Saya Melihatnya Sendiri! Mengapa Keyakinan Paling Kuat (Persepsi Pribadi) Justru Paling Mudah Menyesatkan

Pendidikan17 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Dalam Epistemologi, ilmu yang mengkaji hakikat pengetahuan, persepsi menempati posisi sentral. Filsuf Duncan Pritchard, dalam karyanya mengenai teori pengetahuan, menekankan bahwa persepsi atau pengetahuan indrawi (perceptual knowledge) adalah gerbang utama kita untuk berinteraksi dan memahami dunia luar. Tanpa persepsi apa yang kita lihat, dengar, sentuh, cium, dan rasakan, kita tidak akan memiliki informasi dasar tentang realitas.

Persepsi dianggap sebagai sumber pengetahuan yang paling kuat karena sifatnya yang langsung dan otentik. Ketika seseorang mengatakan, “Saya yakin, karena saya melihatnya sendiri,” keyakinan ini memiliki bobot yang jauh lebih besar daripada sekadar kabar burung (hearsay). Keyakinan ini terasa kokoh, tak tergoyahkan, dan sulit dibantah, sebab ia didasarkan pada pengalaman indrawi yang terekam secara pribadi. Kita merasa memiliki akses istimewa dan tanpa perantara terhadap fakta tersebut.

Namun, di balik kekuatan dan keyakinan mutlak yang dibawa oleh persepsi pribadi, tersembunyi kerentanan epistemologis yang mendasar. Kerentanan inilah yang sering kali dimanfaatkan oleh hoax, propaganda, dan manipulasi digital, menyebabkan kita sebagai individu yang berpikir harus lebih skeptis terhadap mata dan telinga kita sendiri.

Argumen Ilusi: Retakan Pertama pada Keandalan Indra

Pritchard memperkenalkan Argumen Ilusi (The Problem of Illusion) sebagai cara untuk mengurai kompleksitas persepsi. Argumen ini menunjukkan bahwa pengalaman indrawi kita tidak selalu mencerminkan realitas yang objektif.

Argumen Ilusi bekerja dengan menyoroti situasi di mana sense-data (data yang diterima indra) kita terasa meyakinkan, namun jelas-jelas salah. Contoh klasiknya adalah ilusi optik: pensil yang dicelupkan ke dalam air terlihat bengkok. Kita secara sadar dan meyakinkan mempersepsikan pensil itu bengkok. Namun, pengetahuan kita yang lain (akal, sentuhan) memberitahu kita bahwa pensil itu lurus.

Jika indra kita dapat menciptakan pengalaman yang terasa sangat nyata (seperti pensil bengkok, atau bahkan halusinasi dalam kasus yang ekstrem), bagaimana kita bisa yakin bahwa pengalaman normal kita sehari-hari adalah representasi akurat dari dunia luar?

Filsuf seperti Duncan Pritchard mengingatkan kita bahwa Persepsi (pengetahuan indrawi) adalah sumber pengetahuan yang vital, tetapi ia juga yang paling rentan terhadap kesalahan sistemik. Keyakinan terkuat kita seringkali justru yang paling rapuh. Mengapa demikian?

Terdapat dua alasan mengapa persepsi pribadi seringkali menyesatkan, dan terasa sangat meyakinkan:

Peran Emosi dan Bias Konfirmasi (Confirmation Bias)

Persepsi sangat terkait erat dengan emosi. Ketika kita marah, takut, atau sangat bahagia, perhatian kita menjadi sempit dan terfokus, mengabaikan detail di sekitarnya (tunnel vision). Ditambah lagi dengan bias konfirmasi, kecenderungan otak kita untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang mendukung keyakinan yang sudah kita miliki.

Jika seseorang sudah percaya bahwa “kelompok X itu buruk,” maka ketika ia melihat video kabur yang melibatkan anggota kelompok X, otaknya secara otomatis akan mengisi bagian yang kosong dalam persepsinya dengan asumsi negatif. Seseorang akan merasakan bahwa Ia “melihat bukti keburukan” tersebut, padahal yang dilihat hanyalah ambiguitas yang diinterpretasikan oleh biasnya sendiri. Ini adalah persepsi yang dibajak.

Kesenjangan antara Sensasi dan Interpretasi

Perbedaan antara sensasi (stimulus murni yang diterima indra) dan interpretasi (apa yang otak lakukan terhadap stimulus itu). Sensasi: Mata menangkap gelombang cahaya, telinga menangkap gelombang suara.

Interpretasi: Otak mencocokkan data itu dengan katalog pengalaman, bahasa, dan konteks budaya untuk menghasilkan “makna.”

Kesalahan terjadi di tahap interpretasi. Dua orang mungkin menerima sensasi yang sama (misalnya, melihat dua orang bertukar tas di tempat sepi). Namun, pengalaman masa lalu dan bias kognitif yang berbeda akan membuat orang pertama menginterpretasikannya sebagai “transaksi yang mencurigakan,” sementara orang kedua menginterpretasikannya sebagai “teman yang memberi hadiah.” Persepsi menyesatkan karena proses penerjemahannya cacat.

Solusi Epistimologis: Membangun Keandalan (Reliabilism)

Jika persepsi pribadi rentan, apakah kita harus menjadi skeptis total dan menolak semua yang kita lihat? Tentu tidak. Solusinya, yang sejalan dengan pandangan Pritchard, adalah mengadopsi standar Reliabilitas (Reliabilism) pada proses pembentukan keyakinan kita.

Reliabilitas berargumen bahwa suatu keyakinan dapat dikategorikan sebagai pengetahuan jika ia dihasilkan oleh proses yang andal (reliable process). Proses yang andal adalah proses yang secara konsisten menghasilkan keyakinan yang benar.

Untuk memulihkan keandalan persepsi lakukan Intervensi Sadar pada proses tersebut:

Menanamkan Jeda Kognitif (The Pause): Ketika persepsi memicu emosi tinggi seperti marah, takut, atau gembira berlebihan, wajibkan diri untuk melakukan jeda kognitif. Emosi adalah faktor yang paling merusak proses yang andal. Tunda semua kesimpulan dan share informasi. Tanyakan: “Apakah reaksi saya saat ini didorong oleh data indrawi yang jelas, atau oleh interpretasi emosional?”

Mengaktifkan Verifikasi Silang. Jangan pernah menerima sense-data dari satu saluran sebagai kebenaran mutlak. Keyakinan berbasis persepsi harus diverifikasi silang oleh sumber yang secara epistemis andal: Bandingkan video viral dengan laporan investigasi dari media yang terverifikasi, Bandingkan kesaksian mata pribadi Anda dengan data forensik atau hasil analisis ahli.

Ini adalah pergeseran dari “Saya Melihatnya Sendiri” menjadi “Saya Melihatnya, dan Proses Verifikasi yang Andal Juga Mengonfirmasinya.”

Mengembangkan Kebajikan Intelektual (Intellectual Virtue)

Kebajikan intelektual mencakup kerendahan hati (intellectual humility) dan ketelitian (intellectual carefulness). Kita harus berani mengakui, “Mungkin, apa yang saya lihat itu salah, atau tidak lengkap”. Dengan mengembangkan sikap ini, kita secara aktif melawan bias konfirmasi dan kesombongan persepsi pribadi. Keandalan pengetahuan kita akan meningkat hanya jika kita bersedia untuk direvisi. (Dea Aulia Nur Fadilah)

Penulis merupakan mahasiswa Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *