleh Kemdikbudristek total 338 kasus yang telah ditangani hingga Oktober 2024 dengan isu terbanyak adalah Kekerasan Seksual dan locus terbanyak pada jenjang Perguruan Tinggi.
Rinciannya yakni Kekerasan Seksual (160 kasus): di Sekolah Menengah 32 kasus, di Sekolah PAUD/Dasar 31 kasus; Perundungan (142 kasus): di Perguruan Tinggi 31 kasus, di Sekolah Paud/Dasar 41 kasus; Intoleransi (36 kasus): di Perguruan Tinggi (6 kasus), di Sekolah PAUD/Dasar 13 kasus.
Angka kasus tiga dosa besar pendidikan yang terjadi di lingkungan pendidikan di atas merupakan bukti bahwa di lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi lingkungan yang aman dan nyaman bagi peserta didik mengenyam pendidikan malah menjadi tempat terjadinya kasus kekerasan baik itu kekerasan seksual maupun kekerasan berbentuk intoleransi dan bullying.
Berdasarkan data survei kementerian pendidikan tersebut terdapat 338 kasus kekerasan yang ditangani dengan isu terbanyak di kasus kekerasan seksual yang berlokasi di lingkungan perguruan tinggi.
Lingkungan perguruan tinggi sudah menjadi lingkungan yang darurat kasus kekerasan khususnya kekerasan seksual. Berbagai kasus kekerasan seksual yang viral di media terjadi di lingkungan perguruan tinggi dan menjadi perhatian publik.
Kekerasan seksual yang terjadi tidak boleh dianggap sepele karena banyak dampak buruk yang ditimbulkan, baik bagi individu korban maupun lingkungan sosial di sekitar mereka. Kasus kekerasan seksual yang sering terjadi dikampus dan sering dilaporkan selain kekerasan seksual berbasis online adalah maraknya fenomena pacaran toxic yang penuh dengan drama kekerasan baik itu verbal, fisik, dan psikis. Pacaran toxic ini sering terjadi terutama di kalangan mahasiswa.
Fenomena ini sering kali dianggap sebagai bagian dari hubungan yang “normal”, padahal ini adalah bentuk kekerasan yang harus diwaspadai dan ditangani dengan serius. Kompleksitas kekerasan yang terjadi dalam hubungan pacaran toxic juga tidak hanya kekerasan seksual tetapi juga kekerasan fisik, verbal maupun psikis.
Sebenarnya apa itu pacaran toxic? Pacaran toxic bisa kita definisikan sebagai suatu pola hubungan yang penuh dengan ketidakseimbangan relasi kuasa, kontrol yang berlebihan terhadap salah satu pasangan, dan perilaku manipulatif yang berpotensi membahayakan salah satu atau kedua belah pihak dalam hubungan tersebut.
Di lingkungan perguruan tinggi, banyak mahasiswa yang terjebak dalam hubungan toxic ini, baik karena kurangnya pemahaman tentang dinamika hubungan yang sehat maupun karena tekanan sosial dan emosional. Pacaran toxic sering kali melibatkan bentuk-bentuk kekerasan verbal, fisik, dan psikis yang tidak selalu tampak jelas pada awalnya. Kekerasan verbal dapat berupa kata-kata kasar, penghinaan, atau ancaman yang berulang.
Kekerasan fisik meliputi tindakan seperti memukul, mendorong, atau bahkan memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Sementara kekerasan psikis adalah bentuk kekerasan yang lebih halus, seperti gaslighting (manipulasi psikologis), penghinaan terhadap harga diri, atau isolasi sosial yang membuat korban merasa tidak berdaya.
Hubungan pacaran toxic memiliki dampak negatif dan dapat menyebabkan trauma emosional dan fisik yang bertahan lama. Mereka mungkin merasa terjebak dalam hubungan yang tidak sehat namun tidak tahu bagaimana cara keluar, apalagi jika mereka merasa terisolasi atau bergantung pada pasangan mereka secara emosional atau finansial.
Dampak dari kekerasan verbal dan psikis sangat berbahaya bagi kesehatan mental korban. Rasa rendah diri, kecemasan berlebihan, dan depresi adalah beberapa masalah yang sering muncul. Dalam kasus yang lebih parah, kekerasan fisik dapat menyebabkan cedera atau bahkan kematian. Namun, meskipun pacaran toxic sering kali melibatkan kekerasan fisik, kekerasan psikis dan verbal sering kali lebih merusak dalam jangka panjang.
Mahasiswa baru, terutama mereka yang jauh dari keluarga, sering kali mudah terjebak dalam hubungan toxic karena kurangnya pemahaman tentang batasan yang sehat dalam berinteraksi dengan pacar. Kampus, seharusnya menjadi tempat yang aman untuk belajar, berinovasi, dan berkembang.
Namun, kenyataannya banyak mahasiswa yang menjadi korban kekerasan baik seksual dalam bentuk pelecehan, pemaksaan seksual, maupun kekerasan dalam hubungan asmara yang berupa fisik maupun verbal. Kekerasan dalam pacaran toxic tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik yang jelas.
Banyak kasus kekerasan yang diawali dengan manipulasi psikologis dan verbal, di mana pasangan memanipulasi perasaan korban untuk mendapatkan kontrol atas tubuh atau keputusan mereka. Dalam kasus seperti ini, korban mungkin merasa terjebak atau tidak berdaya untuk menolak.
Untuk mengatasi masalah ini, perguruan tinggi perlu melakukan langkah-langkah pencegahan yang konkret seperti; mengadakan sosialisasi pencegahan kekerasan dan seminar tentang hubungan yang sehat, di mana mahasiswa diberikan pemahaman tentang tanda-tanda pacaran toxic dan kekerasan dalam hubungan.
Ini dapat dilakukan melalui kegiatan orientasi mahasiswa baru, atau seminar tentang hubungan yang berbasis pada persetujuan bersama dan penghormatan terhadap satu sama lain; selain itu mahasiswa harus diberikan informasi yang cukup tentang bentuk-bentuk kekerasan, bagaimana mengenali tanda-tanda kekerasan, dan bagaimana cara melaporkan kasus kekerasan. Kampus juga perlu memastikan bahwa ada saluran yang aman bagi korban untuk melaporkan kejadian tanpa rasa takut akan pembalasan atau stigma.
Perguruan tinggi perlu menciptakan lingkungan yang mendukung korban kekerasan. Ini dapat dilakukan dengan mendirikan pusat konseling yang mudah diakses oleh mahasiswa, serta melibatkan layanan psikologis yang dapat membantu korban kekerasan seksual dan pacaran toxic untuk pulih dari trauma mereka.
Pelaporan jika terjadi kasus kekerasan harus dipermudah dan dijamin kerahasiaannya. Kampus harus menyediakan prosedur yang jelas untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual dan memberikan perlindungan kepada korban agar mereka merasa aman saat melapor. Hal ini penting untuk mencegah ketakutan dari pembalasan atau isolasi sosial bagi korban.
Selain itu sangat penting bagi mahasiswa untuk saling mendukung dalam mengidentifikasi dan mengatasi masalah pacaran toxic. Sebagai bagian dari komunitas kampus, mahasiswa memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan lebih peduli terhadap kesejahteraan satu sama lain. Mengajak teman untuk berbicara tentang masalah ini, mendukung mereka yang mengalami kekerasan dalam hubungan, dan menjadi suara bagi mereka yang tidak dapat bersuara adalah langkah penting dalam pencegahan kekerasan di perguruan tinggi.
Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan atas tiga dosa besar di lingkungan pendidikan sudah secara jelas diatur dalam Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 yang bertujuan untuk; melindungi warga kampus dan mitra perguruan tinggi dari kekerasan dalam pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi; mencegah terjadinya kekerasan di lingkungan perguruan tinggi; menciptakan lingkungan perguruan tinggi yang ramah, aman, inklusif, setara dan bebas dari kekerasan.
Adapun cara yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi adalah; penguatan tata kelola dengan menyusun dan menetapkan kebijakan serta pedoman terkait pencegahan dan penanganan kekerasan; Melakukan sosialisasi dan pelatihan mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan; dan menyediakan kanal pelaporan, ruang pemeriksaan, dan fasilitas lainnya yang mendukung upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi.
Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi ini mewajibkan bagi perguruan tinggi membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT).
Satgas PPKPT ini nantinya akan bertugas untuk; menerima dan menindaklanjuti laporan dugaan terjadinya kekerasan; melakukan koordinasi dengan unit kerja terkait; memfasilitasi rujukan layanan kepada instansi terkait dalam melaksanakan upaya pendampingan, perlindungan dan pemulihan bagi korban ataupun saksi jika ada; melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan program pencegahan dan penanganan kekerasan yang sudah dilakukan.
Dengan diterbitkannya peraturan ini, diharapkan lingkungan perguruan tinggi dapat menjadi tempat yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan, sehingga mendukung tercapainya tujuan pendidikan tinggi yang berkualitas.
Pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi harus melibatkan seluruh elemen kampus, mulai dari pihak administrasi, dosen, hingga mahasiswa itu sendiri. Edukasi, dukungan emosional, dan tindakan preventif adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan.
Dengan memahami dan mengatasi fenomena pacaran toxic yang penuh dengan kekerasan verbal, fisik, dan psikis, perguruan tinggi dapat melindungi mahasiswanya dari dampak buruk yang ditimbulkan oleh hubungan yang tidak sehat dan memastikan mereka dapat berkembang dengan baik di lingkungan akademik yang aman. (Wiwi Widiastuti SIP MSi)
Penulis merupakan dosen sekaligus Anggota Satgas PPKS Unsil