Protes Simbolis dan Pencarian Identitas, Membaca Fenomena One Piece sebagai Gejala Sosial

Sosial119 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Persoalan nasionalisme dan identitas generasi muda kembali menemui bentuk perdebatannya yang baru. Kali ini, melalui selembar bendera bajak laut dari anime Jepang, One Piece, yang dikibarkan menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia.

Gelombang pro-kontra yang menyertainya seringkali terjebak pada persoalan legal-formal dan sentimentil, namun mengabaikan akar persoalan yang lebih dalam: ini adalah gejala sosial tentang bagaimana sebuah generasi memaknai identitas dan kebangsaan di era globalisasi. Mereka bukanlah sekadar “anak muda yang suka kartun,” melainkan sebuah komunitas dengan kedalaman narasi dan ikatan sosial yang kuat.

Bagi kami para nakama (sebutan untuk penggemar anime One Piece), One Piece lebih dari sebuah tontonan untuk hiburan. Sejak kecil, kami tumbuh dengan perjalanan Luffy yang penuh nilai tentang perlawanan terhadap penindasan (arc Arlong Park), keberanian moral (arc Enies Lobby), dan kritik terhadap manipulasi kekuasaan (arc Dressrosa).

Ikatan ini diperkuat dalam ruang-ruang diskusi serius, seperti forum Going Ohara di Warung Sastra, Yogyakarta, yang mengulas anime ini dari perspektif filsafat, sosiologi, dan politik. Dengan demikian, bendera ini adalah simbol dari sebuah “komunitas imajiner” (mengacu pada Benedict Anderson) yang dibangun atas dasar nilai-nilai universal, yang kebetulan diwadahi oleh budaya pop.

Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa simbol fiksi bisa mengalahkan daya tarik simbol nasional bagi sebagian kalangan? Setidaknya ada dua alasan utama.

Pertama, yang kita saksikan adalah bentuk protes simbolis (symbolic protest). Sejarah gerakan sosial menunjukkan bahwa budaya pop sering menjadi alat kritik yang efektif. Bendera Jolly Roger, dalam konteks ini, berfungsi mirip dengan topeng Guy Fawkes atau gambar Che Guevara—sebagai pesan visual tentang kerinduan akan kebebasan, solidaritas, dan mungkin juga kekecewaan terhadap kondisi sosial.

Seperti yang diungkapkan Schattle (2008) dalam konteks lain, ketika saluran aspirasi formal terasa tidak memadai, identitas alternatif dalam komunitas global (dalam hal ini, komunitas penggemar global) akan mengemuka.

Kedua, fenomena ini adalah alarm atas melemahnya resonansi simbol nasional di era globalisasi. Di tengah gempuran budaya pop global, generasi muda lebih akrab dengan karakter fiksi internasional daripada tokoh-tokoh sejarah nasional. Ini bukan berarti mereka tidak nasionalis.

Sebaliknya, ini menandakan bahwa makna “kebangsaan” telah bergeser. Bagi mereka, nasionalisme bukan lagi soal kesetiaan pada simbol formal, tetapi pada sejauh mana negara hadir secara nyata dalam kehidupan sehari-hari: melindungi, menghargai, dan memberi ruang bagi aspirasi mereka. Pendekatan represif terhadap simbol hanya akan memperkuat pesan protesnya, seperti teori boomerang effect dalam komunikasi.

Lantas, bagaimana kita merespons fenomena ini secara konstruktif, alih-alih reaktif? Pertama, eduksi kebangsaan perlu dihidupkan dengan medium budaya pop. Daripada meminggirkan, integrasikan nilai-nilai One Piece seperti semangat nakama (kebersamaan), keadilan, dan perjuangan melawan ketidakadilan ke dalam narasi kebangsaan kita.

Nilai-nilai ini sejajar dengan gotong royong dan Bhinneka Tunggal Ika. UNESCO (2015) dalam Global Citizenship Education (GCED) menekankan pentingnya membangun kesadaran melalui hal-hal yang relevan dengan kehidupan peserta didik. Dalam konteks ini, animasi dan komik bisa menjadi medium yang powerful.

Kedua, pemerintah dan komunitas perlu membuka dialog, bukan monolog. Aliḥ-alih memberangus, ruang diskusi perlu diciptakan untuk memahami apa yang sebenarnya dicari oleh generasi muda melalui simbol-simbol ini. Pemecahan masalahnya dimulai dari pengakuan terhadap realitas lokal mereka.

Ketiga, kita perlu memaknai ulang Merah Putih bukan sebagai simbol statis, melainkan yang hidup dan dinamis. Bendera harus bisa “berbicara” dalam bahasa zaman sekarang, merangkul kreativitas, dan menjadi representasi dari nilai-nilai yang diperjuangkan bersama, sebagaimana semangat nakama yang inklusif.

Pada akhirnya, bendera One Piece hanyalah gejala permukaan. Akar persoalannya terletak pada jurang pemahaman dan pemaknaan. Insiden ini seharusnya menjadi momentum refleksi kolektif. Dengan pendekatan yang edukatif, dialogis, dan adaptif, semangat “nakama” justru dapat menjadi jembatan untuk memperkuat, bukan melemahkan, rasa kebangsaan.

Tugas kita bersama adalah memastikan bahwa Merah Putih tidak hanya berkibar di tiang bendera, tetapi juga hidup dan bermakna di dalam hati setiap generasi, dengan bahasa dan caranya masing-masing. Perjuangan yang diinspirasi Luffy untuk Indonesia yang lebih adil dan bersolidaritas adalah impian bersama yang harus terus diperjuangkan. (Annisa Navilah)

Penulis merupakan Dosen di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unsil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar