Pengangguran Terdidik

Pendidikan45 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – DI atas kertas, mereka tampak mentereng: menyandang gelar magister, dan doktor. Di ruang kelas, mereka berdiri dengan percaya diri, memandu mahasiswa berbicara tentang demokrasi, etika, keadilan sosial, dan pembangunan manusia. Tapi di luar kelas, di rumah-rumah sederhana mereka, ada kenyataan yang getir dan diam: para dosen itu hidup dengan penghasilan yang tak jauh dari garis kemiskinan.

Inilah wajah nyata pengangguran terdidik di republik ini. Mereka bekerja, tetapi hidupnya tak cukup dari hasil kerja. Mereka disebut “dosen tetap”, tetapi status itu hanya label administratif tanpa jaminan kesejahteraan. Gaji mereka di banyak perguruan tinggi swasta (PTS), terutama di daerah seperti Priangan Timur, bahkan sering di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK). Sebagian hanya dibayar per pertemuan, dihitung seperti buruh harian lepas di pabrik ilmu.

Di satu sisi, mereka dituntut tampil profesional—mengajar, meneliti, menulis, membimbing mahasiswa, hadir di kampus 40 jam per minggu. Namun di sisi lain, hak-hak normatif mereka diabaikan: tidak ada BPJS Kesehatan, tidak ada Jaminan Ketenagakerjaan, tidak ada tunjangan fungsional.

Ironisnya, di hadapan mahasiswa, mereka menjadi simbol kemuliaan intelektual. Gelar mereka disapa dengan hormat, seolah itu menandakan kesejahteraan dan status sosial. Padahal, di balik senyum yang diajarkan di podium, ada kegelisahan mendalam: tagihan listrik, biaya sekolah anak, cicilan rumah dan motor, atau sekadar harga beras yang naik.

Fenomena ini bukan sekadar masalah kampus, melainkan potret ketimpangan struktural yang menyentuh inti moral bangsa. Negara yang seharusnya menjunjung tinggi ilmu, justru membiarkan para penjaga akal budi hidup dalam kesempitan ekonomi.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa dosen berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum, serta jaminan kesejahteraan sosial. Tetapi di lapangan, pasal-pasal itu berhenti sebagai teks suci tanpa ruh pelaksanaan. Tidak ada mekanisme kontrol yang memastikan hak itu benar-benar dijalankan oleh PTS. Pemerintah daerah pun seolah tak berkepentingan—karena urusan pendidikan tinggi dianggap domain pusat.

Padahal, tanpa PTS kecil di daerah-daerah, akses pendidikan tinggi akan makin timpang. Ribuan mahasiswa dari keluarga sederhana bisa kuliah karena adanya PTS lokal. Tetapi di balik idealisme itu, ada harga yang harus dibayar mahal oleh para dosen pengajarnya—mereka yang memilih bertahan demi mengajar di tanah kelahiran, sambil perlahan kehilangan martabat ekonomi.

Kampus-kampus di daerah seperti Priangan Timur sering hidup di antara dua tekanan: biaya operasional yang tinggi dan daya beli mahasiswa yang rendah. Akibatnya, kesejahteraan dosen menjadi variabel pengorbanan. Mereka menanggung beban sistem pendidikan tinggi yang setengah jalan: ingin bermutu, tapi tanpa dana; ingin profesional, tapi tak mampu menggaji profesional.

DOSEN: BURUH AKADEMIK DI ERA PASAR PENDIDIKAN

Kondisi ini juga merupakan cerminan kapitalisasi pendidikan. Kampus kini tidak lagi menjadi rumah ilmu, melainkan korporasi yang menjual pengetahuan dalam bentuk paket kredit semester. Dosen pun diperlakukan sebagai tenaga produksi akademik—bukan pengemban misi peradaban.

Setiap pertemuan kuliah dihitung seperti lembur; setiap penelitian harus “menguntungkan” institusi; setiap seminar dihitung sebagai angka kredit. Namun tak ada yang menghitung nilai kemanusiaan mereka—berapa harga sebuah dedikasi, sebuah malam tanpa tidur menyiapkan materi, atau sebuah hati yang terus berusaha menjaga idealisme di tengah tekanan hidup.

Dosen yang miskin bukan sekadar cerita personal, melainkan gejala sosial. Ia menandakan ada yang salah dalam struktur ekonomi pendidikan kita. Jika kampus menjadi pabrik gelar, maka dosen hanyalah operator mesin yang digaji sekadarnya. Padahal, tanpa kesejahteraan, ilmu kehilangan rohnya.

Dosen yang tidak merdeka secara ekonomi tidak akan bisa memerdekakan pikiran mahasiswanya. Mereka akan terjebak pada rutinitas administratif, kehilangan semangat untuk meneliti, menulis, dan berpikir kritis. Ilmu pun berhenti menjadi pencerah, berganti menjadi formalitas kredit SKS.

Negara tak bisa terus abai. Pemerintah harus memandang dosen di PTS sebagai aset nasional, bukan urusan swasta belaka. Ada tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa tenaga pendidik di semua level mendapat hak hidup yang layak.

Dukungan fiskal kepada PTS kecil dan menengah di daerah mestinya menjadi bagian dari politik afirmatif pendidikan. Bantuan operasional, insentif kesejahteraan dosen, atau subsidi riset daerah harus dirancang agar kampus tidak menggantungkan seluruh beban pada mahasiswa dan dosen.

Selain itu, perlu dibangun sistem pengawasan berbasis compliance yang memastikan PTS patuh pada standar ketenagakerjaan. Jangan biarkan dunia akademik menjadi zona abu-abu, tempat hukum buruh tak berlaku hanya karena pekerjanya bergelar S2 atau S3. Dosen bukan relawan sosial. Mereka adalah tenaga profesional yang bekerja dengan ilmu, tanggung jawab, dan komitmen moral. Negara harus menjamin bahwa profesi ini tetap bermartabat dan manusiawi.

Di tengah situasi yang getir, banyak dosen tetap memilih bertahan. Mereka mengajar dengan sepenuh hati, bukan demi gaji, tapi karena panggilan jiwa. Namun sampai kapan idealisme harus menanggung beban ekonomi yang tak adil?

Kita membutuhkan keberanian kolektif untuk membicarakan hal ini secara terbuka—tanpa rasa tabu. Kesejahteraan dosen bukan isu pribadi, tetapi isu peradaban. Sebab tanpa dosen yang sejahtera, bangsa ini akan miskin bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga secara pikiran.

Priangan Timur, dengan puluhan kampus kecilnya, adalah cermin Indonesia. Jika di sana dosen masih hidup dengan upah minim, tanpa jaminan sosial, tanpa penghargaan profesi, maka kita sedang menyaksikan bagaimana bangsa ini memperlakukan para penjaga nurani ilmu pengetahuan.

Dan mungkin, pada titik tertentu, kita harus berani menyebut mereka sebagaimana adanya: pengangguran terdidik yang bekerja penuh waktu, tanpa kemerdekaan ekonomi.

Kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tapi juga bebas dari kemiskinan yang dilembagakan. Para dosen di PTS kecil adalah korban dari sistem pendidikan yang setengah hati—modern di wacana, feodal di praktik. Sudah saatnya kita memerdekakan mereka. Sebab hanya dengan dosen yang merdeka, ilmu bisa hidup; dan hanya dengan ilmu yang hidup, bangsa ini bisa benar-benar merdeka. (Dadih Abdul Hadi)

Penulis merupakan Dosen Universitas Mayasari Bhakti (UMB) Tasikmalaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *