RADAR TASIKMALAYA – Saling berangkulan para kontestan politik pada perhelatan pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2024 mengingatkan kita pada serial anak asal Britania Raya yakni Teletubbies, hal paling ikonik dari cerita Tinky Winky, Dipsy, Lala, dan Poo “berpelukan”.
Itulah yang terjadi setelah Mahkamah Konstitusi pada tanggal 22 April 2024 membacakan putusan terkait sengketa Pilpres 2024 dan dilanjut 24 April 2024 Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI resmi menetapkan pasangan capres dan cawapres nomor urut 2, Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pilpres 2024.
Prabowo dan Anies Baswedan juga Cak Imin dan Gibran bertemu langsung di kantor KPU, partai pengusung pasangan Amin yakni PKS, PKB dan Nasdem saling menyambangi untuk melanjutkan masa depan koalisi mereka. Sementara itu, dalam waktu yang tidak terlalu jauh, gerak cepat Prabowo bertemu dengan PKB dan Nasdem yang pada Pipres merupakan kubu yang bersebrangan.
Sampai tulisan ini dibuat, Surya Paloh maupun Cak Imin di depan Prabowo menyatakan akan mendukung pemerintahan. Hal ini telah menjadi spekulasi bahwa PKB dan Nasdem akan menjadi bagian dari pemerintahan koalisi Prabowo-Gibran yang tentunya akan kebagian jatah dalam kursi menteri. Narasi positif yang selalu disampaikan oleh tokoh-tokoh bangsa tersebut yakni bersatu membangun bangsa, Pemilu telah selesai tidak perlu rebut lagi, walau pada ujung-ujungnya membagi jabatan untuk mengamankan kebijakan pemerintah.
Arti persatuan bangsa dan negara telah dimaknai keliru, padahal perbedaan pendapat itu bukan berarti perpecahan. Ingat pendirian negara ini adalah hasil perdebatan sekalipun mereka kalah berdebat lantas tidak menjilat pada penguasa yang memenangkan kekuasaan, tetap teguh pada prinsip dan nilai ideologi. Begitu pula pada sidang konstitante hasil Pemilu 1955, Aidit dari PKI dan M Natsir dari Masyumi, mereka berdebat karena jelas punya nilai dasar yang berbeda, berkawan itu hanya hubungan kemanusiaan, bukan berarti berbagi jabatan. Kalaupun ada yang tersingkir pada panggung politik, tetapi tidak dihilangkan dalam sejarah karena mereka punya integritas. Semua tahu bahwa dwi tunggal Soekarno-Hatta pun terpecah pada akhirnya tetapi keduanya tetap dikagumi karena berpegang teguh pada prinsip, begitu tokoh lainnya seperti Buya Hamka, Sutan Syahrir, Tan Malaka, bahkan akhir hubungan BJ Habibie dan Soeharto.
Prinsip dasar apa yang diperjuangkan pada era ini sebenarnya? dengan mudahnya tokoh-tokoh bangsa dalam waktu kilat kadang bersatu atau tiba-tiba besebrangan. Seolah takut kehilangan jabatan kekuasaan, arah politik dan ideologis sudah tidak jelas, walaupun selalu berdalih untuk kepentingan rakyat. Kejutan paling dahsyat sebenarnya terjadi pada 2019, Prabowo yang telah dua kali dikalahkan oleh Jokowi dengan mengejutkan menjadi bagian dari pemerintahan, bersamaan dengan gerbongnya yakni Partai Gerindra. Kondisi yang tidak pernah terjadi pada Pilpres sebelumnya antara SBY (Demokrat) dan Megawati (PDIP). Selama dua periode SBY Presiden, Megawati dan PDIP selama 10 tahun tetap konsisten istiqomah menjadi oposisi pemerintahan.
Itulah kenapa selama pemerintahan Jokowi selalu mulus dalam setiap pengambilan keputusan sekalipun tidak popular, misalnya kenaikan BBM tanpa harus berdebat dalam sidang di DPR, pengesahan undang-undang Omni Bus Law dan revisi UU KPK. Berbeda dengan era SBY yang cukup memiliki oposisi yang kuat, sementara di era Pak Jokowi di pemerintahan yang kuat karena mayoritas parlemen merupakan bagian dari pemerintahan, sehingga kontrol pada pemerintahan sangat lemah.
Menarik untuk ditunggu nanti sampai Oktober atau pelantikan Presiden dan wakil Presiden baru, bagaimana sikap PDIP dan Megawati, PKS, PPP maupun partai lain yang bukan pengusung Prabowo-Gibran. Kalaupun pada akhirnya Prabowo berhasil mengajak semua partai politik untuk gabung ke pemerintahan maka itu menyalahi prinsip sistem pemerintahan presidensial, dengan catatan fungsi DPR berjalan dengan baik, melakukan check and belences terhadap kekuasaan eksekutif. Namun jika hanya untuk memuluskan kepentingan kebijakan, itulah politik transaksional, yang jauh dari kata “good government and governance”.
Sistem pemerintahan di Indonesia, setelah reformasi memang mengalami dinamika dan perubahan besar jika dibandingkan dengan era sebelumnya terutama orde baru dan orde lama. Sejarah Indonesia mencatat bahwa pemerintahan Soeharto maupun Soekarno begitu kuat. Soekarno pernah diangkat menjadi Presiden seumur hidup, Soeharto dengan kroni-kroninya berhasil bertahan selama 32 tahun. Itulah mengapa reformasi bertujuan untuk menata ulang kehidupan berbangsa dan bernegara untuk lebih demokratis, transparan dan menjauh dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Reformasi yang pada perjalanannya hampir 26 tahun ini mengalami iklim demokrasi yang terlalu melenceng dari prinsip dan tujuan awal. negara kehilangan pegangan dasar karena semua kebijakan disandarkan pada kekuasaan. Sejajarnya kedudukan lembaga tinggi negara baik ekslusif, legislatif, maupun yudikatif malah menjadi saling sandera sehingga setiap lembaga gagal menjalankan fungsinya dengan benar.
Lembaga tinggi negara yang baru setelah reformasi yakni Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal berdirinya lembaga ini cukup memberikan harapan akan tegaknya hukum dan konstitusi negara. Namun, belakangan ini sulit rasanya untuk percaya sama MK kalau dalam putusan terakhir saja misalnya keterlibatan presiden Jokowi dalam pemilu yang diakui sendiri oleh Jokowi bahwa presiden boleh kampanye sambil membagikan bansos, juga para menterinya ikut mendukung, padahal salah satu calon wakil presiden merupakan anaknya presiden Jokowi, belum lagi bicara tiket yang didapat oleh Gibran melalui sidang kilat MK yang dipimpin oleh adik ipar presiden sekaligus paman calon wakil presiden, tetapi kemudian MK menyatakan tidak menemukan bukti adanya pengaruh dan bukan nepotisme.
Padahal mantan ketua MK Anwar Usman dan ketua KPU Hasyim Asyari yang keduanya telah dijatuhi sanksi etik karena memuluskan pencalonan Gibran, tetapi itu tidak menggoyahkan putusan akhir Mahkamah Konstitusi yang telah membantu keinginan, harapan bahkan mungkin telah direncanakan dari awal oleh penguasa negara ini untuk melanjutkan “status qou”, sekalipun memang betul melalui proses pemilihan umum.
Jika kondisi ini berjalan terus maka apa pun yang dinginkan oleh yang berkuasa akan terlaksana, semua kekuatan untuk memuluskan kebijakan telah dirangkul, perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme atau perilaku non etik lainnya bisa bebas dilakukan. Semuanya mereka yang mengatur, membuat aturannya, men-setting peradilan jika ada gugatan.
Pemilu serentak 2024 telah menjadi saksi sejarah dari akhir cerita reformasi, harapan untuk menjauhi perbuatan korupsi, kolusi, nepotisme, sekarang sudah dianggap legal karena telah berubah makna bahkan aturannya telah melegalkan. Supremasi hukum pun demikian, karena keadilan itu hanya bisa dimiliki oleh mereka yang berpihak dan mendukung kekuasaan. Pemilu yang bebas dan transparan hanyalah gimmick, karena perdebatan panas pada masa kampanye, berakhir berpelukan seperti teletubbies. (Adi Saputra SPd MPd)
Penulis merupakan Dosen MKWK Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Unsil