Squid Game, Homo Ludens dan Adaptasinya dalam Pembelajaran

Pendidikan, Sosial183 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Film atau serial dengan tema permainan mematikan telah menyedot perhatian penonton di seluruh dunia. Dalam dua pekan terakhir, “Squid Game 2,” serial yang resmi tayang tanggal 26 Desember 2025, serial lanjutan dari “Squid Game” garapan  Hwang Dong Hyuk asal Korea Selatan, telah menjadi tren yang ramai dibicarakan.

Tidak hanya menarik jutaan penonton, tapi juga menjadi bahan diskusi hangat di kalangan kritikus yang mengupas mulai dari alur cerita hingga karakter-karakter pemainnya yang kompleks.

Namun, jauh sebelum “Squid Game,” ada “The Hunger Games” film yang dibuat berdasarkan novel fiksi ilmiah tahun 2008 karangan penulis Amerika Serikat Suzanne Collins, yang menghadirkan fenomena serupa. Film ini juga berhasil memikat hati penonton dengan kisah distopianya yang penuh dengan intrik dan perjuangan. Baik “Squid Game” maupun “The Hunger Games,” keduanya menggambarkan potret gelap dari permainan mematikan yang mengeksplorasi sisi terkelam dari sifat manusia.

Kedua karya ini tidak hanya menawarkan hiburan semata, tetapi juga mengajak kita untuk merenungkan sifat dasar manusia dalam berkompetisi dan berjuang untuk kelangsungan hidup. “Squid Game,” dengan latar belakang utang yang melilit para pesertanya, menjerumuskan para peserta untuk terlibat dan berperan demi meraih hadiah besar, bahkan jika itu pun mempertaruhkan nyawa mereka.

Di balik ketegangan yang tersaji, banyak simbol dan adegan dalam film ini yang mencerminkan realitas sosial masyarakat. Di sisi lain, film “The Hunger Games” menggambarkan dystopia, para remaja dipaksa untuk saling membunuh dalam permainan yang disiarkan secara langsung, sebagai bentuk hiburan dan kontrol sosial.

Di balik kekerasan dan ketegangan yang disajikan, baik “Squid Game” maupun “The Hunger Games” memaparkan sisi lain dari manusia sebagai Homo Ludens, makhluk yang bermain. Teori manusia sebagai makhluk bermain pertama kali dipaparkan oleh Johan Huizinga. Permainan, dalam berbagai bentuknya, telah menjadi bagian integral dari peradaban manusia sejak zaman dahulu kala. Dari permainan anak-anak hingga kompetisi olahraga, dari permainan papan hingga video game modern, manusia selalu menemukan cara untuk bermain dan bertanding.

Sebagai Homo Ludens, manusia memiliki kecenderungan alami untuk bermain, berkompetisi, dan mencari hiburan dalam berbagai bentuk permainan. “Squid Game” dan “The Hunger Games” menunjukkan sisi gelap dari sifat ini, permainan berubah menjadi arena pertarungan hidup dan mati. Namun, esensi dari Homo Ludens tetap terlihat: keberanian, kecerdikan, dan keinginan untuk bertahan hidup dalam situasi paling ekstrem sekalipun.

Permainan dalam kedua film tersebut tidak hanya menjadi alat hiburan, tetapi juga cerminan dari realitas sosial yang kompleks. Di dunia nyata, kita sering menemukan diri kita dalam “permainan” yang lebih halus, entah itu dalam pekerjaan, kekuasaan, atau bahkan dalam pencarian identitas diri.

Sama seperti para peserta di “Squid Game”, kita sering terlibat dalam membuat keputusan sulit, beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dan menemukan cara untuk tetap bertahan dalam “permainan” kehidupan. Kita melihat bahwa manusia, sebagai Homo Ludens, selalu mencari cara untuk bermain, mengatasi tantangan, dan, pada akhirnya, menemukan makna dalam setiap permainan yang kita hadapi.

Konsep Homo Ludens menggambarkan manusia sebagai makhluk yang bermain. Konsep ini lebih dari sekadar hiburan semata. Berkaitan dengan pendidikan, potensi Homo Ludens sangat besar dan dapat dimanfaatkan untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih interaktif dan menarik. Berbeda dengan gambaran gelap yang ditampilkan dalam “Squid Game”, permainan menjadi arena pertarungan hidup dan mati, dalam dunia nyata, aspek bermain ini dapat dioptimalkan untuk hal-hal positif yang mendukung pembelajaran.

Games based learning, misalnya, model pembelajaran ini memanfaatkan kecenderungan alami manusia untuk bermain dan bersaing dalam lingkungan yang aman dan terkendali. Model ini tidak hanya membuat proses belajar menjadi lebih menyenangkan, tetapi juga meningkatkan motivasi dan keterlibatan siswa.

Melalui permainan, peserta didik dapat mengembangkan keterampilan penting seperti pemecahan masalah, kolaborasi, dan kreativitas. Hal ini menjadi contoh bagaimana Homo Ludens, dengan segala kecenderungannya untuk bermain, dapat menjadi kekuatan pendorong dalam pendidikan yang efektif dan bermakna.

Permainan dalam pembelajaran juga dapat membantu peserta didik memahami konsep-konsep yang kompleks dengan cara yang lebih sederhana dan intuitif. Ketika peserta didik bermain, mereka mengalami pembelajaran secara langsung dan praktis, yang sering kali lebih mudah diingat daripada pembelajaran konvensional. Dengan memanfaatkan sifat dasar manusia sebagai Homo Ludens, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang lebih adaptif, dinamis, dan relevan dengan kebutuhan zaman.

Konsep Homo Ludens dan fenomena “Squid Game” memberikan wawasan mendalam tentang potensi besar dari model pembelajaran berbasis permainan atau games based learning. Secara epistemologis, games based learning menekankan pada cara manusia memperoleh pengetahuan melalui interaksi dinamis dan partisipasi aktif dalam lingkungan permainan. Ini mencerminkan esensi Homo Ludens, bermain menjadi sarana utama untuk belajar dan berkembang.

Meskipun “Squid Game” menunjukkan sisi kelam dari permainan, kita tidak boleh melupakan bahwa Homo Ludens memiliki potensi besar untuk membawa dampak positif, terutama dalam dunia pendidikan. Permainan memungkinkan peserta didik untuk menghadapi tantangan, membuat keputusan cepat, dan belajar dari konsekuensi tindakan mereka dalam simulasi yang aman.

Hal tersebut tidak hanya meningkatkan keterlibatan dan retensi pengetahuan, tetapi juga membangun keterampilan kritis seperti pemecahan masalah, kolaborasi, dan kreativitas. Bermain adalah bagian integral dari perkembangan manusia, dan dengan pendekatan yang tepat, hal ini bisa menjadi alat yang kuat untuk menciptakan generasi masa depan yang lebih baik. (Sri Maryani)

Penulis merupakan Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *