Pentingnya Memahami Hubungan Bahasa dengan Kebudayaan bagi Penutur Baru

Pendidikan276 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Hubungan bahasa dengan kebudayaan dapat dilihat dari berbagai pandangan, Robert (Mujib, 2019:147) mengungkapkan bahwa perubahan secara morfologis dapat dilihat dari beberapa segi yaitu penghilangan, penambahan, perluasan, penyempitan, dan pertukaran. Berdasarkan pendapat tersebut penulis mencoba menguraikan hubungan bahasa dan kebudayaan dilihat dari sisi penghilangan, penambahan, perluasan, penyempitan, dan pertukaran yang terjadi di Tanah Sunda.

Penghilangan bahasa yang terjadi karena adanya pergeseran budaya sehingga istilah/bahasa yang digunakan lambat laun hilang dan tidak diketahui serta dipahami oleh penutur baru.

Contohnya istilah yang hilang dalam Bahasa Sunda.

Ngaras ‘permohonan izin calon mempelai Wanita yang dilanjutkan dengan sungkem serta mencuci kaki kedua orang tua’, Baramaen ‘orang yang suka meminta-minta/ pengemis, Sanget ‘ menggambarkan suasana lokasi yang angker/ ada penunggunya, Gunem Catur ‘suasana dialog dua orang atau lebih, Patali Marga ‘jalan raya, dan Biantara ‘pidato’

Istilah-istilah tersebut saat ini mulai hilang karena jarang sekali digunakan sehingga generasi/penutur baru tidak mengetahui istilah sunda yang sering orang tua dulu gunakan.

Selain itu, sekarang banyak juga istilah penambahan bahasa yang tergeser dengan budaya sehingga terjadinya perubahan-perubahan bahasa. Hal tersebut dikuatkan dengan pendapat Mujib (2019: 148) yang mengungkapkan bahwa penambahan biasanya dikarenakan muncul konsep-konsep budaya baru akibat pengaruh teknologi baik dibidang pertanian, ekonomi, sosial budaya, transfortasi, penerangan, dan sebagainya.

Konsep-konsep baru dalam istilah sunda sangat beragam hal tersebut terjadi karena penutur baru lebih memilih menggunakan istilah baru dibanding istilah lama. Contoh: Sideang ‘tradisi yang dilakukan masyarakat sunda untuk menghangatkan tubuh di depan hawu (tungku dapur) biasanya dilakukan pada pagi hari/ subuh. Saat ini, penutur baru sudah banyak yang tidak mengetahui istilah sideang karena yang dikenal istilah sekarang adalah moyan namun ada perbedaan dengan sideang walaupun tujuannya sama untuk menghangatkan tubuh tetapi sideang dilakukan di depan hawu/tungku kalau moyan dilakukan di bawah matahari pagi hari. Indung Beurang ‘yang mengurus/membantu melahirkan’ istilah yang dikenal/digunakan sekarang adalah paraji. Tumorek ‘waktu sunda yang menunjukkan pkl. 01.00 pagi’ tumorek diartikan seperti seolah segala sesuatu menjadi tidak terdengar karena semua orang sedang tertidur lelap sehingga suasana menjadi sepi. Istilah yang digunakan saat ini adalah janari. Balebat ‘fajar yang ditandai dengan cahaya kemerahan dari matahari sebelah timur menjelang matahari terbit sempurna’ istilah digunakan saat ini adalah subuh. Penambahan ini juga banyak penutur/generasi baru yang tidak memahami.

Dalam kebudayaan banyak sekali dijumpai penggunaan bahasa yang tergeser oleh situasi budaya sekitar. Banyak ditemukan di sunda berkaitan dengan perluasan makna. Makna garing (sunda)

Garing (Dulu) memiliki makna kering/renyah dalam Bahasa Sunda. Garing (sekarang) di adaptasi dan tergabung ke dalam Bahasa Indonesia karena banyak yang menggunakan istilah garing di tingkat nasional dan memiliki makna yang sama yaitu kering.

Kata Garing saat ini sudah akrab digunakan dalam masyarakat umum tidak hanya di masyarakat Sunda saja hal ini karena adanya perluasan makna yang diakui dan digunakan oleh masyarakat khususnya remaja. Kata garing menjadi bahasa gaul yang dipopulerkan di ranah pertunjukkan Stand Up Comedy, kata garing biasanya digunakan untuk berkomentar atas candaan atau sikap yang tidak lucu  atau basi untuk disimak/ ditonton. Makna Akang dalam Bahasa Sunda Akang dulu memiliki makna Kakak Kandung Laki-laki, saat ini makna Akang  menjadi luas tidak hanya untuk kakak kandung laki-laki saja tetapi menjadi sebutan untuk seorang laki-laki yang dianggap lebih tua dari penutur.  Sementara Penyempitan makna bahasa yang disebabkan karena pergeseran budaya, yang awalnya memiliki makna luas menjadi makna yang lebih khusus.

Contohnya:

Dulu

Madrosah (sekolah) maknanya sakola (sekolah)

Sekarang

Madrosah maknanya sakola agama (sekolah agama)

Kata madrosah mengalami penyempitan makna bahasa karena budaya anak-anak sekarng yang selalu mengungkapkan istilah sekolah agama dibandingkan dengan kata madrasah. Hal ini menyebabkan adanya penyempitan makna bahasa.

Pertukaran konsep bahasa karena adanya pergeseran peran yang berhubungan dengan kehidupan sosial budaya. Namun jika menyimak konteks sekarang, bahasa daerah mulai mengalami pergeseran sehingga lambat laun luntur bahkan mengalami pertukaran dengan makna/bentuk bahasa yang baru.

Contoh pertukaran bahasa yang terjadi di sunda.

Paraji: seseorang yang membantu melahirkan.

Sekarang paraji mengalami pergeseran istilah yang digunakan, saat ini menggunakan istilah Bidan hal ini terjadi karena adanya perubahan kehidupan sosial budaya.

Hampir semua daerah di Indonesia memiliki cara untuk berkomunikasi dengan memerhatikan dengan siapa berkomunikasi. Mujib (2019:149) mengungkapkan tindak laku berbahasa atau disebut juga etika berbahasa, memiliki kaitan erat dengan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat. Berdasarkan pendapat tersebut sudah sangat jelas bahwa etika berbahasa suatu masyarakat didasari norma-norma sosial budaya yang berlaku di masyarakat. Setiap daerah tentu memiliki ketentuan yang digunakan. Contohnya dalam Bahasa Sunda dan bahasa jawa.

Sok, didahar! (Bahasa Sunda)

Memiliki arti silakan dimakan!

Namun, dalam Budaya Sunda hal ini tidak layak digunakan karena termasuk kalimat yang kasar. Sebaliknya dengan Bahasa Jawa berikut.

Monggo, didahar! (Bahasa Jawa)

Memiliki makna, silakan dimakan! Di Budaya Jawa kalimat tersebut lazim digunakan.

Dalam Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa kata dahar memiliki makna yang sama yaitu makan tetapi sangat kasar dan tidak lazim digunakan di Sunda, sebaliknya dalam Bahasa Jawa kata dahar bermakna makan tetapi sangat halus dan biasa digunakan untuk menawari/menyuruh orang lain makan. Masyarakat tutur Sunda dan masyarakat tutur Jawa memiliki undak-usuk/unggah-ungguh bahasa yang berbeda konsep. Maka masyarakat tutur tersebut akan lebih memahami bagaimana perbedaan bahasa dalam suatu lingkungan terutama berkaitan dengan istilah yang digunakan dalam suatu wilayah namun hal tersebut ternyata terabaikan sehingga banyak generasi baru yang tidak memahami hubungan Bahasa dan Kebudayaan khususnya di Tanah Sunda. (Shinta Rosiana, M.Pd.)

Shinta Rosiana, M.Pd. adalah Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Siliwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *