RADAR TASIKMALAYA – Kalimat makjleb yang sempat viral di ratusan akun media sosial itu muncul dari seorang KDM (Kang Dedi Mulyadi), Bapak Aing, Gubernur Jawa Barat. Kalimat pendek tapi pesannya panjang. Dalam kajian sastra Arab dinamakan “Ijâz”. Sebelum abad 6 Hijriyah, istilah yang muncul diistilahkan al-Rumi, al-Rumani, al-Jahiz, dan lainnya dengan kata “Ijmâl”. Kajian yang memberi pesan bahwa “Khair al-kalâm mâ qalla wa dalla”, ungkapan terbaik adalah kalimat pendek tapi secara semantik memberi pesan konotatif yang kompleks.
Kalimat KDM ini interpretabble, multitafsir. Bisa dipahami negatif karena memberi pujian terhadap penjajahan. Tapi umumnya ‘tafsir’ yang bertebaran di media sosial, khususnya di platform Instagram, YouTube, dan TikTok memahami kalimat ini positif. Dimaksudkan khusus kepada para penjahat lingkungan, entah penguasa, pengusaha, atau juga pejabat, dari ketua RT hingga presiden, siapa pun yang pura-pura tidak tahu. Sudah 80 tahun kekayaan alam Indonesia dirusak dan akhirnya membawa bencana. Mereka biang dari perubahan cuaca, banyaknya tragedi alam, hingga melayangnya jiwa banyak orang.
Berat rasanya kita mendengar kalimat yang dipekikkan KDM sebelum kalimat di atas. Dia menyebut “Gunung gundul, sungai keruh, hutan menggunung, bangunan-bangunan hampir tidak ada yang berkualitas, jalan-jalan mudah rusak, jembatan mudah roboh.”
TikTok dengan akun Alif Towew menggarisbawahi masalah hutan ini. Ia berliterasi, mencari data, lalu menafsirkan kalimat KDM dengan rinci. Simpulnya, kata dia, luasnya hutan di Indonesia di zaman penjajahan 170 juta hektar. Di akhir masa penjajahan, tahun 1950, luas hutan di Indonesia 159 juta hektar (87% dari luas daratan Indonesia). Di tahun 2024, hutan di Indonesia tinggal 95,5 juta hektar. Tersisa hanya 51% saja. Kecepatan hilangnya hutan di Indonesia adalah 858.000 hektar pertahun. Hilang setiap tahunnya seluas 13 kali wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Akun TikTok “Jugo Media” memiliki point of view yang lain. Dia bercerita tentang penjajahan Belanda. Tentang Herman Willem Daendels yang membangun 1000 KM jalan kereta dari Anyer di ujung barat Pulau Jawa hingga Panarukan di ujung timur Pulau Jawa. 12.000 pekerja diupah dengan 30 ringgit, beras, dan garam yang dititipkan kepada prefek, pejabat sekelas residen dan dilanjutkan dari prefek kepada pejabat sekelas bupati yang dijabat oleh pribumi. Data pembayaran dari Daendels dan dari prefek diabadikan dalam catatan yang bisa ditelusuri saat ini. Sementara bukti pembayaran dari bupati ke pekerja tidak ditemukan. Komentator liar tentu saja jump to conclusion, menyimpulkan bahwa aktor penyebab meninggalnya ribuan pekerja rodi yang kelaparan karena tidak diupah di masa itu adalah pribumi. Sementara buku-buku sejarah di sekolah mengalamatkan aktor pembunuhnya adalah penjajah Belanda. Tentu saja diskusi tentang hal ini akan sangat panjang. Namun pesan pentingnya tetap kita buat catatan kritis tentang penjajahan yang umumnya menyengsarakan.
Kajian lainnya yang lebih indah, meskipun bukan respons terhadap ungkapan KDM disampaikan Prof Quraish Shihab di aula Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 08/12/2025 kemarin. Beliau memberi catatan atas bencana di Sumatera dan memilih pendekatan tafsir Al-Qur’an untuk memahamkan audiens. Tema utama kuliah beliau tentang “mizan”, tentang keseimbangan alam (al-Rahman ayat 7-9). Allah mencipta bumi dan kehidupan di dalamnya dengan keseimbangan yang membuatnya indah, gagah, dan berkah. Keseimbangan ini wajib dirawat. Jika diganggu dan rusak, maka akan terjadi bencana (al-Jin ayat 16). Bahwa bencana yang terjadi benar-benar disebabkan oleh tangan-tangan jahat manusia yang mencari keuntungan pribadi tanpa memikirkan kepentingan dan keselamatan pihak lain (al-Rum ayat 41).
Tanggapan penting lainnya begitu banyak dan masing-masing kita mungkin telah mengaksesnya dari akun-akun yang berbeda. Di antara yang terpenting adalah podcast di akun YouTube-nya dokter Richard Lee dengan aktivis lingkungan, Dhandi Laksono. Podcast berdurasi 1:12:36 ini begitu berani. Para komentator menyebutnya sebagai nara sumber dokter Richard Lee terbaik 2025 ini. Data tentang kerusakan lingkungan di Indonesia sangat komplit di podcast ini.
EKSPLORASI DAN EKSPLOITASI
Memanfaatkan alam adalah keniscayaan kehidupan. Alam raya diciptakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia (al-Baqarah ayat 29, al-Mulk ayat 15, dan lainnya). Tidak ada salahnya ketika kekayaan alam dimanfaatkan. Transformasi kehidupan bukan sekadar urusan teknologi dari 1.0, 2.0, 3.0, 4.0, dan 5.0 yang berdampak pada perkembangan alam raya dan kehidupan manusia dari zaman batu, besi, listrik, mesin, dan teknologi. Transformasi juga mengarah pada perubahan mental dan karakter. Pemanfaatan alam terjadi harus sesuai dengan aturan dan hukumnya. Negara-negara kaya dan maju sebagiannya tercipta lewat perkembangan teknologi untuk kemajuan kehidupan dengan memanfaatkan alam yang dilandasi mental dan karakter yang menghargai aturan dan hukumnya. Memanfaatkan alam tidak boleh berakhir pada kerusakan alam.
Pemanfaatan alam sangat berbeda dengan eksploitasi alam yang diatur dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UU No. 32 tahun 2009. Memanfaatkan alam dengan mining (pertambangan) sangat besar manfaatnya untuk kelangsungan kehidupan manusia juga negara. Namun harus bijaksana dan sesuai aturan yang disepakati. Pemanfaatan alam harus diimbangi dengan konsep green mining (pertambangan hijau) untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan melalui reklamasi lahan, pengelolaan limbah, efisiensi energi, dan konservasi keanekaragaman hayati agar pembangunan berkelanjutan tercapai.
Saat ini banyak pemilik modal besar yang dengan kuasa uang bisa ‘membeli’ alam. Tak mungkin rakyat biasa bisa melakukan itu. Umumnya rakyat kecil hanya memiliki modal kecil dan lahan sedikit. Konsep kearifan lokal tetap dipertahankan. Jika pun ada kerusakan, radius kerusakannya pun tidak signifikan. Berbeda dengan mereka yang memiliki modal besar yang dalam sekedip bisa membeli dan menguasai ribuan hektar lahan. Kerusakan alam yang ditimbulkannya mencipta tragedi.
Demi mempertahankan kelestarian alam, negara sebenarnya memiliki setidaknya 4 kementerian. Kementerian Kehutanan bertanggung jawab pada hutan. Kementerian Lingkungan Hidup bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan. Kementerian Pertanian bertanggung jawab pada wilayah pertanian dan perkebunan. Kementerian ESDM bertanggung jawab pada sumber daya alam dan proses penambangan (mining) mineral di dalamnya. Dari tingkat pusat menurun ke tingkat provinsi dan kota kabupaten. Ada dinas yang membawahi setiap levelnya. Tak hanya itu, di setiap daerah juga memiliki DPRD yang mengetahui sekaligus mengawasi setiap jengkal tanah di wilayah kerjanya. Tak mungkin terjadi sebuah peristiwa di satu daerah kecuali ada dalam pengetahuan mereka. Semuanya memiliki kewajiban sekaligus tanggung jawab yang sejatinya, dengan fungsinya masing-masing, bisa menjadi penjamin kelestarian alam.
SIAPA YANG SEBENARNYA PENJAJAH?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus meriset kondisi riil di lapangan yang sebagian datanya sudah menghampar di setiap bencana alam yang terjadi. Jika benar apa yang disampaikan KDM tentang apa yang terjadi ketika Indonesia dijajah belanda, “Gunung masih utuh, samudera masih terbentang luas, sungai-sungai masih jernih yang meninggalkan perkebunan yang terhampar, bangunan-bangunan yang indah, gedung-gedung yang kokoh, jalan-jalan yang kuat, jembatan kereta api yang kokoh”, maka tentu saja penjajah yang sebenarnya itu adalah para perusak alam setelah Indonesia menikmati kemerdekaan.
Tak terbatas waktu sejak kapan dan siapa aktor yang merusak alam di Indonesia. Eksploitasi itu terjadi setiap saat di hampir setiap daerah di Indonesia dengan skala kecil hingga besar. Lahan sawah, perkebunan, hutan, bukit, gunung, danau, dan lainnya kini terus menyusut. Di sisi lain, pertambangan yang tak bertanggung jawab pun telah menyebabkan kerusakan fasilitas umum; jalan-jalan umum, dan polusi udara yang mengganggu kesehatan fisik dan psikis masyarakat.
Saya selalu yakin, bahwa ketika terjadi kerusakan alam di satu daerah, lalu terjadi bencana dan menjadi berita besar, maka di sana ada banyak pihak yang seharusnya terlibat. Seluas apa pun wilayah di Indonesia, di setiap jengkalnya pasti memiliki penanggung jawab wilayah. Mulai dari ketua RT, RW, kepala desa/lurah, camat, bupati/wali kota, gubernur, juga anggota DPRD kota/kabupaten, DPRD provinsi, juga DPR RI. Ketika terjadi eksploitasi alam besar-besaran di satu daerah, ketua RT pasti mengetahui. Ketua RW juga mengetahui. Kepala desa dan camat juga mengetahui. Bupati dan wali kota juga pasti mengetahui. Gubernur juga pasti mengetahui. Anggota DPRD bahkan DPR RI juga pasti dan harus mengetahui. Lantas kenapa seperti dibiarkan? Tentu saja banyak tafsir dalam hal ini. Tafsir tentang nakalnya penjahat lingkungan setelah aturan disampaikan. Tafsir paling liar adalah adanya praktik transaksional yang menghasilkan permainan kotor. Korbannya siapa lagi kalau bukan rakyat. Penjajah yang sebenarnya adalah mereka.
Penting untuk menyimak konsep KDM dalam menjaga alam. Dalam beberapa kesempatan dia menegaskan, “Gunung kudu awian, lengkob kudu balongan, lebak kudu sawahan.” Ajaran tentang alam yang diserapnya dari agama, budaya Sunda, dan lainnya telah membuka harapan warga Jawa Barat. Bahwa pelestarian alam dan pengelolaan alam yang berdasarkan hukum dan aturan itu bisa dimulai dari Jawa Barat. Semoga.
Asep M Tamam
Wakil Rektor 3 UNIK Cipasung












