Tanpa Metodologi, Kritik Hanya Teriakan Berulang Tanpa Makna

Pendidikan, Sosial133 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Kritik merupakan salah satu pilar penting dalam kehidupan demokrasi. Ia menjadi ruang bagi warga negara untuk mengawasi dan mengingatkan para pengemban amanah publik. Namun dalam praktiknya, terutama di era digital seperti sekarang, makna kritik mengalami pergeseran yang cukup mengkhawatirkan.

Kritik tak lagi dimaknai sebagai ikhtiar untuk memperbaiki, melainkan berubah menjadi ajang menyerang, menggiring persepsi, dan bahkan mempermalukan tanpa data, tanpa kerangka, dan tanpa tanggung jawab. Di tengah situasi semacam ini, penting untuk kita tegaskan kembali bahwa kritik memang hak setiap warga negara, tetapi ia juga memiliki syarat dan metodologinya.

Kritik yang baik selalu bertumpu pada kerangka berpikir yang jernih dan terstruktur. Kerangka inilah yang membedakan antara kritik dan sekadar keluhan emosional. Dalam kerangka berpikir kritis yang dikembangkan oleh Richard Paul dan Linda Elder, ada delapan elemen dasar yang mesti menjadi pertimbangan: tujuan, pertanyaan, informasi, inferensi, konsep, asumsi, implikasi, dan sudut pandang.

Ketika kritik tidak dilandasi oleh kejelasan tujuan atau dibangun dari informasi yang simpang siur, maka ia tidak membawa pencerahan, melainkan justru menyesatkan. Kita kerap menyaksikan kritik terhadap kebijakan publik yang muncul begitu cepat, bahkan sebelum kebijakan itu benar-benar dipahami. Tanpa kesabaran untuk menganalisis, kritik mudah tergelincir menjadi prasangka.

Dalam konteks ini, penting pula dipahami bahwa kritik yang kuat mensyaratkan pengetahuan yang memadai. Pierre Bourdieu dalam konsep habitus dan modal kulturalnya menggarisbawahi pentingnya latar belakang intelektual dan kebiasaan berpikir yang membentuk kualitas seseorang dalam berpendapat.

Kritik yang tidak didukung oleh perluasan referensi baik bacaan, pengalaman, maupun data empiris akan cenderung dangkal dan bias. Tidak jarang kritik justru disampaikan oleh mereka yang pemahamannya lebih terbatas dibandingkan objek yang dikritik. Mengkritik sistem keuangan negara, misalnya, tanpa memahami dasar-dasar ekonomi publik hanya akan menghasilkan noise, bukan insight.

Lebih dari sekadar pengetahuan, kritik juga memerlukan etika. Jürgen Habermas dalam gagasan etika wacananya menekankan bahwa dalam ruang publik, setiap argumen harus dikedepankan dalam semangat kejujuran, kesetaraan, dan rasionalitas.

Kritik yang berangkat dari niat buruk untuk mempermalukan, membakar emosi publik, atau menekan lawan politik telah kehilangan ruh etikanya. Kritik seharusnya menjadi alat pencarian kebenaran bersama, bukan alat untuk menunjukkan siapa yang paling keras bersuara. Dalam konteks demokrasi yang sehat, kritik seyogianya mengedepankan akal sehat, bukan amarah.

Kritik juga adalah seni. Ia memerlukan kepekaan dalam menyampaikan pesan. Ia tidak harus kasar agar terasa tegas, dan tidak harus frontal agar tampak berani. Dalam dunia intelektual, kritik yang kuat justru kerap disampaikan dengan elegan, menggunakan bahasa yang terukur dan argumentasi yang solid.

Dalam seni, kritik bisa diwujudkan lewat puisi, esai, atau pertunjukan panggung yang tajam namun tetap santun. Sayangnya, di ruang digital hari ini, kita lebih sering menemukan kritik yang disampaikan dengan bahasa yang kasar, penuh ejekan, dan tanpa nalar. Seni berpikir tergantikan oleh seni memukul.

Kritik juga tidak boleh lepas dari data. Tanpa data, sebuah opini mudah terjebak pada bias pribadi atau bahkan fitnah. Dalam Toulmin Model of Argumentation yang dirumuskan oleh Stephen Toulmin, argumen yang valid harus dibangun di atas klaim yang diperkuat dengan data, disokong oleh pembenaran yang logis, serta mampu menghadapi sanggahan.

Kritik yang mengabaikan prinsip ini hanya akan menjadi dugaan semata. Banyak kritik yang dilontarkan hari ini bermula dari asumsi, potongan video, atau informasi yang tidak utuh. Padahal, keputusan publik yang didasarkan pada informasi salah bisa jauh lebih merugikan daripada kesalahan kebijakan itu sendiri.

Inilah pentingnya kritik yang dibangun dengan metodologi. Kritik bukan sekadar soal siapa yang lebih berani berbicara, tetapi siapa yang lebih tepat menyusun argumen. Dengan metodologi yang benar, kritik dapat menjadi kekuatan perubahan.

Tanpa metodologi, kritik hanya akan menjadi teriakan yang berulang tanpa makna. Dalam dunia akademik, setiap pernyataan harus diuji secara ilmiah. Maka dalam ruang publik pun, kritik harus tunduk pada kaidah penalaran yang sehat dan dapat diuji.

Namun realitas hari ini sering kali menunjukkan bahwa ukuran kualitas kritik telah digantikan oleh ukuran viralitas. Kritik yang paling banyak dibagikan di media sosial dianggap paling benar. Padahal, suara yang paling nyaring belum tentu yang paling bijak.

Di tengah algoritma media sosial yang mendorong emosi dan sensasi, kritik yang penuh amarah lebih cepat menyebar daripada kritik yang penuh pertimbangan. Ini tantangan besar dalam menjaga mutu wacana publik kita: bagaimana memastikan agar kritik tetap rasional di tengah godaan untuk menjadi sensasional.

Kita perlu menyadari bahwa era digital memang memberi ruang bagi siapa saja untuk menyampaikan kritik. Namun ruang yang luas itu juga memerlukan tanggung jawab yang lebih besar. Tidak semua yang bisa berbicara, layak didengar. Dan tidak semua yang berteriak, sedang menyampaikan kebenaran.

Kritik yang membangun memerlukan keberanian, tetapi juga kerendahan hati. Diperlukan ketekunan untuk membaca, kesabaran untuk menganalisis, dan ketulusan untuk memperbaiki. Kritik yang hanya ingin memenangkan opini tidak akan memperbaiki keadaan. Yang memperbaiki adalah kritik yang membuka ruang dialog, menawarkan solusi, dan berpijak pada kejujuran.

Maka marilah kita bersama-sama merawat iklim kritik yang sehat. Kritik bukan musuh, justru ia adalah mitra dalam proses perbaikan. Namun kritik yang bermanfaat tidak lahir dari ruang kosong. Ia lahir dari tradisi berpikir, dari kemauan memahami, dan dari niat baik untuk membangun. Kritik memang hak kita semua, tetapi untuk menjadi bermakna, kritik harus ditopang oleh metodologi. (Dr Edy Suroso SE MSi CSBA CVDP)

Penulis merupakan Dosen Prodi S1, S2 dan S3 Manajemen Universitas Siliwangi (Unsil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *