RADAR TASIKMALAYA – Setiap zaman melahirkan generasinya sendiri dan setiap generasi membawa cara baru dalam memahami dunia. Di tengah revolusi digital yang bergerak begitu cepat, dunia pendidikan berada di persimpangan penting, apakah ia akan tetap berjalan dengan langkah lama, atau berani bertransformasi menyesuaikan ritme zaman? Hari ini, kita hidup di era dimana teknologi bukan lagi pelengkap, melainkan nadi dari kehidupan sosial, ekonomi dan budaya.
Perubahan ini tidak hanya menyentuh cara manusia berkomunikasi atau bekerja, tetapi juga cara mereka belajar, berpikir dan memaknai pengetahuan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (2020), sekitar 27,94 persen penduduk Indonesia merupakan bagian dari Generasi Z, yaitu mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Artinya, lebih dari seperempat populasi negeri ini tumbuh dan hidup dalam ruang digital yang nyaris tanpa batas.
Mereka generasi yang pertama kali mengucap kata sebelum bisa menulisnya di layar sentuh, generasi yang mengenal informasi bukan dari papan tulis, melainkan dari layar ponsel. Dunia mereka adalah dunia yang bergerak cepat, dinamis, visual dan penuh stimulasi.
Karakteristik inilah yang menandai perubahan besar dalam sistem pembelajaran. Pendidikan tidak lagi bisa bertumpu pada metode satu arah yang kaku, melainkan harus bersifat fleksibel, kolaboratif dan adaptif terhadap teknologi. Guru bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, melainkan fasilitator yang mendampingi proses pencarian makna. Disinilah pentingnya memahami bahwa gaya belajar bukan sesuatu yang statis, melainkan refleksi dari cara hidup suatu generasi.
Konsep VAK (Visual, Auditory, Kinesthetic) yang diperkenalkan oleh Neil Fleming beberapa dekade lalu kembali relevan dalam konteks modern. Model ini menjelaskan bahwa setiap individu memiliki preferensi berbeda dalam memproses informasi, ada yang lebih mudah belajar melalui penglihatan (visual), ada yang melalui pendengaran (auditory) dan ada pula yang memahami dengan praktik langsung (kinesthetic).
Namun, Generasi Z melampaui batas-batas tersebut. Mereka belajar dengan semua indra sekaligus, memadukan teks dengan gambar, suara dengan gerak, pengalaman langsung dengan realitas virtual.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa otak manusia memproses informasi visual 60.000 kali lebih cepat dibandingkan teks dan 90 persen informasi yang diterima otak bersifat visual. Fakta inilah yang menjelaskan mengapa Gen Z lebih cepat memahami konsep melalui video, infografik atau animasi interaktif daripada membaca uraian panjang.
Mereka lebih tergerak oleh warna, gerak dan simbol. Visual bagi mereka bukan sekadar media bantu, melainkan bahasa utama dalam memahami realitas.
Fenomena ini terlihat jelas di ruang-ruang belajar masa kini. Siswa dan mahasiswa tidak hanya bergantung pada buku teks, tetapi aktif mencari pengetahuan dari YouTube, TikTok Edu, hingga platform microlearning seperti Coursera dan Edmodo.
Mereka terbiasa belajar dalam bentuk potongan video dua menit, lalu mengembangkan rasa ingin tahunya secara mandiri. Di sisi lain, mereka juga cenderung kritis dan selektif terhadap informasi yang terbentuk dari pengalaman hidup di tengah banjir data dan arus informasi yang tiada henti.
Perubahan ini tentu menghadirkan tantangan besar bagi dunia pendidikan. Banyak guru dan dosen masih terjebak pada paradigma lama, mengajar berarti berbicara, belajar berarti mendengarkan. Padahal, bagi generasi digital, belajar adalah proses berinteraksi. Mereka ingin “mengalami” pengetahuan, bukan sekadar “mendengar” tentangnya.
Model pembelajaran berbasis proyek, simulasi digital, dan pembelajaran berbasis masalah terbukti lebih efektif dalam menumbuhkan keterlibatan mereka dibanding metode ceramah tradisional.
Di sisi lain, teknologi juga menghadirkan peluang besar. Kecerdasan buatan (AI), augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) mulai digunakan untuk menciptakan pengalaman belajar yang imersif dan kontekstual.
Melalui teknologi ini, materi informasi dapat masuk ke dalam tubuh manusia untuk mempelajari anatomi, atau berjalan di masa lalu untuk memahami sejarah. Pendidikan kini bukan lagi soal ruang dan waktu, melainkan soal imajinasi dan keterhubungan.
Namun, di balik semua itu, keberhasilan transformasi pendidikan tidak ditentukan oleh teknologi semata, melainkan oleh manusia yang menggunakannya. Pendidik harus memiliki literasi digital yang kuat, bukan sekadar untuk mengoperasikan perangkat, tetapi untuk memahami logika di baliknya, bagaimana teknologi membentuk cara berpikir, berinteraksi dan berkreasi. Pendidikan abad ke-21 menuntut kemampuan untuk menyeimbangkan antara kecerdasan teknologis dan kepekaan kemanusiaan.
Oleh karena itu, kolaborasi menjadi kata kunci. Pemerintah, lembaga pendidikan, industri dan masyarakat perlu membangun ekosistem pembelajaran yang terbuka dan berorientasi pada kebutuhan nyata generasi.
Kurikulum harus lebih lentur, memberi ruang pada kreativitas, eksplorasi dan pembelajaran lintas disiplin. Sekolah harus menjadi ruang kolaborasi, bukan hanya ruang ujian. Dan guru, di atas segalanya, harus menjadi inspirator yang memantik rasa ingin tahu dan imajinasi siswa.
Transformasi ini juga menuntut perubahan cara pandang terhadap makna belajar itu sendiri. Belajar tidak lagi semata-mata untuk memperoleh nilai, tetapi untuk membangun pemahaman dan mengasah kemampuan berpikir kritis.
Generasi Z tidak hanya ingin tahu “apa yang harus dipelajari”, tetapi juga “mengapa itu penting” dan “bagaimana menerapkannya”. Mereka mencari relevansi antara pengetahuan dan kehidupan nyata, antara teori dan praktik, antara individu dan masyarakat.
Pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan ini akan melahirkan generasi pembelajar sejati, dimana mereka yang tidak berhenti belajar karena kurikulum selesai, tetapi terus belajar karena kehidupan menuntutnya.
Revolusi gaya belajar Generasi Z bukan ancaman bagi dunia pendidikan, melainkan peluang besar untuk memperbarui makna belajar itu sendiri. Ketika pendidikan berani beradaptasi, ketika pendidik mau berinovasi dan ketika teknologi digunakan untuk memperkuat nilai kemanusiaan, maka masa depan belajar akan menjadi lebih cerah. Di tangan generasi ini, ilmu tidak lagi disimpan di perpustakaan, melainkan hidup dalam tindakan, kreativitas dan kolaborasi.
Seorang filsuf pendidikan John Dewey, pernah berkata, “If we teach today’s students as we taught yesterday’s, we rob them of tomorrow”. Kalimat itu kini menemukan relevansinya kembali. Mengajar generasi digital dengan cara analog adalah bentuk kehilangan masa depan.
Karena itu, revolusi gaya belajar Gen Z harus dilihat bukan sebagai perubahan tren, melainkan sebagai panggilan zaman dan sebuah momentum untuk menata ulang pendidikan agar lebih manusiawi, adaptif dan bermakna.
Pada akhirnya, pendidikan merupakan perjalanan membentuk manusia. Teknologi boleh menjadi alat, data boleh menjadi bahan bakar, tetapi arah dan makna tetap ditentukan oleh nilai-nilai kemanusiaan.
Di tengah ledakan digital, marilah kita tidak lupa bahwa inti dari belajar adalah menjadi manusia yang berpikir, berempati dan berdaya. Sebab, dalam setiap revolusi, yang paling menentukan bukanlah kecepatannya, melainkan kedewasaan cara kita memaknainya. (Putri Mutiara Rakista SSos MAP)
Penulis merupakan Dosen Universitas Mayasari Bakti (UMB) Tasikmalaya











